
Warga Rempang saat berada di Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang-Edisi/bbi
EDISI.CO, BATAM– Pemerintah seharusnya memberikan penekanan pada hak tradisional masyarakat yang tinggal di 16 Kampung di Pulau Rempang. Warga dan kampung mereka harus terjaga dari dampak pembangunan Pulau Rempang dalam rupa relokasi.
“Harusnya mereka (Warga Rempang) itu diakui negara sebagai yang punya hak-hak tradisional. Dan itu harus dilindungi,” kata Staf Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan.
Edy menjelaskan, seharusnya Pemerintah Kota (Pemko) Batam memikirkan lebih dulu bagaimana perlindungan dan pemunuhan hak-hak dasar warga Rempang yang telah hidup turun temurun, yang nantinya akan terdampak dari rencana pembangunan di sana.
Logika yang saat ini berjalan, dengan menghadirkan pembangunan, lalu masyarakat yang telah lebih dulu ada harus digusuar sebagai akibat pembangunan itu, adalah logika yang keliru.
“Itu yang keliru dari cara pandang pembangunan pemerintah. Terutama Pemerintah Kota Batam,” kata dia.
Baca juga: Tanggapi Warga Rempang, Komnas HAM Surati Polda Kepri, BP Batam, Pemko dan Pertanahan Batam
Proses pembangunan yang terburu-buru ini, kata Edy lagi, berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius. Seperti hak atas hidup, pekerjaan, pendidikan bagi anak-anak warga yang terdampak, hidup layak dan hak dasar lainnya.

Seperti diketahui, dalam waktu dekat akan ada aktivitas ground breaking sebagai bagian awal proyek pengembangan Pulau Rempang ini. Sementara itu belum ada kesepakatan dengan masyarakat terkait relokasi yang direncanakan pemerintah.
Edy mengatakan pihaknya menerima laporan adanya serangkaian intimidasi hukum dan upaya kriminalisasi. Yang cenderung mencari kesalahan masyarakat yang menolak untuk direlokasi.
“Dicarikan pasal-pasal pemalsuaan, penguasan lahan dalam kawasan hutan, pasal penyalahan tata ruang, hingga pasal korupsi. Inikan menurut kami kesalahan yang dicari. Sehingga ini berpotensi terjadinya fiktif trail. Peradilan sesat, kesalahan yang dicari,” kata Edy lagi.
Proses penegakannya itu menabrak hukum acara. Salah satunya adalah upaya penjemputan paksa terhadap salah satu warga Rempang. Edy menjelaskan bahwa Penjemputan Paksa itu seharusnya tidak ada, karena proses yang berjalan baru sampai pada tahap penyelidikan, belum penyidikan.
Pada proses penyelidikan atau lidik, belum bisa dilakukan upaya paksa. Termasuk penjemputan paksa atau penangkapan.
“Proses penyelidikan ini belum menerima panggilan, baru undangan klarifikasi. Warga negara berhak menyatakan hadir atau tidak. Tidak boleh ada penjemputan paksa,” kata dia.
“Modus penegakan hukumnya ini kan karena warga menolak digusur karena pembangunan. Ini kami khawatirkan melanggar ham yang serius.”
Senada dengan YLBHI, Komnas HAM juga telah mengeluarkan surat permintaan keterangan dari Badan Pengusahaan (BP) Batam, Pemerintah Kota (Pemko) Batam, Pemerintah Provinsi (Pemprov( Kepri, Dinas Pertanahan Kota Batam dan Polda Kepri terkait apa yang masing-masing instansi itu lakukan terhadap warga Rempang.
Sebelumnya Komnas HAM menerima perwakilan warga Rempang yang tergabung dalam naungan Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang pada Senin (19/6/2023) lalu.
Kedatangan perwakilan warga Rempang tersebut mengadukan rencana pengembangan Pulau Rempang yang akan berakibat pada tergusurnya kampung-kampung yang turun temurun dihuni masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Warga juga mengadukan kesulitan mereka menerbitkan legalitas lahan di Rempang.
Terkait dengan potensi kriminalisasi terkait rencana pengembangan Pulau Rempang ini, Komnas HAM sudah meminta pihak terkait untuk mendahulukan kepentingan masyarakat atas persoalan ini.
“Komnas HAM juga meminta pihak-pihak terkait untuk tidak mengkriminalisasi kepada warga Pulau Rempang. Mendahulukan penyelesaian persoalan agraria dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat daripada melakukan kriminalisasi,” kata Hari.