EDISI.CO, NASIONAL– Indonesia adalah negara megabiodiversitas alias memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa banyak. Meski demikian, sejauh ini baru 10% kekayaan yang terungkap. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan: butuh waktu berapa lama untuk mengungkap seluruhnya?
Di sinilah peran teknologi berguna untuk mempercepat usaha dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pemahaman terhadap biodiversitas akan membantu kita mengenali siklus alam lebih dan mengambil manfaat untuk kehidupan manusia.
Titik terang atas jawaban tersebut mulai terlihat. Belum lama ini, sebuah terobosan bidang ilmu genetika molekuler bernama airborne deoxyribonucleic acid (DNA) membuka jalan bagi peneliti untuk mempercepat pemahaman kita terkait keanekaragaman hayati. Airborne DNA adalah teknik pengambilan DNA dari partikel udara di suatu lingkungan yang membawa jejak makhluk hidup.
Apa itu Airborne DNA? Bagaimana cara kerjanya?
Organisme dapat melepaskan material dan partikel organik yang mengandung DNA ke udara melalui pernapasan, ekskresi (pelepasan sisa-sisa metabolisme), atau sel kulit mati yang terkelupas (pada manusia dan hewan). DNA juga terdapat di serbuk seperti polen pada tumbuhan. DNA ini bersifat bioaerosol alias melayang bersama partikel udara.
Kita dapat memperoleh dan mengoleksi airborne DNA dari sumber-sumber di atas. Caranya dengan menyedot udara di lokasi yang diinginkan. Udara yang terisap kemudian akan disaring dengan filter khusus untuk mendapatkan material genetik yang menempel pada filter.
Baca juga: Nelayan kecil masih Perpinggirkan, Pengelolaan Laut harus Diperbaiki demi Mendukung Ekonomi Biru
Setelah penyaringan, tahap selanjutnya adalah proses ekstraksi DNA dari filter udara. Namun, karena kuantitas DNA di udara sangat sedikit, kita memerlukan penggandaan dan perbanyakan kuantitas DNA menggunakan teknik PCR (polymeraise chain reaction).
Tahap terakhir adalah pembacaan runutan sekuens DNA dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS).
Melalui proses bioinformatika, kita dapat membaca informasi genetik dari sampel. Caranya dengan mencocokkan runutan sekuens DNA dengan referensi genetik yang tersedia.
Proses ini bisa diibaratkan seperti pencarian pelaku kejahatan oleh polisi dengan mencocokkan sidik jari (sekuens DNA) yang ada di tempat kejadian (udara) untuk mengidentifikasi tersangka maupun korban (tumbuhan maupun hewan).
Salah satu contoh referensi, misalnya, adalah Bank Genetika (GenBank) yang dikelola oleh National Center for Biotechnology Information (NCBI), Amerika Serikat.
Studi yang telah dilakukan
Dalam dua studi terbaru yang diterbitkan di jurnal bereputasi Current Biology, para peneliti membuktikan airborne DNA bisa digunakan untuk menjelajahi keanekaragaman hewan di Kebun Binatang Copenhagen di Kanada dan Kebun Binatang Hamerton di Inggris. Sampel udara diambil dari lingkungan sekitar kebun binatang.
Hasilnya, berbagai jenis hewan yang ada di dalam kebun binatang, termasuk yang berada di dalam bangunan atau jauh dari tempat pengambilan sampel, dapat terdeteksi dengan akurat. Metode ini juga sebelumnya telah berhasil digunakan Johnson dan tim dari Universitas Texas Tech untuk studi tumbuhan.
Selain studi keanekaragaman jenis, airborne DNA juga bisa digunakan dalam studi pemantauan invasive alien spesies (IAS) – spesies asing yang mengancam keberadaan spesies asli. Kita juga bisa memantau pengaruh perubahan lingkungan terhadap tumbuhan. Metode ini juga diprediksi bisa digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan yang berubah seperti climate change terhadap hewan.
Manfaat airborne DNA dan tantangan di Indonesia
Saat ini, teknik konvensional pemantauan hewan seperti kamera tersembunyi (camera trap) atau pun bioakustik (analisis suara) memiliki keterbatasan karena sangat bergantung pada kehadiran fisik hewan atau berada di daerah yang sulit dijangkau. Terlebih di Indonesia, negara dengan wilayah yang luas dan ekosistem yang beragam.
Teknik eksplorasi airborne DNA dapat mengatasi beberapa keterbatasan tersebut.
Kendati demikian, teknik ini masih memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan sebelum diterapkan di tanah air. Salah satunya adalah keterbatasan basis data genetik hewan Indonesia.
Basis data diperlukan untuk menjadi referensi peneliti saat membaca urutan airborne DNA. Sayangnya, referensi database genetik hewan Indonesia belum tersedia secara lengkap. Oleh karena itu, diperlukan upaya gotong-royong untuk memperluas dan memperkaya basis data genetika satwa Indonesia (termasuk tumbuhan) agar eksplorasi DNA di udara lebih optimal.
Upaya gotong-royong dapat melibatkan pengumpulan dan analisis sampel airborne DNA dari berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Peneliti, lembaga riset, universitas, pemerintah, dan masyarakat dapat berfokus pada daerah-daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan spesies langka atau sulit diamati.
Penerapan teknologi airborne DNA dapat mempercepat pemahaman dan pemantauan keanekaragaman hewan di Indonesia. Harapannya, teknologi tersebut dapat berkontribusi dalam upaya konservasi, perlindungan spesies terancam, dan pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Penulis: Fajrin Shidiq, Peneliti Ahli Pertama, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.