EDISI.CO, NASIONAL– Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dan WALHI Riau mengeluarkan pernyataan sikap mengecam upaya penjemputan paksa dan kriminalisasi warga Pulau Rempang pada Minggu (13/8/2023) pagi.
Dalam keterangan yang diterima, lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan empat butir penyataan sikap yang mendesak Kapolri, Kapolda Kepri, Komnas HAM, Presiden dan DPR RI. Detail isi pernyataan sikap tersebut, mendesak:
1. Kapolri untuk menindak tegas anggota Polda Kepri atas dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin Polri;
2. Kapolda Kepri untuk menghentikan upaya-upaya kriminalisasi terhadap warga di Rempang-Galang Kota Batam;
3. Komnas HAM RI agar segera mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Kota Batam untuk menghentikan rencana penggusuran warga dan terhadap Polda Kepri untuk menghentikan upaya kriminalisasi warga;
4. Presiden RI dan DPR RI untuk membatalkan rencana proyek pembangunan kawasan perdagangan, jasa, industri dan pariwisata di Rempang-Galang Kota Batam karena akan mengorbankan 4.000 KK atau 10.000 jiwa Masyarakat Adat Tempatan.
Dalam penyataan sikap tersebut, juga memuat kronologi kejadian yang bermula dari sekitar pukul 08.00 WIB, tanggal 13 Agustus 2023, ratusan warga di Kelurahan Sembulang, Kec Galang, Kota Batam melakukan zikir dan doa bersama untuk keselamatan kampung. Karena kampung mereka yang berada di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru akan dibangun kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata seluas kurang lebih 17.000 Ha. Warga yang berjumlah sekitar 4.000 KK atau 10.000 jiwa menolak rencana penggusuran oleh Pemerintah Kota Batam.
Baca juga: Warga Tolak Penggusuran, Pemerintah akan Pertimbangkan Aspirasi Warga Rempang Galang
Di lain tempat, Pak Gerisman Ahmad yang tinggal di Kelurahan Rempang Cate, Kota Batam hendak berangkat ke Kelurahan Sembulang untuk mengikuti zikir dan doa bersama. Pak Gerisman merupakan Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT). Saat hendak berangkat, tiba – tiba ia didatangi oleh anggota polisi yang kira-kira berjumlah 6-10 orang berpakaian biasa menggunakan 2 unit mobil. Mereka mengaku dari Polda Kepulauan Riau.
Rombongan polisi tersebut bertujuan untuk membawa paksa Pak Gerisman ke Polda Kepri untuk diperiksa atas tuduhan dugaan penjualan tiket ilegal. Mereka sama sekali tidak menunjukan surat penangkapan kepada Pak Gerisman namun hanya secara lisan meminta Pak Gerisman untuk ikut ke Polda Kepri.
Akan tetapi, Pak Gerisman yang dibantu ratusan warga lain menolak untuk dibawa ke Polda Kepri dengan alasan tidak ada pemberitahuan kepada pemerintah setempat. Selain Pak Gerisman, 2 orang warga bernama Hengki dan Roni juga akan dibawa paksa oleh aparat Polda Kepri. Akan tetapi ratusan warga menolak penjemputan paksa tersebut.
Sebelumnya, Gerisman bersama beberapa warga lain telah diperiksa di Polda Kepri atas tuduhan pemalsuan, pemerasan, pengancaman, pelanggaran tata ruang, pelanggaran UU 32/2009, UU 27/2007 dan UU 18/2013. Pada tanggal 1 Agustus 2023, Pak Gerisman juga mendapat panggilan dari Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengelola kawasan Rempang yang menghambat investasi PT. Makmur Elok Graha (MEG) dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Warga tersebut ada yang bekerja sebagai petani, petambak udang, ternak ayan hingga pendagang toko.
Atas peristiwa tersebut di atas, kami menyatakan bahwa tindakan anggota Polda Kepri yang ingin menjemput paksa warga di Rempang-Galang tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan atau surat-surat lain menurut hukum adalah tindakannya sewenang-wenang dan melawan hukum. Selain itu, kami menilai bahwa tuduhan-tuduhan pidana berlapis terhadap warga hanyalah mencari-cari kesalahan karena berhubungan dengan penolakan warga atas rencana proyek pembangunan kawasan Pulau Rempang yang dikelola menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata.
“Jelas sekali, bahwa ini adalah upaya intimidasi hukum dan kriminalisasi terhadap warga negara yang memperjuangkan hak hidup dan mengembangkan diri secara kolektif yang dilindungi oleh konstitusi Pasal 28C UUD 1945,” dalam pernyataan tersebut.
Kami mengingatkan kepada Polda Kepri bahwa penegakan hukum dengan mencari-cari kesalahan warga negara merupakan fiktif trial (peradilan fiktif/sesat) dan hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, berupa: bebas dari penangkapan sewenang-wenang, bebas dari perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, hak untuk diperlakukan secara manusiawi, perlakuan yang sama di depan hukum, pemeriksaan yang adil, hak untuk membela diri dan hak atas prinsip praduga tak bersalah (presumtion of innocence).