EDISI.CO, NASIONAL– Kita semua pasti pernah merasakannya dalam hidup kita. Para penyair menulis tentang cinta, para penyanyi bernyanyi tentang cinta – dan seluruh industri telah tumbuh untuk menemukan, mengekspresikan, dan mempertahankan cinta. Namun, apakah cinta itu? Di manakah ia berada? Dari mana ia diciptakan? Dan apa yang sebenarnya terjadi di dalam pikiran dan tubuh kita saat kita jatuh cinta?
Cinta romantis, meskipun sering kali sulit untuk didefinisikan, mencakup pengembangan ikatan emosional yang kuat – yang dikenal sebagai “keterikatan” – ketertarikan seksual dan pemberian perhatian. Mereka yang “jatuh cinta” mengalami berbagai perasaan yang intens, seperti pikiran yang mengganggu, ketergantungan emosional, dan peningkatan energi – meskipun perasaan ini mungkin terbatas dirasakan pada fase awal hubungan.
Bagaimanapun, cinta tampaknya bersifat universal. Namun, sejauh mana cinta diekspresikan atau menjadi bagian penting dalam hubungan seksual dapat bervariasi. Sebagai contoh, hanya kurang dari 5% orang Amerika yang mengakui bahwa mereka bisa menikah tanpa cinta, sementara di Pakistan ada 50% orang yang bisa melakukannya.
Aktivitas otak
Banyak bagian di otak kita, terutama yang terkait dengan penghargaan dan motivasi, diaktifkan oleh pikiran atau kehadiran kekasih. Ini termasuk hipokampus, hipotalamus, dan korteks cingulate anterior. Aktivasi area-area ini dapat berfungsi untuk menghambat perilaku defensif, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan kepercayaan terhadap pasangan. Selain itu, area seperti amigdala dan korteks frontal dinonaktifkan sebagai respons terhadap rasa cinta; proses ini dapat berfungsi mengurangi kemungkinan munculnya emosi maupun penilaian negatif terhadap pasangan.
Baca juga: Pemilu 2024 akan jadi pesta demokrasi terbesar di dunia: 5 hal yang perlu kamu ketahui
Oleh karena itu, aktivasi otak sebagai respons terhadap pasangan romantis tampaknya memberi penghargaan pada interaksi sosial dan menghambat respons negatif. Sejauh mana otak diaktifkan selama tahap awal hubungan romantis tampaknya memengaruhi kesejahteraan kita sendiri dan sejauh mana hubungan itu sukses atau gagal.
Sebagai contoh, kebahagiaan, komitmen terhadap pasangan dan kepuasan hubungan masing-masing terkait dengan intensitas dari aktivasi otak.
Pengaruh hormonal terhadap cinta
Oksitosin dan vasopresin adalah hormon yang paling erat kaitannya dengan rasa cinta. Keduanya diproduksi oleh hipotalamus dan dilepaskan oleh kelenjar hipofisis; dan meskipun perasaan laki-laki dan perempuan sama-sama dipengaruhi oleh oksitosin dan vasopresin, perempuan lebih sensitif terhadap oksitosin dan laki-laki lebih sensitif terhadap vasopresin.
Konsentrasi oksitosin dan vasopresin meningkat intens selama tahap-tahap tumbuhnya rasa cinta romantis. Hormon-hormon ini bekerja pada berbagai sistem di dalam otak dan reseptornya ada di sejumlah area otak yang terkait dengan cinta. Secara khusus, oksitosin dan vasporesin berinteraksi dengan sistem penghargaan dopaminergik dan dapat merangsang pelepasan dopamin oleh hipotalamus.
Jalur dopaminergik yang diaktifkan selama cinta romantis menciptakan perasaan menyenangkan yang bermanfaat. Jalur ini juga terkait dengan perilaku adiktif, konsisten dengan perilaku obsesif dan ketergantungan emosional yang sering diamati pada tahap awal percintaan.
Para peneliti sudah sering menyelidiki pengaruh oksitosin dan vasopresin pada hewan seperti tikus padang rumput dan tikus gunung. Didokumentasikan dengan jelas bahwa tikus padang rumput (yang membentuk hubungan monogami seumur hidup) memiliki kepadatan reseptor oksitosin dan vasopresin yang jauh lebih tinggi daripada tikus gunung yang bebas berganti pasangan, terutama dalam sistem penghargaan dopamin.
Selain itu, tikus padang rumput menjadi liar ketika pelepasan oksitosin dan vasopresin diblokir. Bersama-sama, temuan ini menyoroti cara bagaimana aktivitas hormon dapat memfasilitasi (atau menghalangi) pembentukan hubungan yang erat.
Cinta dan rasa kehilangan
Hubungan percintaan yang romantis mungkin memiliki fungsi evolusioner yang penting, misalnya dengan meningkatkan tingkat dukungan orang tua terhadap anak-anaknya. Namun, kita biasanya kita merasakan hubungan romantis dalam proses pencarian untuk menemukan “seseorang” – inilah yang membuat adanya fase kehilangan cinta, baik melalui putusnya suatu hubungan atau kehilangan. Walaupun terasa menyedihkan, kebanyakan orang dapat mengatasinya dan melanjutkan hidup selepas kehilangan ini.
Bagi sebagian kecil orang yang merasakan duka kehilangan, muncul rasa kesedihan yang rumit, ditandai dengan emosi menyakitkan yang berulang dan keterpakuan terhadap pasangan yang telah meninggal. Semua pasangan yang berduka mengalami rasa sakit sebagai respons terhadap rangsangan yang berhubungan dengan rasa kehilangan (seperti melihat kartu atau foto kenangan).
Bagi mereka yang mengalami kesedihan yang sulit dijelaskan ini, rangsangan tersebut juga mengaktifkan pusat penghargaan di otak, menghasilkan suatu bentuk keinginan atau kecanduan yang mengurangi kemampuan mereka untuk pulih dari kehilangan.
Cinta ibu
Ada sejumlah kesamaan antara respons fisiologis terhadap cinta romantis dengan pasangan dan cinta keibuan. Sebagai contoh, daerah otak yang diaktifkan oleh cinta ibu tumpang tindih dengan daerah otak yang diaktifkan oleh cinta romantis. Secara khusus, area penghargaan di otak yang mengandung konsentrasi oksitosin dan vasopresin tinggi diaktifkan, sementara area yang dinonaktifkan selama cinta romantis – termasuk yang terkait dengan penilaian dan emosi negatif – dinonaktifkan selama cinta keibuan.
Selain itu, peningkatan dan penurunan konsentrasi oksitosin meningkatkan dan mengurangi perilaku ibu. Namun, perbedaan antara respons terhadap cinta keibuan dan cinta romantis terjadi karena cinta keibuan mengaktifkan sejumlah bagian di otak (seperti materi abu-abu periaqueductal) yang tidak diaktifkan selama cinta romantis. Ini alasan mengapa ikatan keibuan bersifat unik.
Beberapa hal terasa sangat mudah selama tahap awal “cinta sejati” atau cinta yang dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya, tetapi kenyataannya agak lebih kompleks, ada sebuah pantomim hormon dan interaksi fisiologis yang kompleks yang membuatnya menjadi sesuatu yang ajaib di dunia.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang peran proses biologis dalam cinta romantis dan aktivitas seksual, lihat Psikologi Biologis._
Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Penulis: Gayle Brewer, Senior Lecturer, School of Psychology, University of Central Lancashire
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.