EDISI.CO, INTERNASIONAL– Delima Silalahi, 46 tahun, direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada perlindungan hutan adat di Sumatra Utara menerima Goldman Environmental Prize pada Senin (24/4/2023).
Ajang yang diinisiasi oleh Yayasan Lingkungan Goldman ini merupakan penghargaan internasional tahunan yang diberikan kepada enam aktivis lingkungan akar rumput dari berbagai benua yang berkontribusi besar dan menginspirasi dalam perlindungan bumi.
Delima dan masyarakat adat Tano Batak telah berjuang selama bertahun-tahun untuk menyelamatkan hutan adat dan upaya mereka akhirnya berhasil pada Februari 2022 dimana mereka mendapatkan hak yang sah atas 7.213 hektar hutan adat enam kelompok masyarakat adat di sana.
“Ini merupakan kemenangan bagi gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Perebutan hak atas tanah dan identitas kita bukanlah hadiah dari surga. Kita perlu berjuang untuk itu!” kata Delima, yang menegaskan bahwa penghargaan yang diterimanya bukanlah hasil dari pekerjaan individu namun adalah kerja bersama masyarakat adat, seperti termuat dalam laman benarnews.org.
Delima memimpin kampanye untuk mengamankan pengelolaan legal atas 17.824 hektar lahan hutan tropis untuk enam komunitas adat di wilayah Sumatra Utara.
Keenam kelompok masyarakat adat tersebut adalah Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-henak, dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
Mereka harus berhadapan dengan industri kuat di Sumatra Utara – perusahaan pulp dan kertas yang sebagian telah mengubah hutan tersebut menjadi perkebunan monokultur eucalyptus yang bukan merupakan tanamana asli di wilayah tersebut.
“Kami tidak melanggar hukum. Ada konstitusi yang menjamin perjuangan kita. Negara tidak akan memberikan begitu saja kepada kami,” ujarnya, seperti dikutip dalam statemen yang dirilis Yayasan Lingkungan Goldman dalam laman tersebut.
Baca juga: Peningkatan Tarif Angkutan Dorong Inflasi Kepri pada April 2023
Delima dan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil mendapatkan hak pengelolaan yang sah atas hutan adat mereka. Warga mulai memulihkan hutan mereka dengan menanam kembali spesies asli wilayah tersebut, termasuk pohon kemenyan (Benzoin styrax). Ini adalah kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat, demikian Yayasan Lingkungan Goldman dalam rilisnya.
Yayasan Penghargaan Lingkungan Goldman didirikan pada tahun 1989 di San Francisco oleh aktivis dan pemimpin sipil Rhoda dan Richard Goldman. Dalam 34 tahun, penghargaan tersebut telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap lingkungan, demikian rilis yayasan itu.
“Sekarang dunia telah sadar dengan krisis lingkungan yang akut seperti perubahan iklim, ekstraksi bahan bakar fosil, dan polusi udara dan air kita. Kita jauh lebih menyadari hubungan kita satu sama lain dan dengan semua kehidupan di planet ini,” kata John Goldman, Presiden Yayasan Lingkungan Goldman, yang selama 34 tahun terakhir telah memberikan penghargaan kepada 219 aktivis lingkungan dan beberapa diantaranya berasal dari Indonesia.
Delima mendapatkan penghargaan bergengsi itu untuk kategori Kepulauan/Negara Kepulauan. Lima pemenang lainnya mewakili masing-masing benua adalah Chilekwa Mumba, seorang advokat lingkungan hidup di Zambia, Afrika, yang berhasil membawa kasus polusi yang disebabkan oleh sebuah perusahaan penambangan batubara ke Mahkamah Agung. Pengadilan memenangkan kasusnya dan menuntut perusahaan tambang milik Inggris itu bertanggung jawab.
Ada juga Zafer Kizilkaya di Turki, Asia, yang berkolaborasi dengan nelayan dan pemerintah setempat dalam memperluas jaringan Kawasan Konservasi Laut Turki.
Untuk benua Eropa, penghargaan jatuh ke seorang aktivis lingkungan dari Finlandia, Tero Mustonen yang memimpin restorasi 62 bekas lokasi pertambangan dan kehutanan industri gambut yang rusak parah di seluruh Finlandia—seluas 86.000 hektar—dan mengubahnya menjadi lahan basah dan habitat yang produktif.
Untuk wilayah Amerika Utara, penghargaan diberikan kepada Diane Wilson, aktivis yang memenangkan kasus penting melawan Formosa Plastics, salah satu perusahaan petrokimia terbesar di dunia, atas pembuangan limbah plastik beracun secara ilegal di pantai Teluk Texas.
Penghargaan juga diberikan kepada Alessandra Korap Munduruku dari Brasil untuk kategori wilayah Amerika Selatan dan Tengah, yang mengorganisir masyarakat untuk menghentikan pembangunan pertambangan oleh perusahaan pertambangan Inggris Anglo American di hutan hujan Amazon Brasil.