EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Langkah terurai pada garis pantai yang bertaburkan karya seni, aku memilah untuk memilih. Semuanya bagus! Sampai-sampai aku bingung harus memilih yang terbaik di antara yang baik, sebagai souvenir untuk ku bawa pulang. Sesekali ku hindari rayapan laut yang ingin mencengkram sepatu hitamku. Saat melampaui pohon mati yang sedang berjemur dengan posisi telentang, seonggok mayat telah mengejutkanku!
“Man kemari!” teriakku ke kedua temanku yang posisinya sedikit jauh dariku.
“Ada apa?” tanya mereka.
“Ada mayat!”
Mereka segera menghampiri, lalu menyaksikan mayat yang sepertinya terbawa arus hingga ke mari, badannya sudah kelihatan gembung. Kebingungan melanda, harus kami apakan mayat ini? siapa yang harus dihubungi? Permukiman sudah lumayan jauh dari sini. Lalat yang cuek dengan kehadiran kami, tetap saja berkerumun di matanya. Begitu juga dengan belatung yang sedang mengadakan pesta akbar di atas tubuh sang mayat. Apa harus dihubungi polisi dulu baru kalian berhenti menggerogotinya?
***
Setelah truk TNI AU menurunkan kami dengan cara terhormat di simpang Pantai Iboih, hasrat menuntun kaki menuju laut yang sudah menggoda lewat gaun birunya. Pijakan kami yang lebih tinggi, membuat pulau eksotis di seberang pantai kelihatan sangat jelas. Kami turuti aspal yang menurun, hingga tapak sepatu berciuman dengan pasir putih. Kebeningan yang hadir di depan mata, membuat diri ingin segera menyatukan tubuh dengannya, kebetulan kami belum mandi dari pagi.
“Gimana man? Kita lanjutkan misi?” tanyaku ke kedua temanku.
“Lanjut dulu aja bro,” jawab Fuad.
“Iya man, lanjut aja, ntar pulang dari sana aja kita berenang,” saran Dona.
Jam hitam di tangan kiriku menginformasikan kalau sekarang sudah pukul 08.00 WIB. Misi menuju puncak perjalanan segera berlanjut. Google Map di Blakberry-ku memberi tahu kalau jarak ke sana masih 7,3 km lagi. Kami beralih ke tempat diturunkan tadi. Setibanya di jalan utama, kami dihadapkan lagi dengan aspal yang menanjak.
Setelah mencapai ketinggian 60 mdpl, jalan menurun hingga kami melangkah di medan yang datar. Jika tidak ada penghalang, sesekali si biru menampakkan diri dari arah kanan jalan, sedang di kiri jalan ada lereng yang berselimutkan hutan. Tidak hanya di Iboih, di kanan jalan kami menjumpai beberapa resort yang berada di tepi pantai.
Melihat keberadaan bulek di salah satu resort, seketika ingatan tertuju pada seorang bulek yang kami temui di kapal saat hendak menyebrang ke mari. Bulek asal Austria itu mengatakan kalau ia dan teman-temannya akan mengadakan party di resort yang telah mereka booking.
Beberapa resort yang kami lalui, desainnya tampak sangat estetik. Berdinding kayu dan beratapkan rumbia, sepertinya memang dirancang untuk kesukaan para turis asing, jangankan mereka, kami juga suka. Ku amati setiap resort yang kami lewati, barangkali ada tanda-tanda sedang diadakan ‘Beach Party’, berharap ia mengajak kami tidur semalam di resort bersama teman-temannya.
Setelah 3 km melangkah dari Iboih, telinga kami dirayu oleh debur ombak yang menghempaskan raganya ke daratan. Jalan yang kami lalui saat ini terasa sangat dekat dengan pantai. Aku bisa mengintip laut dari sela-sela daun pohon dan celah di antara batang pohon yang membentengi jalan dari abrasi.
“Man ke sana bentar yuk,” Ajakku ke mereka sambil menunjuk ke arah yang ku maksud.
Kami melangkah di atas pasir yang sedikit diramiakan semak belukar, serta menyingkap pepohonan khas tepi pantai yang lebih tinggi sedikit dari kami. Rasa penasaran terjawab saat nafsu mata mulai terpenuhi. Laut biru menggelegar lewat suaranya ombaknya. Tapi sayang, berkat kiriman ombak, banyak tumpukan sampah di atas pasir putihnya.
Sampah seperti ini, tidak pernah ku lihat sebelumnya. Warnanya hampir seragam, putih! Berbeda dengan tumpukan sampah di pantai lain yang biasanya seperti pelangi, ada plastik merah, kuning, hijau, hingga biru. Emisi yang ada di hadapan kami sekarang merupakan sampah alami, yang bersumber dari dalam laut.
