EDISI.CO, NASIONAL– Pada 12 Juli 1857, naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace tiba di kawasan perbukitan karst Maros, Sulawesi Selatan. Di sana, dia mengamati dan mengumpulkan spesies flora dan fauna. Wallace juga pergi ke air terjun Bantimurung untuk mengamati beragam jenis kupu-kupu.
Wallace terperangah dengan lanskap menara-menara karst yang menjulang tinggi dan kekayaan hayati di dalamnya. Dia turut memasukkan catatan perjalanan di Maros dalam magnum opus-nya yang berjudul The Malay Archipelago (diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara) yang terbit pada 1869. Buku ini merupakan salah satu landasan ilmiah terpenting tentang keberagaman hayati di Sulawesi, sekaligus menjadi rujukan beraneka ekspedisi ilmiah hingga sekarang.
Arkeolog dari Griffith University, Adam Brumm, menganggap lawatan Wallace ke Maros sebagai salah satu titik terpenting yang menjadi dasar pemikirannya tentang keberagaman spesies. Namun, saat ini baru sedikit detail perjalanannya yang diketahui.
Hal inilah mendasari Adam untuk menyelidiki jejak Wallace di Maros bersama dua pegiat sejarah Wallace: Kama Jaya Shagir dan Taufik Ismail. Hasil penelusuran ketiganya tertuang dalam riset yang terbit pada 2019.
“Wallace membuat banyak orang kagum. Dia adalah petualang, ilmuwan yang didorong rasa keingintahuannya,” ujar Adam saat mengikuti Wallace trail dalam bagian dari Wallacea Science Symposium yang diadakan di Maros pada Ahad, 13 Agustus 2023.
Jejak pondok Wallace
Wallace bermukim di Maros di suatu pondok di kawasan pertanian di lembah karst milik seorang pengusaha pertanian peranakan Belanda, Jacob Mesman.
Bak stasiun penelitian, pondok tempat Wallace tinggal sekaligus berfungsi sebagai tempat pengumpulan spesimen yang diperolehnya dari sekitar kawasan karst Maros. Di lokasi tersebut, Wallace mencatat 38 spesies mulai dari kupu-kupu Papilio telephus, rusa, burung parkit, hingga kera hitam sulawesi.
Wallace trail yang diadakan Universitas Hasanuddin bersama Akademi Ilmu pengetahuan Indonesia (AIPI) menelusuri lokasi pondok tersebut. Lokasi ini ditemukan berkat penelusuran Adam bersama Kama dan Taufik.
Upaya menemukan pondok ini tidaklah mudah karena Wallace tidak menyebutkan lokasi spesifiknya. Adam bersama Kama, Taufik, dan rekan lainnya harus mewawancarai beberapa tetua di desa sekitar, mengubek-ubek buku dan surat-surat Wallace, peta-peta era kolonial Belanda, dan memoar Jacob Mesman.
Dari penelusuran dokumen-dokumen, mereka menemukan Wallace pertama kali bermukim di sebuah rumah milik keluarga Mesman di lembah karst bernama Bungaeja (Bunga Ejayya dalam bahasa Bugis).
Kendati begitu, Wallace hanya empat hari tinggal di pondokan tersebut karena dia merasa tempatnya terlalu berangin dan berdebu. Akhirnya, Jacob Mesman membangun pondok khusus dari bambu untuk Wallace tak jauh dari lokasi ini. Di sana, Wallace cukup betah dan tinggal selama dua bulan sampai musim hujan tiba.
“Dia menggunakan area ini sebagai basis untuk melaksanakan kegiatannya, menjelajahi gua, lembah di antara bukit karst, mengumpulkan serangga, kupu-kupu, dan spesimen lainnya,” ujar Adam.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pihak Terkait tidak Kriminalisasi Warga Rempang dan Galang
Untuk menemukan lokasi pondok, Adam mengandalkan petunjuk dari buku The Malay Archipelago yang menyatakan bahwa pondok Wallace ada di sekitar bukit batuan basal, di dekat pohon sukun serta palem. Di sekitarnya (100 meter) juga terdapat sumber air dari sumur.
“Pegunungan kapur … tampaknya sepenuhnya dangkal, bertumpu pada dasar basal yang di beberapa tempat membentuk bukit-bukit bulat rendah di antara pegunungan yang lebih terjal…” tulis Wallace dalam The Malay Archipelago.
