EDISI.CO, BATAM– Siswa dari SMP Negeri 48 Kota Batam mengunjungi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam, Senin (19/6/2023). Kunjungan itu, siswa dari Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang ingin mempelajari budaya Melayu sebagai penerapan P5 kurikulum merdeka dalam project Kebhinekaan.
Koordinator Project yang juga sebagai guru Bahasa Indonesia SMP N 48 Kota Batam, Guntur menyebut kegiatan ini diikuti 22 siswa dari kelas 7 dan 8. Dipilihnya Museum Batam Raja Ali Haji dan LAM Kota Batam untuk menambah wawasan siswa khususnya budaya Melayu.
“Kami temanya global, kegiatan ini untuk menambah wawasan nusantara, kami ingin belajar Budaya Melayu jadi kami datang ke sini (Museum Batam Raja Ali Haji dan LAM),” katanya.
Gedung LAM, siswa dapat melihat tempat bersanding pengantin juga bertingkat-tingkat yang dalam Bahasa Melayu bernama Peterakne. Selain mengunjungi LAM, siswa juga mengunjungi Museum Batam Raja Ali Haji siswa mendapat pengetahuan dari koleksi yang ada di museum seperti diantaranya masa Riau Lingga, Khazanah Melayu, hingga infrastruktur atau era Batam sekarang.
“Semoga kunjungan ini siswa mengetahui nenek moyang mereka karena mereka orang Melayu,” ucapnya.
Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam, Muhammad Zen, menjelaskan tentang LAM Kota Batam kepada murid SMP N 48 Kota Batam. Ia mengatakan LAM merupakan tempat berkumpul dalam hal ini seseorang yang mengurus bidang Melayu.
“Kalau mau bangunan dengan bentuk Melayu bisa berkonsultasi dengan LAM, begitu juga dengan pelajar yangi ingin belajar budaya Melayu bisa ke LAM,” terangnya.
Baca juga: DPT Kota Batam pada Pemilu 2024 Sebanyak 851.614 Pemilih
Kegiatan itu, Zen menjelaskan Wilayah Batam dulunya masuk di bawah Kesultanan Riau, Lingga, Johor, dan Pahang. Kesultanan ini memang telah berakhir tahun 1913 silam. Namun, pengaruh dan jejak budaya yang ditinggalkan tetap jadi warisan hingga kini. Salah satunya, terkait adat upacara perkawinan.
Selain warna kuning, ada dua warna lain yang juga tak pernah luput dari gawai orang Melayu, yakni hijau dan merah.
Tabir berwarna kuning, hijau, dan merah, yang disebut dengan tabir belang, digunakan untuk mengelilingi ruangan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan adat Melayu. Di langit-langit, terdapat hiasan bernama kondas, serta hiasan seperti lidah berwarna keemasan. Keduanya akan menambah kesan mewah.
Masyarakat kebanyakan menyebut pelaminan adalah tampat sepasang pengantin bersanding. Namun, bagi masyarakat Melayu, ada yang sedikit berbeda. Pelamin adalah tempat tidur pengantin. Di sekelilingnya, dihias dengan tabir belang, artinya tabir berwarna warni.
Zen menunjukkan, di pelamin sendiri, terdapat ulas atau tangga bermotif kertas prada atau kuningan. Warna ulas sendiri berwarna hijau dan motifnya berwarna keemasan dan kainnya berwarna merah. Pada ulas yang menyentuh lantai tidak diberikan motif, hanya kain saja disebut gerai.
“Pada zaman dulu, pelamin ini dengan tempat bersanding itu berhadapan seperti terdapat di Rumah Limas Potong di Batubesar, Nongsa, yang disekat menjadi dua. Dalam kamar itulah dibuat pelamin dan tempat bersanding, kemudian di sekelilingnya dihiasi tabir,” tuturnya.
Tempat bersanding pengantin juga bertingkat-tingkat. Dalam bahasa Melayu, disebut peterakne, yang terbagi dari tiga kata. Yakni, pe yang artinya peti atau kotak, rak artinya bertingkat, dan ne artinya lebih dari satu. Jumlah tingkatan peterakne harus ganjil karena Melayu identik dengan budaya Islam yang banyak menggunakan angka ganjil, serta dihias dengan tekat.
Jumlah tingkatan, misalnya tiga, pada umumnya untuk para datuk. Sedangkan lima tingkatan, untuk kerabat Sultan. Bantal sadok berada di belakangnya dan tempat bersandar. Kemudian, tabir selak terdapat di kiri dan kanan. Dalam tempat bersanding ini, yang wajib ada adalah peti atau kotak.
Pada pelamin Melayu, memiliki warna kebesaran yakni kuning, hijau, biru, hitam, dan merah. Untuk warna kuning, untuk kerabat sultan dan anak-anaknya. Warna hijau untuk para alim ulama, biru untuk pembesar istana, warna merah untuk laksmana dan panglima, sementara hitam untuk pemangku adat.
“Selain untuk pengantin bersanding, fungsi dari peterakne ini juga tempat acara tepuk tepung tawar,” terangnya.
Kepala Disbudpar Kota Batam, Ardiwinata, menyambut baik kedatangan siswa ini yang ingin belajar tentang budaya Melayu. Ia mengatakan, Kota Batam melekat dengan kebudayaan Melayu. Seperti, pada kulinernya, adat perkawinannya, dan busananya. Karena itu, budaya Melayu harus dijunjung tinggi.
“Melayu melekat di Kota Batam dan hadir di setiap kegiatan kebudayaan. Kita selalu menggelar kegiatan Kenduri Seni Melayu (KSM) yang berupaya mengenalkan kembali suasana budaya Melayu,” katanya.
Ardi mengajak masyarakat untuk senantiasa mencintai budaya Melayu. “Bagi yang ingin mengetahui tentang pelamin, peterakne dan kebudayaan Melayu, silahkan datang ke Kantor Disbudpar Batam di Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM), kami akan menjelaskan detailnya,” tutupnya