EDISI.CO, BATAM– Rencana pengmbangan Pulau Rempag sebagai kawasan ekonomi baru Indonesia mendapat penolakan dari warga kampung yang sudah menetap di Pulau Rempang. Penolakan itu mereka suarakan dalam kegiatan Sosialiasi Rencana Pengembangan Pulau Rempang sebagai Kawasan Rempang Eco-City di simpang Sembulang, Kecamatan Galang, Batam pada Jumat (21/7/2023).
Warga menolak rencana tersebut karena khawatir kampung-kampung yang selama ini menjadi tempat tingal mereka akan tergusur. Jika pemerintah dapat memberikan kepastian kampung-kampung mereka tidak akan digusur, warga justru mengaku senang dengan hadirnya pembangunan di Pulau Rempang.
Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjungpinang, M. Syuzairi, dalam pertemuan tersebut mengatakan wajar jika masyarakat Rempang khawatir dan menuntut jaminan atas keberadaan kampung mereka. Kekhawatiran warga perihal nantinya mereka hanya bisa menyaksikan kemajuan dan tidak bisa terlibat dalam proses kemajuan itu sendiri juga dapat dimengerti.
“Jadi harapan masyarakat Rempang saya pikir sangat logis, khawatir kampung ini atau wilayah ini dan mereka akan menjadi penonton,” tutur Syuzairi.
Baca juga: Warga Rempang Bawa Pesan Jokowi yang Larang Gusur Kampung pada Utusan BP dan Pemko Batam
Syuzairi mengatakan konsep membangun kota seperti rencana pengembangan Rempang Eco-City ini, seharusnya tidak membuat masyarakat di 11 titik kampung yang ada di Pulau Rempang khawatir, apalagi sampai tersisih dari peradaban mereka. Karena konsep membangun sebuah kota, itu tidak ada yang namanya tersisihkan, semuanya harus diberdayakan.
“Oleh sebab itu, win-win solution dan harapan warga, kampung-kampung tua ini dapat ditetapkan sebagai kampung wisata dan kita harapkan MEG menjadi bapak angkat yang membantu pengembangan kampung, jangan digusur-gusur,” tutur Syuzairi.
Syuzairi melanjutkan, masyarakat Rempang, Galang dan Setokok sangat mungkin masuk dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan mendapatkan sertifikat tanah gratis. Hal itu tergantung kemauan dari Pemerintah Kota (Pemko) dalam hal ini Pemko Batam, apakah ingin membantu masyarakat atau tidak.
Masyarakat Rempang, lanjut Syuzairi, selama ini terbelenggu oleh statusquo, padahal tidak ada penetapan pengadilan kalau Pulau Rempang itu statusquo.
“Tidak ada alasan masyarakat tidak mendapatkan sertifikat. Jadi PTSL ini sangat mungkin, ini sebuah harapan karena penguasaan masyarakat sudah berada di atas 20 tahun. Saya sudah konsultasi ke kementerian ATR/BPN, bahwa PP NO. 24 Tahun 1997 mengamanatkan penguasaan masyarakat di atas 20 tahun, dengan itikat baik negara wajib memberikan hak rakyat,” tutur Syuzairi lagi.
Lebih jauh, Syuzairi mengaku heran mengapa rencana Pengembangan Pulau Rempang justru berada di pemukiman milik warga, padahal masih banyak lahan kosong dari total sekitar 17 ribu hektar luasan Pulau Rempang.
Proses Perizinan
Syuzairi mengaku terkejut atas informasi yang disampaikan Wali Kota sekaligus Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi terkait, target dalam dua bulan izin atas pengembangan Pulau Rempang harus keluar.
“Barangkali pak Rudi salah menerima informasi dari staf, tidak semudah itu. persoalan Clear and Clean itu butuh satu tahun minimal. Dan mekanisme ganti rugi itu ada tiga tahapan, mulai dari musyawarah mufakat, libatkan lembaga apresial dan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Artinya mekanisme ganti rugi lahan itu harus lewat musyawarah, kalau tidak setuju apresial, lalu ke pengadilan,” kata dia lagi.
“Sementara ini yang dikeluarkan SK HPL bersyarat, maksudnya ada ketentuan untuk membebaskan dulu.”