EDISI.CO, NASIONAL– Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024. Ini diyakini akan menjadi pesta demokrasi terbesar di dunia yang akan diselenggarakan selama satu hari.
Terdapat Lebih dari 200 juta pemilih di Indonesia dan 1,75 juta pemilih diaspora yang dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden berikutnya, serta anggota DPR, DPD dan DPRD. Jumlah pemilih tersebut mencakup 74% dari total populasi Indonesia.
Kandidat potensial dan partai pengusungnya
Masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden akan berlangsung pada 19 Oktober hingga 25 November 2023.
Namun, nama Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto diprediksi kuat akan maju sebagai calon presiden (capres). Banyak pula yang menduga bahwa Anies, 53 tahun, akan menjadi kandidat unggulan dalam kontestasi politik tahun depan.
Sosok Anies mulai populer sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, dengan dukungan dari sejumlah kelompok Islam konservatif. Dukungan ini juga yang diyakini telah membantunya memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017.
Hingga kini, Anies tidak terdaftar sebagai kader dan tidak mewakili partai politik manapun. Namun, sejauh ini ia telah mengantungi dukungan resmi dari Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat untuk maju sebagai capres 2024.
Jika dijumlahkan, koalisi ketiga partai tersebut memegang total 25,03% kursi parlemen. Ini lebih dari syarat ambang batas minimal yang diperlukan oleh partai atau koalisi partai untuk dapat mengusung capres dan cawapres, yaitu 20%.
Namun, beberapa pakar politik memperingatkan bahwa koalisi ini cenderung lemah dan dapat dengan mudah pecah lalu meninggalkan Anies begitu saja.
Meski demikian, sebuah studi menunjukkan bahwa bagi mayoritas masyarakat Indonesia, citra politik Anies masih tetap positif berkat popularitasnya di media. Ia seringkali ditampilkan sebagai sosok yang cerdas, santun, tegas dan religius. Penelitian lainnya menemukan indikasi bahwa Anies yang mendapat paling banyak dukungan publik untuk maju sebagai capres.
Sementara itu, Ganjar, Gubernur Jawa Tengah aktif, telah mendapatkan tiket pencalonan presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai politik terbesar di parlemen dan partai asal Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Analisis tentang sentimen publik terhadap potensi pencalonan Ganjar untuk Pemilu 2024 menunjukkan bahwa ia juga memperoleh sentimen positif dari publik. Banyak masyarakat melihatnya sebagai kandidat paling aman, jika bukan yang terkuat. PDI-P menguasai 22,26% kursi parlemen, menjadikannya satu-satunya partai yang tidak perlu berkoalisi untuk dapat mengajukan capres-cawapres.
Ganjar banyak disebut-sebut sebagai figur yang mirip dengan Jokowi: seorang sipil dengan gaya komunikasi yang membumi. Dia juga berasal dari Jawa Tengah, seperti Jokowi – ini mungkin jadi poin penting bagi banyak pemilih.
Sementara bagi Prabowo, pertarungan Pilpres 2024 akan menjadi kali ketiga ia maju sebagai capres, setelah sebelumnya kalah dua kali berturut-turut dari Jokowi. Ia juga pernah kalah dalam Pilpres 2009 sebagai cawapres dari capres Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI-P.
Prabowo merupakan mantan jenderal TNI angkatan darat dan saat ini adalah pemimpin Partai Gerindra, partai terbesar kedua di parlemen. Jokowi mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan pada 2019.
Setiap menjelang pencalonannya, Prabowo hampir selalu dikaitkan dengan penculikan dan penghilangan paksa mahasiswa dan aktivis yang menentang rezim otoriter Orde Baru Suharto pada akhir 1990-an. Saat itu, dia menjabat sebagai Panglima Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat.
Dalam sejumlah survei nasional, elektabilitas Prabowo selalu memimpin, sedikit lebih tinggi di atas Anies dan Ganjar.
