EDISI.CO, BATAM– Rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang di Kecamatan Galang, Batam menjadi kawasan ekonomi baru di Indonesia, dinilai akan menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan dan struktur sosial di masyarakat.
Pada aspek lingkungan, Rempang adalah bagian dari gugusan pulau kecil di pesisir Batam yang rentan. Kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil itu seperti termuat dalam Undang-Undang (UU)Nomor 27 tahun 2007 dan diubah UU Nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Juga putusan MK Nomor 3 tahun 2010 tentang uji materi UU Pesisir.
“Intinya dari tiga instrumen itu, semua mempertimbangkan pulau-pulau kecil dan pesisir itu adalah wilayah yang rentan. Rentan terhadap terjadinya ketidakseimbangan ekologis, kerusakan lingkungan dan kerukan struktur sosial,” kata Staf Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan.
Edy melanjutkan, kalaupun pembangunan itu tetap ada, harus mengutumakan warga. Artinya pelaku utamanya dari pembangunan tersebut harus itu diserahkan kepada masyarakt lokal, bukan kepada pembangunan skala industri atau padat modal.
Pihaknya melihat, rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang di pesisir Batam ini tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keselamatan pekerjaan dan perlindungan mata pencarian masyarakat.
“Menurut kami masyarakat harus diutamakan. Terutama dalam aspek perlindungan ekonomi, sosial dan lingkungan mereka,” kata Edy.
Baca juga: Pemuda Pesisir Batam Siap Bergerak Tolak Penggusuran Kampung di Pulau Rempang Galang
“Mereka (masyarakat Rempang) harus menjadi pelaku usaha dalam memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bukan diserahkan ke korporasi.”
Seirama dengan YLBHI, Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia, melihat potensi terusiknya berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir atas rencana pengembangan Pulau Rempang ini.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, mengatakan rencana pengembangan Pulau Rempang yang mengakibatkan terusirnya warga dari peradaban yang telah mereka ciptakan sejak ratusan tahun lalu ini, akan mengganggu mental masyarakat.
Rencana menceraikan warga yang mayoritas nelayan, dengan laut yang selama ini menghidupi mereka, akan membawa dampak buruk. Tidak hanya soal ekonomi, namun juga akan mempengaruhi aspek sosial, budaya dan hal lainnya.
“Nelayan dan pesisir ibarat ikan dan air, mereka adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang sudah turun temurun tingal di sana (Pulau Rempang-dan Galang) harus pindah dari tempat yang memberi mereka penghidupan,” kata Hendrik.
Hendrik melanjutkan, pihaknya sampai saat ini belum melihat solusi yang solutif dari pemerintah. Yang terjadi justru, masyarakat diminta mengalah demi investasi yang belum tentu akan memberi pengaruh pada mereka. Sementara kenyataan terganggunya kehidupan mereka sudah di depan mata.
Baca juga: Warga Rempang Bawa Pesan Jokowi yang Larang Gusur Kampung pada Utusan BP dan Pemko Batam
Konsep Eco-City
Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjungpinang, M. Syuzairi, mengatakan konsep membangun kota seperti rencana pengembangan Pulau Rempang menjadi kawasan Rempang Eco-City, seharusnya tidak membuat masyarakat di kampung yang ada di Pulau Rempang khawatir, apalagi sampai tersisih dari peradaban mereka.
Karena konsep membangun sebuah kota, itu tidak ada yang namanya tersisihkan, semuanya harus diberdayakan.
“Oleh sebab itu, win-win solution dan harapan warga, kampung-kampung tua ini dapat ditetapkan sebagai kampung wisata dan kita harapkan MEG menjadi bapak angkat yang membantu pengembangan kampung, jangan digusur-gusur,” tutur Syuzairi.
Syuzairi melanjutkan, masyarakat Rempang, Galang dan Setokok sangat mungkin masuk dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan mendapatkan sertifikat tanah gratis. Hal itu tergantung kemauan dari Pemerintah Kota (Pemko) dalam hal ini Pemko Batam, apakah ingin membantu masyarakat atau tidak.
Masyarakat Rempang, lanjut Syuzairi, selama ini terbelenggu oleh statusquo, padahal tidak ada penetapan pengadilan kalau Pulau Rempang itu statusquo.
“Tidak ada alasan masyarakat tidak mendapatkan sertifikat. Jadi PTSL ini sangat mungkin, ini sebuah harapan karena penguasaan masyarakat sudah berada di atas 20 tahun. Saya sudah konsultasi ke kementerian ATR/BPN, bahwa PP NO. 24 Tahun 1997 mengamanatkan penguasaan masyarakat di atas 20 tahun, dengan itikat baik negara wajib memberikan hak rakyat,” tutur Syuzairi lagi.
Lebih jauh, Syuzairi mengaku heran mengapa rencana Pengembangan Pulau Rempang justru berada di pemukiman milik warga, padahal masih banyak lahan kosong dari total sekitar 17 ribu hektar luasan Pulau Rempang.