Nah, dari tiga bukit vulkanik di sekitar kawasan karst Maros, ada dua bukit yang berdampingan bernama Amassangang. Letaknya sekitar 1,6 km dari Bungaeja. Saat mereka mendatangi lokasi, tidak ada jejak-jejak pondok Wallace di bukit tersebut karena diduga sudah musnah.
Namun, yang menguatkan dugaan Adam, ada sumur yang dahulu acap digunakan warga untuk mengambil air. Keberadaan sumur cocok dengan keterangan Wallace dalam buku The Malay Archipelago yang mengatakan, setiap hari dia mengambil air dari sumur di sekitar pondok untuk mandi. Adam, Kama, dan Taufik kemudian menandai lokasi tersebut sebagai pondok Wallace.
Saat ini, bukit Amassangang tidak berpenghuni. Tidak ada lagi sumur berisi air. Hanya ada tanah kosong disertai beberapa bongkahan besar batu basal dan ditumbuhi pohon-pohon dan semak belukar. Tak sampai 1 km dari lokasi pondok yang ditandai, terdapat pabrik semen Bosowa.
“Lokasi sumur ditandai dengan batu basal di kaki bukit,” ujar Kama Jaya yang juga mengikuti Wallacea trail. Warga desa juga berpartisipasi menandai lokasi Wallace dengan membangun bangunan seperit pos penjagaan.
Adam mengatakan penelitiannya dapat ditindaklanjuti dengan penelitian arkeologi untuk menggali jejak-jejak Wallace di sekitar pondok. Sebab, Wallace membawa banyak barang, jumlahnya berpeti-peti hingga harus dibawa oleh sepuluh pekerja. Kemungkinan masih ada benda-benda seperti selongsong peluru, botol-botol kaca, dan capit untuk mengambil spesimen. “Secara teoritis mungkin ada yang bisa ditemukan di daerah sini. Seperti pin, botol, dan lain-lain,” kata dia.
Kerajaan kupu-kupu Bantimurung
Semasa di Maros, Wallace juga mengunjungi air terjun Bantimurung pada 19-22 September. Di lokasi ini, terdapat telaga Kassi Kebo yang dikunjungi banyak kupu-kupu untuk menyesap mineral basah. Saat pagi hari selepas hujan, bisa ada ratusan kupu-kupu yang terlihat di telaga ini.
Ada sekitar enam spesies kupu-kupu yang dikumpulkan Wallace di Bantimurung. Menurut peneliti kupu-kupu senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Djunijanti Peggie, jenis kupu-kupu temuan Wallace tersebut menjadi dasar bagi begitu banyak penelitian populasi kupu-kupu lanjutan di Indonesia, khususnya di Sulawesi.
Peggie mengemukakan, Sulawesi adalah pulau dengan tingkat endemisitas kupu-kupu tertinggi di Indonesia. Dari sekitar lima ratus jenis kupu-kupu yang ditemukan, sekitar 43% di antaranya hanya ditemukan di Sulawesi. Wallace berhasil menemukan 230 jenis di antaranya.
“Terbanyak (jenis kupu-kupu) di Sumatra. Tapi di Sulawesi meskipun tidak banyak keragaman jenisnya, tapi banyak yg endemik,” kata Peggie.
Salah satu pusatnya adalah di Bantimurung, sehingga tempat ini mendapatkan julukan “kingdom of butterfly” (atau kerajaan kupu-kupu).
Wallace terkagum dengan begitu banyaknya kupu-kupu di tempat ini, sebagaimana dia tuliskan dalam bukunya: “Saat siang, matahari bersinar dengan terik. Pada tepian kolam air terjun atas menyajikan pemandangan yang indah. Gerombolan kupu-kupu hinggap di gundukan pasir yang lembab, warnanya beragam, oranye, kuning, putih, biru, dan hijau menghias. Ketika mendekatinya dan merasa terganggu mereka terbang ke udara dalam jumlah besar membentuk awan berwarna-warni.”
Pengendali Ekosistem Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung di Sulawesi Selatan, Kama Jaya Shagir, turut diwawancara dalam penulisan artikel ini.
Penulis: Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation
Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian analisis untuk meramaikan perhelatan Wallacea Science Symposium di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 13 – 15 Agustus 2023. Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.