Pemilih muda
Salah satu aspek menarik dalam Pemilu 2024 adalah bahwa kaum muda (rentang usia 22-30 tahun) akan mendominasi total pemilih nasional, yakni sebesar 56,4% atau sekitar 114 juta. Separuh dari mereka adalah pemilih pemula. Namun, yang jadi pertanyaan adalah apakah mereka mau memilih atau tidak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2022 mengungkapkan bahwa partisipasi pemilih muda pada pemilu 2019 sebesar 91,3%, naik dari 85,9% pada pemilu 2014.
Sayangnya, ketika ditanya tentang pandangannya, persentase kaum muda yang menyatakan tertarik pada politik hanya 1,1%. Banyak pemilih muda yang ragu-ragu, pesimis terhadap situasi politik, dan kurang percaya pada para elite politik.
Studi lain mengungkap bahwa kaum muda di Indonesia cenderung apatis terhadap perkembangan politik dan tidak senasionalis generasi lain di tanah air.
Pemilih muda juga tidak dapat dengan mudah dipengaruhi oleh favoritisme keluarga mereka terhadap kandidat tertentu. Pola ini berbeda dengan pemilu sebelumnya.
Karena jumlah pemilih muda sangat besar, partai politik dan para kandidat potensial mulai menerapkan strategi kampanye di media sosial untuk menarik para pemilih tersebut.
Pemilu serentak
Pemilu 2024 akan menjadi kedua kalinya bagi Indonesia untuk menyelenggarakan pemilihan presiden dan legislatif secara bersamaan. Pemilihan legislatif terdiri dari pemungutan suara untuk anggota dewan tingkat nasional – DPR dan DPD – serta badan legislatif daerah (DPRD).
Beberapa pengamat politik masih mepertanyakan pemilihan presiden dan anggota DPR secara berbarengan ini karena dianggap rumit – bahkan lebih kompleks dibanding pemilu 2019. Hal ini mungkin membingungkan banyak pemilih dan memberatkan penyelenggara pemilu.
Untuk pertama kalinya, hari pemungutan suara akan dilakukan pada musim hujan. Ini akan menimbulkan tantangan logistik yang lebih berat karena di Indonesia, hujan lebat dapat dengan mudah memicu bencana seperti banjir dan tanah longsor.
Sistem proporsional
Sejak Pemilu 2009, Indonesia telah menerapkan sistem pemilihan proporsional terbuka – pemilih langsung mencoblos salah satu calon anggota legislatif yang terdapat di surat suaranya.
Sistem ini berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang diterapkan sebelumnya dari tahun 1971 hingga 1997 – yakni ketika pemilih hanya memilih partai politiknya saja, kemudian nanti partai yang secara internal akan menentukan kader mana yang akan menduduki kursi parlemen.
Dengan sistem proporsional terbuka, otoritas pemilih dalam menentukan siapa wakil rakyat yang akan mendapatkan kursi parlemen menjadi lebih kuat dari partai politik.
Sempat ada upaya dari beberapa pihak tertentu untuk mengembalikan sistem tertutup, tetapi dihentikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hoaks, misinformasi, dan media sosial
Indonesia menghadapi tantangan rumit terkait penyebaran berita palsu atau disinformasi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kampanye yang menyesatkan, yang dilakukan secara sengaja, telah berkembang pesat di media sosial.
Indonesia, misalnya, memiliki pengguna terbesar kedua secara global di TikTok.
Kementerian Komunikasi dan Informasi menemukan 425 hoaks yang tersebar di media sosial selama kuartal pertama tahun ini, naik dari 393 temuan pada periode yang sama tahun 2022.
Menjelang Pemilu 2024, misinformasi dan disinformasi telah mulai merjalela di media sosial. Mengingat skala jajak pendapat dan kurangnya moderasi konten di platform, dampak dari kegiatan ini bisa sangat signifikan. Pemilu satu hari terbesar di dunia ini mungkin akan didominasi oleh perjuangan untuk membendung pengaruh antidemokrasi yang merajalela.
Ika Krismantari, Chief Editor/Content Director, The Conversation dan Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.