Bukannya merusak pemandangan, malah menambah keindahan. Sampah yang ku maksud terdiri dari fragmen batu karang, bebatuan kecil, serta sisa cangkang biota laut yang terhampar. Waktu dan ombak selaku tenaga eksogen telah mengukir bentuknya, sehingga jadi sangat unik dan estetik.
***
“Bro, kau mau ngangkat-nya?” tanyaku ke Fuad.
“Ah! enggak lah Kim!” Jawabnya.
“Kau Don?”
“Enggak juga lah!”
Kedua temanku sepertinya jijik mengevakuasi mayat yang masih misteri penyebab kematiannya. Mungkinkah ia diperkosa lalu dibunuh? atau pelakunya hanya menginginkan pakaian mahal yang sebelumnya dikenakan mayat? Yang jelas, kami tidak mau urusannya semakin runyam jika menghubungi pihak berwajib, bisa-bisa terpampang di headline koran ‘Tiga Pengamen Temukan Mayat Di Pantai Pulau Weh’.
Matahari yang kian meninggi membuat kami bermufakat untuk tidak menyentuh apalagi mengagkat mayat tersebut, kami fokuskan langkah pada tujuan. Semoga ia lekas ditemukan, baik oleh keluarga atau siapa saja. Bila tidak, kelak ia akan kembali ke tanah, menjadi bagian dari siklus alam.
Semoga pihak yang ditinggalkan ikhlas dan sabar atas kepergiannya. Jangan tanyakan apakah kami menyesal dengan sikap yang telah dipilih, untuk fenomena ini, kami terima bila dikatakan tidak berprikemanusiaan. Kami tidak ingin berhadapan dengan malam sebelum kembali ke pusat kota.
“Tiada lagi yang ku harapkan, tiada lagi yang ku impikan,” maaf, kenapa jadi kebawa lagunya yang dirilis oleh Mayangsari pada tahun 1998. Maksudnya, tiada lagi resort dan permukiman. Hanya ada pepohonan lebat dan lembab di kanan-kiri jalan, sepertinya ini hutan yang dikatakan seorang anak di Sabang tadi malam, kalau di sini banyak babi hutan.
Jika yang muncul satu, sepertinya kami bisa mengeroyoknya. Jika tiga, kami bisa one by one melawannya. Tapi kalau yang muncul lebih dari tiga, dengan terpaksa aku gertak mereka lewat kalimat, “Aku punya kenalan pedagang nakal yang suka buat bakso dari dagingmu! Mau aku laporin?”
Kini jalan didominasi lereng yang menanjak, menurunnya hanya sesekali, dan mulai menjauh dari garis pantai. Mulai banyak tumbuhan keras menjalar yang menggantung dari atas dahan pohon seperti yang sering dikendarai tarzan saat berpindah dari satu hati ke hati yang lain, maaf! Maksudnya dari satu tempat ke tempat yang lain. Kami yang masih keturunan manusia juga bisa lelah, tapi tidak ingin menyerah! Jika haus, kami berhenti untuk minum, sekaligus merenggangkan otot kaki.
Sebuah mobil dari arah depan memecah keheningan, membenamkan jeritan jangkrik dan nyanyian burung yang semula menyemangati kami, pengemudinya menyapa kami lewat klakson. Setelah melihat dalangnya, ternyata ia supir travel yang menawarkan mobilnya sebelum kami melewati Pantai Pria Laot pagi tadi. Aapakah abang merasa berdosa karena tidak memberikan kami tumpangan gratis? Salah sendiri! Nggak peka!
Hujan ringan turun di ketinggian 100 mdpl. Kami baru saja melewati persimpangan yang datang dari sebelah kiri jalan utama. Sejak dari Iboih, kami sama sekali tidak menemukan cabang jalan. Mungkin saja truk TNI AU tadi berbelok ke situ, karena dari tadi tidak ada kendaraan yang parkir. Jalan ke kiri tadi tampak menanjak. Dari konturyang tertera pada Google Maps, jalan tersebut berujung pada ketinggian 460 mdpl, yang merupakan puncak bukit tertinggi di sisi barat laut pulau ini.
Hujan telah melukis aspal lewat rintiknya yang tidak deras, tentunya karena kelebatan kanopi hutan di kedua sisi jalan yang ikhlas menjadi payung alam dalam memfilter air langit, sehingga kami tidak cepat becek, basah maksudnya! Langkah yang lambat sedikit dipercepat. Kami sangat berharap ada gubuk atau pondok yang bisa dijadikan naungan. Terang yang bertarung dengan gelap telah menciptakan romansa horor.
