EDISI.CO, KESEHATAN- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan adanya peluang bahwa pandemiCOVID-19 akan berakhir pada bulan Maret 2023 mendatang.
Menyusul pernyataan Jokowi tersebut, Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia sekaligus peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, memang optimis bahwa pandemiCOVID-19 bisa dinyatakan berakhir pada kuartal pertama tahun 2023.
Baca juga: BRIN: Perubahan Iklim Sangat Mempengaruhi Sektor Kesehatan
Namun, kemungkinan tersebut hanya bisa tercapai asalkan jumlah kasus positif COVID-19 tidak mengalami pelonjakan. Selain itu, vaksinasi ketiga atau booster juga harus terus digencarkan hingga mencapai cangkupan 90 persen sebelum pandemi ini dinyatakan berakhir.
Dilansir dari Reuters, Kamis (1/12), Dicky memprediksi lonjakan kasusCOVID-19 bakal terjadi hingga akhir Januari 2023 akibat banyaknya subvarian baru Omicron yang menyebar.
Baca juga: Lawan Disinformasi Kesehatan, YouTube akan Verifikasi Kanal Dokter Terpercaya
“Sangat mungkin naik hingga Januari 2023, karena juga saat ini gelombang yang terjadi disebabkan lebih dari satu subvarian,” kata Dicky.
Bagaimanapun, akhir dari status pandemi ini bukan berarti virus Covid-19 tidak ada sama sekali. Menurut epidemiolog UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D., virus tersebut akan tetap ada di tengah masyarakat. Hanya saja, tingkat keparahannya tidak lagi menjadi ancaman kesehatan yang serius.
Oleh karena itu, instruksi Presiden Jokowi yang meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk berkonsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai status pandemi COVID-19 pada bulan Oktober lalu dianggap terlalu terburu-buru. Hingga saat ini, kebijakan mitigasi COVID-19 dan juga perilaku masyarakat Indonesia masih dinilai kurang siap untuk menyambut berakhirnya status pandemi COVID-19.
Hingga saat ini, masyarakat belum sepenuhnya disiplin dalam melakukan 5M (mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Oleh karena itu, pemerintah hendaknya menerapkan kebijakan agar masker bisa menjadi budaya baru di masyarakat.
Jika masyarakat dibiasakan untuk tetap memakai masker, terutama di ruang tertutup, maka risiko penularan virus COVID-19 dan penyakit saluran pernapasan lainnya dapat berkurang hingga 75%. Membiasakan diri untuk rajin mencuci tangan dan menghindari keramaian jika tidak terlalu diperlukan juga sama pentingnya.
Pemerintah Indonesia sebaiknya terlebih dahulu memastikan cukup atau tidaknya suplai vaksin booster yang tersedia di berbagai daerah. Belum lagi, edukasi tentang pentingnya vaksinasi kepada masyarakat juga masih menjadi PR besar hingga saat ini. Sampai sekarang, capaian vaksinasi COVID-19 dosis pertama hanya 87,5 persen dan vaksinasi dosis kedua 73,41 persen.
Masyarakat yang sudah mendapat vaksin doksis ketiga atau booster baru 28,21 persen. Jumlah ini masih jauh dari target vaksinasi untuk mengakhiri status pandemi yang dikemukakan oleh Dicky Budiman.
Padahal, vaksinasi COVID-19 ini akan tetap dibutuhkan secara rutin hingga beberapa tahun ke depan menurut Teguh Haryo Sasongkok, peneliti kesehatan dari International Medical University Malaysia.
Bagaimanapun juga, varian baru dari virus Corona ini akan terus bermunculan sehingga vaksin untuk virus tersebut juga perlu untuk selalu dimutakhirkan. Jika demikian, maka Indonesia masih mempunyai banyak PR yang harus diselesaikan sebelum bisa memasuki status endemi.