EDISI.CO, BATAM- Puluhan warga perwakilan masyarakat dari Kampung Terih, Kelembak, dan Sambau, yang tergabung dalam Rumpun Nelayan Bersatu, Kecamatan Nongsa, Kota Batam mendatangi kantor DPRD Kota Batam pada Rabu, 21 Juni 2023 lalu.
Kedatangan mereka yakni untuk melakukan audiensi dan mempertanyakan keadilan terkait aktivitas reklamasi yang dilakukan oleh PT. Raja Sakti Cemerlang di Sei Ulu Panglong, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa.
Para nelayan meminta aktivitas reklamasi di wilayah tersebut dihentikan karena mengganggu aktivitas mereka dan meminta kompensasi atas kerugian yang telah mereka alami akibat reklamasi tersebut.
Baca juga: GrabCar Airport Akan Masuk Bandara Batam Pertengahan Juli 2023
Sesaat sebelum mereka melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Ruang Rapat Komisi I DPRD Kota Batam, sekitar pukul 15.30, para nelayan yang berkumpul di halaman depan Kantor DPRD menemui Wali Kota Batam, Muhammad Rudi yang hendak meninggalkan Kantor DPRD usai menghadiri rapat paripurna.
Rudi menyempatkan dirinya berdialog dengan para nelayan perihal maksud kedatangan mereka ke Kantor DPRD.
Salah seorang nelayan, Ali menyampaikan keluhan mereka terkait dampak penimpunan yang merusak lingkungan pesisir dan mengganggu mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
“Kami kesini untuk RDP terkait reklamasi di Nongsa pak,” ujar Ali, Rabu (21/6/2023).
Menanggapi keluhan tersebut, Rudi kemudian menanyakan perihal aktivitas reklamasi tersebut.
Apakah ada izin reklmasi dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)?,” tanya Rudi.
“Saat kami tanyakan soal izin penimbunan, pihak kontraktor hanya menunjukkan Peta Lokasi (PL) sehingga kami menduga proyek ini belum dilengkapi izin dari Dinas terkait,” jawab Ali.
Rudi lalu memberikan memberi nomer teleponnya kepada nelayan agar nantinya permasalahan tersebut dapat menjadi atensi oleh pihaknya.
Baca juga: Dewas BP Batam Pantau Kesiapan Penyesuaian Tarif Bongkar Muat Pelabuhan Batu Ampar
Sekitar pukul 15.45 WIB, RDP yang dipimpin oleh Harmidi Umar Husein dimulai. Dirinya menampung keluhan para nelayan termasuk keluhan terkait kompensasi sebesar Rp1 juta per orang yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada nelayan.
Tokoh masyarakat Kampung Terih, Seno menuturkan, kompensasi yang diberikan oleh PT. Raja Sakti Cemerlang tidak sebanding dengan dampak dari aktivitas reklamasi yang ditimbulkan.
“Bukan banyak yang mereka minta ganti rugi pak Bapak bisa bayangkan dengan pendapatan Rp50 ribu saja perhari dikalikan 150 orang, sebulan sudah berapa, sesuai tidak dikasih ganti rugi Rp1 juta per orang. Padahal sampai 10 tahun itu dampaknya,” kata Seno.
Menurutnya pihak prusahaan hanya mementingkan kepentingan perusahaan tanpa mempedulikan keberlangsungan hidup nelayan disekitar lokasi reklamasi.
“Janganlah difikir Batam ini tidak ada orangnya (penduduk aslinya). Kami sudah tujuh keturunan disini. Ini kami tinggal di muara di Kampung Terih, hulu sungainya ditimbun sama mereka. Tidak ada bahasa sopan santun terhadap kita. Asal ada uang, suka-suka mereka,” sesalnya.
Sementara itu, Perwakilan PT. Raja Sakti Cemerlang Nainggolan mengatakan bahwa nominal kompensasi para nelayan sebelumnya terlalu besar, sehingga pihaknya tidak menyanggupi.
“ Kami sudah bicara dengan nelayan, namun permasalahan kompensasi yang diminta ke kita terlalu besar. Dan tidak ada kita (perusahaan) tidak menghargai. Kita sangat menghargai kawan-kawan dari Melayu,” ungkapnya.
Pihak perusahaan juga tidak dapat menunjukkan legalitas proyek penimbunan sehingga DPRD Batam meminta untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Sementara itu, ketua NGO Akar Bhumi Indonesia, Soni Riyanto menyanyangkan kurang tegasnya instansi terkait dalam penyelesaian masalah ini.
“Instansi terkait kurang tegas, jelas lokasi existingnya adalah mangrove. Aparatur kota batam mestinya sudah memasang yellow line agar perusahaan tidak beraktivitas hingga segala perizinan terpenuhi,” kata Soni.
Ada Perda No.4 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lanjut Soni, yang mestinya bisa lebih melindungi lingkungan dan masyarakat.
Dijelaskannya, Batam sebagai pulau kecil (dibawah 2.000 km2) juga dilindungi UU No.27 tahun 2007 junto UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Informasi dari masyarakat, sehari setelah RDPU perusahaan tak juga mengindahkan hasil keputusan RDPU untuk menghentikan semua aktivitas. Seolah anjing mengonggong kafilah berlalu, keputusan Komisi I DPRD Kota Batam pun tak digubris, ditakutkan terjadi anarkis di lapangan,” terangnya.