Hujan pergi meninggalkan kenangan ketika kami mendapati persimpangan. Pada arah lurus terdapat rambu ‘Boleh Dilalui’, sedang arah kanan ‘Tidak Boleh Dilalui’ bagi yang datang dari arah kami. kami pilih JALAN YANG LURUS, bukan jalan sesat.
Baju, ransel, sampai sepatu yang kami kenakan, sedikit lembab. Setelah melampaui persimpangan, di kiri jalan mulai tampak jajaran warung berbahan kayu yang sedang tutup, mungkin karena belum weekend. Lewat tulisan yang terpampang, kami bisa mengetahui kalau warung-warung tersebut menjual makanan, minuman, dan souvenir. Firasat berkata kalau tempat yang dituju sudah dekat.
Bentangan tirai hijau berakhir juga. Pada ujung jalan, mata kami disuguhkan hamparan karpet biru bergelombang, sedang telinga kami disapa semangat ombak. Di kanan jalan ada satu warung makan yang buka, warung ini dan yang sebelumnya tadi berdiri di tepi jurang yang tebingnya menghujam ke laut. Warung barusan bukan yang paling ujung, di sebelahnya ada, namun tutup.
Mata berbelok ke kanan jalan. Kami dekati bangunan putih yang menjulang setinggi 22,5 meter. Hujan menyisakan genangan di lantai sekitar bangunan tersebut. Sepertinya hujan sempat membuka lebar krannya sebelum kami sampai ke mari. Agar sepatu tidak basah, kami melangkah dengan penuh kehati-hatian.
Bagian bawah bangunan memiliki dinding yang melingkar dengan satu pintu masuk, di dalamnya ada prasasti berukirkan TUGU KM 0 INDONESIA DI SABANG, PULAU WEH yang ditandatangani wakil presiden Try Sutrisno pada 9 September 1997.
Hari ini pukul 11.00 WIB, 20 Desember 2013 merupakan tanggal bersejarah dalam hidup kami, karena dengan Rp0 rupiah kami bisa tiba di km 0 Indonesia. Aku menyebutnya Rp0, karena perjalanan ini tidak menggunakan uang pribadi. Melainkan dari beberpa sponsor, yakni para orang dermawan yang ikhlas membayar kami saat di-ngamen-i, selama perjalanan dari Medan kemari. Tidak lupa juga kami berterimakasih kepada berbagai kendaraan yang telah memberi kami tumpangan, serta berbagai kenalan yang memberikan kami tempat bermalam.
Kami naik lantai dengan dinding melingkar, diameternya lebih kecil dari yang dibawah, padanya terdapat empat pintu masuk. Langkah hanya bisa sampai di sini, untuk menaikinya, wisatawan bisa melewati dua tangga beton pada sisi yang berlawanan.
Di tengah lantai kramik biru yang kami pijaki sekarang, terdapat prasasti dengan headline ‘POSISI GEOGRAFIS KM 0 INDONESIA, SABANG’. Baris pertama setelah judul bertuliskan ‘LINTANG: 50 54’ 21.42” LU’. Baris kedua ‘BUJUR: 950 13’ 00.50” BT’. Baris ketiga ‘TINGGI: 43.6 Meter (MSL)’. Kami berfoto menggenggam bendera merah putih, senang rasanya bisa membentangkan bendera kebangsaan tersebut di ujung barat negeri. Bagian atas tugu merupakan delapan tiang silinder yang pada bagian puncaknya terdapat miniatur burung garuda.
“Makan kita man?” tanyaku setelah puas berfoto dan meresapi keberadaan kami yang bisa sampai ke mari.
“Boleh bro,” jawab Fuad.
“Yok lah man, dah waktunya makan siang juga kan,” Dona menambahkan.
Kami melangkah menuju warung makan yang buka sendiri hari ini. Setelah membeli dua bungkus nasi, kami kembali lagi ke dekat tugu, mencari tempat untuk makan siang romantis. Aku jalan lebih dulu menuju beton berbentuk balok yang tingginya sekitar 0,5 meter dan panjangnya sekitar 5 meter, aku naik ke atasnya. Sepertinya masih dalam proses pengerjaan, karena ada beberapa rangka besi yang muncul ke permukaan. Posisinya berada di arah barat laut tugu, dari arah kedatangan kami berada di kanan jalan.
“Man, di sini aja lah kita makan,” ajakku.
“Siap ketua!” jawab mereka serempak.
Kami gelar dua bungkus nasi di atas pondasi bangunan yang kami belum tahu akan dibangun apa, mungkin landmark ‘KM 0 INDONESIA’. Nasi, lauk, dan sayur kami integrasikan agar tidak tercerai-berai. Seperti kata pepatah ‘bersatu kita teguh, bercerai?’, ada yang melanjutkan ‘kita runtuh’, ada pula yang mengatakan ‘kawin lagi’. Keasyikan makan, membuat jari-jemari kami bertemu dengan daun pisang yang ada di atas kertas pembungkus nasi.
