EDISI.CO, NASIONAL– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta meminta Bank Indonesia (BI) untuk menunda pemberlakuan biaya layanan QRIS bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) sebesar 0,3 persen. Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Abdul Muhaimin Iskandar, menuturkan meskipun biaya layanan tersebut dibebankan kepada PJP, tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu akan berdampak pada pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta konsumen.
“Saya meminta Bank Indonesia menunda pemberlakuan biaya transaksi QRIS sebesar 0,3 persen untuk sektor mikro. Kembalikan seperti semula (0 persen). Jika ini tetap diberlakukan, saya yakin semua pihak akan terkena dampaknya, bukan hanya penyedia jasa, tetapi juga pelaku usaha, UMKM, dan tentu saja konsumen,” kata Gus Imin dalam keterangan resminya pada Senin (10/7/2023).
Muhaimin menjelaskan bahwa biaya layanan yang dikenakan pada pemberlakuan QRIS juga dapat menghambat transaksi non-tunai. Padahal, menurutnya, transaksi non-tunai yang sedang digalakkan saat ini memiliki efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan transaksi tunai.
“Dampaknya juga akan dirasakan pada transaksi non-tunai, padahal sistem pembayaran ini lebih efektif dan efisien daripada pembayaran tunai. Belum lagi sekarang pelaku UMKM ini sedang bangkit pasca pandemi, jadi janganlah membebani mereka terlebih dahulu,” ungkap Legislator Dapil Jawa Timur VIII tersebut.
Baca juga: Camat dan Lurah Kota Batam Tak Hadiri Rakor Camat dan Lurah Se-Kepri
“Oleh karena itu, saya menekankan agar pemberlakuan biaya layanan QRIS ditunda terlebih dahulu. Ini ibarat kita ingin naik motor untuk cepat sampai, tetapi motornya diikat ke pohon. Tentu saja tidak akan berjalan,” tambah Gus Imin.
Seperti yang diketahui, Bank Indonesia (BI) telah memberlakukan biaya layanan QRIS sebesar 0,3% bagi PJP sejak tanggal 1 Juli 2023. Sebelumnya, BI menetapkan bahwa MDR QRIS bagi pedagang UMKM adalah nol persen. Kebijakan tersebut berlaku hingga akhir Desember 2021 dan diperpanjang hingga 31 Desember 2022, kemudian diperlonggar kembali hingga 30 Juni 2023.