![](https://i0.wp.com/edisi.co/wp-content/uploads/2022/10/Warga-Dimana-Taj-Mahal-Berdiri-Sebut-Kotanya-Sebagai-Kota-Bau.webp?fit=2000%2C1333&ssl=1)
Pemandangan sungai Yamuna yang kotor dan bau dengan latar belakang Taj Mahal. Dok; Ist.
EDISI.CO, INTERNASIONAL– Beberapa warga Kota Agra yang muak akan minimnya kebersihan mengubah nama salah satu kompleks perumahan di kota mereka menjadi “koloni selokan” atau “kota bau”. Masalah-masalah lingkungan pun banyak ditemukan di kota itu, salah satunya proyek pembuatan jalan.
Proyek jalan yang belum selesai pun dianggap sebagai dalang genangan air dan kemacetan lalu lintas oleh penduduk daerah Shahganj dan Jagdishpura. Proyek itu turut menimbulkan masalah serius bagi warga yang tinggal di 28 kompleks perumahan. Adanya hujan muson yang membuat genangan air pun turut memperparah jalanan itu.
Baca juga: Taiwan Sebut China Pelajari Perang Ukraina untuk Kembangkan Strategi Perang Hibrida
Meski bagian utara kota itu terletak monumen paling terkenal di India, Taj Mahal, namun penduduk Kota Agra menyatakan mereka harus hidup di tengah kotoran yang bertebaran. Penduduk kota pun menyalahkan pemerintah setempat karena lalai menyelesaikan masalah lingkungan. Namun, pemerintah setempat menyanggah tanggapan penduduk kota.
“Kami telah menulis surat kepada otoritas terkait untuk dana tambahan sehingga perbaikan jalan dapat dimulai,” jelas juru bicara Baby Rani Maurya, seorang anggota parlemen di negara bagian itu.
Baca juga: Jelang Piala Dunia 2022, Bandara Qatar Belum Siap Hadapi Serbuan Penerbangan
Dikutip dari laman Reuters, Jumat (14/10), warga melihat pemerintah setempat bergerak lambat untuk menyelesaikan masalah. Mereka pun bertindak sendiri untuk menyelesaikan masalah, yaitu meletakan papan-papan tulisan yang mirip dengan papan-papan yang dipasang pemerintah setempat.
Nama-nama daerah pun diubah warga yang marah, seperti Navneet Nagar menjadi “badboo nagar” (kota bau), koloni Mansarovar menjadi “koloni nalasarovar” (koloni selokan) dan koloni Panchsheel menjadi “koloni durgandhsheel” (koloni bau).
Perubahan nama-nama itu telah menarik perhatian lebih dari 4,4 juta penduduk Kota Agra. Namun tidak lama setelah unjuk rasa itu, pihak berwajib datang dan mengangkat papan-papan nama itu.
“Banjir sangat parah sehingga bus sekolah menolak untuk melintas di jalan saat hujan lebat. Anak-anak saya harus bolos sekolah selama beberapa hari karena itu. Ambulans juga sulit mencapai gedung kami selama keadaan darurat,” jelas Prashant Sikarwar, warga yang tinggal di salah satu kompleks perumahan.
Ia menambahkan, pihak berwajib setempat tidak pernah menyelesaikan proyek jalanan itu meski telah dikomplain warga sekitar. Bukan hanya itu, tapi sampah yang menumpuk di pinggir juga memperparah kebersihan sekitar kota itu.
“Kualitas udaranya buruk dan ada juga masalah nyamuk. Orang-orang dipaksa untuk menjual rumah mereka,” sambungnya.
Untuk mendapat perhatian pemerintah, warga setempat merencanakan unjuk rasa “road nahi to vote nahi” (tidak ada jalan, tidak ada suara). Pemilu pun terancam gagal karena ancaman warga.
“Kami ingin para politisi memperhatikan keadaan kami dan membantu kami. Saat ini, masalah kami diabaikan begitu saja,” jelasnya.