Like usually, Fuad dan Dona menyalakan api untuk membakar rokok. Sementara aku mengamati pemandangan di ujung barat Indonesia ini. Melihat sekawanan monyet bertengger di pagar beton tepi jurang, aku menyebrang di aspal yang masih basah, lalu menghampiri mereka.
Dari jarak yang tidak terlalu dekat, dengan zoom out maksimal kamera Blackberry, ku potret model-model tak berbusana yang tengah berpose dengan cara semaunya tersebut. Ku dekati secara perlahan, mereka malah berhamburan. Kenapa jadi mirip lagu Five Minutes? “Semakin ku kejar, semakin kau jauh.”
Dada, ku sandarkan pada pagar beton yang lebih tinggi dari pucuk pepohonan. Sedang hati, senantiasa ku sandarkan pada pemilik sekaligus penguasa alam semesta. Garis cakrawala pembatas langit dan laut yang malu-malu menunjukkan kebiruannya karena dipayungi mega mendung, menyapaku dari kejauhan.
Di bawah, ombak terus saja menghempaskan raganya ke tebing pantai. Di depan sana, tampak Pulau Rondo, pulau yang sebenarnya jadi daratan paling barat negeri. Pulau tersebut tidak berpenghuni dan tidak ada transportasi umum untuk ke sana, mungkin itu alasannya kenapa tempat ini dijadikan alternatif. Selain menjadi pos penjagaan militer, informan mengatakan kalau laut di sekitar pulau tersebut juga dijadikan fishing spot berkelas internasional. Sayang aku tidak hobi mancing ikan, sukanya malah mancing keributan.
Mereka usai merokok. Ku pinta Fuad untuk mengambil fotoku berpose dengan memegang bendera Parati Aceh yang ku ambil di Lhokseumawe, bukan karena simpatisan, melainkan karena di provinsi lain tidak ada parti lokal seperti di sini, sekaligus kata ‘ACEH’ yang ada pada bendera partai tersebut menjadi tanda kalau aku sudah sah sampai ke mari, ternyata Fuad juga ingin difoto sepertiku.
Selama di sini, kami tidak melihat pengunjung lain, seakan jadi tempat wisata privat, mungkin karena Jumat dan kaum adam tengah melangsungkan shalat mingguan.
Setelah dipuaskan, kami putuskan untuk beranjak. Ini merupakan puncak dari perjalanan kami, misi selanjutnya adalah pulang. Minggu, 15 Desember, aku dan Fuad bertolak dari Medan, satu hari setelahnya kami bertemu Dona di Lhokseumawe. Sungguh! perjalanan lima hari dari Medan terlunaskan setelah hampir dua jam di sini, telah ku buktikan ‘Merah Tekatku, Putuh Niatku’.
Langkah mulai menjauh dari tugu yang tak pernah jauh, dikarenakan sudah terpancang di hati. Di depan warung souvenir yang sedang tutup, seorang wanita yang sedang duduk di sepeda motor menyapa kami.
“Wisatawan ya bang?”
“Hehehe, iya kak,” jawabku yang merasa kalau kami ini gembel berlagak wisatawan.
Karena menawarkan sesuatu, kami mendekatinya. Bujuk-rayunya, benar-benar menggiurkan, membuat kami jadi sangat ingin. Ketika diminta potongan harga, ia rela memberikan diskon kepada kami yang pe-ngamen sekaligus mahasiswa ini.
Kami memasang janji agar nanti malam bertemu di Kota Sabang. Setelah melewati jajaran, kami dapati kembali simpang tiga yang ternyata kedua ujungnya menyatu membentuk lingkaran, jadi untuk kendaraan yang datang kemari, jalan masuk dan keluarnya berbeda.
Menyegerakan mayat agar dikebumikan adalah fardhu kifayah. Dikarenakan mayat tadi, kami rela dicap tidak berprikemanusiaan, karena yang kami temui bukan mayat manusia, melainkan anjing!
Penulis: Taring
Taring merupakan Homo Medanensis yang saat ini terdampar di pulau sebelah tenggara Tumasek. Ia dilahirkan sebelas bulan menjelang keruntuhan Uni Soviet. Selain mengajar geografi, ia juga mengelola home library bernama Selter Merbabu. Taring merupakan nama pena penulis, yang untuk mendapatkannya ia harus mendaki Gunung Pintau, puncak tersembunyi dibalik Gunung Sibayak.