CATATAN EDISIAN– Saya memandangnya. Hati dan bibir ini bergetar. Ya Allah, engkau hadirkan diri ini dekat dengan rumahmu, engkau berikan waktu dalam hidup ini mengetuk pintu dan mengelilingi setiap sudut rumahmu, engkau berikan kesempatan dalam hidup ini menjadi hambamu yang terpilih.
Ya Allah, engkau segala maha, hamba datang memenuhi panggilanmu.
Ka’bah, bukanlah bangunan megah yang mengesankan seperti istana-istana negeri dongeng. Sebagai rumah tuhan dengan segala maha yang dimilikinya. Ka’bah bukan juga bangunan dengan arsitektur yang detil dan rumit seperti masjid-masjid yang dibangun manusia selama ini, ia hanyalah bangunan berbentuk kubus, sangat sederhana.
Ya Allah, ketika aku shalat di teras rumahmu, engkau sebagai pemilik rumah dan kehidupan ini, meski dekat hari ini, apakah engkau bisa kuraih?
Hamba dengan segala catatan hitam dalam hati dan jiwa ini, mungkin engkau sulit diraih, meski saat ini aku ada dekat dengan rumahmu.
Ya Allah, aku sadar dengan segala kelemahan ini. Jadikan kesadaran ini membuatku berpasrah diri, jadikan kepasrahan ini, detik ini bisa merasakan dekat denganmu.
Ka’bah sebagai lambang rendah hati manusia. Sejatinya, ketika beribadah atau berdoa, manusia dapat menghadap kemanapun yang mereka suka. Namun, justru tidak melakukan itu. Mereka patuh, berpasrah, menghadap ke satu arah, Ka’bah.
Ka’bah menjadi titik episentrum kepasrahan manusia tanpa syarat, mutlak menyerahkan kehidupannya bagi tuhan yang telah memanggilnya yang menjadi pemiliknya.
Baca juga: Bantuan Tunai untuk Korban Puting Beliung di Pulau Kasu
Tuhan di rumahnya tidak terlihat, namun memberikan jamuan ampunan bagi tamu-tamunya. Tuhan tidak mempersyaratkan hamba-hamba yang datang memenuhi panggilannya dengan atribut keduniawian yang dimiliki manusia, dengan hadiah dan buah tangan kemewahan hamba-hambanya, cukup dengan dua helai kain putih, niat, ikhlas, dan manusia bisa meminta apa saja yang dikehendakinya.
Saat thawaf mengelilingi Ka’bah, Ali Shariati, mengatakan meminta manusia membayangkan dirinya sebagai partikel besi, sebesar debu, yang bergerombol mengelilingi medan magnet bernama Ka’bah bersama jutaan partikel besi lainnya.
Sebagai partikel kecil, sebutir debu diantara jutaan debu lainnya, akan merangsang dan mendorong kita untuk berpikir “Siapa saya?” dan mendorong timbulnya jawaban “Bukan siapa-siapa, hanya setitik debu di luasnya jagat raya”. Inilah contoh lain dari rendah hati kita sebagai manusia yang menjadi partikel kecil dan debu di alam raya ini.
Partikel kecil, di satu sisi, memang tak ada artinya jika berdiri sendiri. Namun ketika seluruh partikel kecil itu bergabung, ia akan menjadi kekuatan besar yang signifikan. Itulah potret kemanusiaan bila bersatu tanpa syarat, tanpa kemutlakan yang dipersyaratkan. Ka’bah menjadi rumah kemanusiaan yang mempersatukan manusia, kemanusian universal, sebagaimana Islam yang dihadirkan tuhan untuk menjadi rahmat semesta.
Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dengan perintah dan bimbingan tuhan, sebagai poros dan titik kulminasi tujuan manusia. Ka’bah menjadi simbol tujuan, bahwa hidup, bahwa sebagai mahluk, keniscayaan beribadah kepada Allah yang maha kuasa menjadi titik utama manusia dan mengapa ia diciptakan. Bukankah tuhan menciptakan manusia dan jin semata untuk beribadah kepadanya.
Saya merasakan keindahan tak terperi, doa yang dipanjatkan, napas yang dihela, tahmid yang dilafalkan, bak puisi yang tidak berhenti dalam seribu lirik.
Ya Allah, aku begitu dekat dengan rumahmu. Berikan kasih sayangmu, biarkan aku menyentuhnya, mengitarinya, mendambanya kembali nanti. Aku begitu dekat dengan rumahmu, biarkan aku menikmatinya, menjadi belahan dirimu.
Merindu rumahmu adalah cita-cita para hambamu. Labbaik allhumma labbaik.
***Penulis: Dodo Murtado (Humas Kementerian Agama, Ketua Yayasan Kiai Ali)