
Warga Rempang saat menyambut Menteri Invetasi ke Pulau Rempang dengan spanduk penolakan penggusuran-Edisi/bbi.
EDISI.CO, BATAM– Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Assoc. Prof. Dr. M Syuzairi, M.Si., menilai pengembangan Pulau Rempang sebagai Kawasan Rempang Eco-City tidak cukup jika hanya melalui pendekatan hukum saja.
Hal tersebut diungkapkan Syuzairi saat menjadi narasumber dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema tentang “Peran Akademisi dan Masyarakat Dalam Pengembangan Pulau Rempang Sebagai Daerah Eco City di Kota Batam”. FGD yang ditaja oleh Polda Kepri ini berlangsung di Gedung PIH Batam Centre, Kota Batam, Selasa (22/8/2023) pagi.
“Persolan Rempang-Galang harus kita lihat dari pendekatan multi disiplin,” ujar Syuzairi.
Pertama, kata dia, yakni melalui pendekatan politik. Menurutnya, situasi yang kondusif di Kepri khususnya di Batam harus tetap terjaga, terlebih saat ini masih dalam rangka merayakan bulan kemerdekaan dan juga menghadapi pesta demokrasi pada pemilu 2024.
“Oleh sebab itu semua tindakan yang akan kita lakukan harus berdasarkan SOP dan prosedur dan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.
Baca juga: HMI Batam Ambil Bagian dalam Aksi Tolak Penggusuran bersama Masyarakat Rempang
Kedua, melalui pendekatan Ekonomi. Syuzairi menjelaskan, saat berbicara tentang relokasi masyarakat. Maka aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah kesempatan bekerja masyarakat. Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan pekerjaan untuk mereka yang terdampak relokasi.
“Kemudian, ketika berbicara tentang relokasi apakah rumah baru dan sarana serta prasarana penunjang untuk warga yang terkena dampak relokasi sudah disiapkan. Seperti rumah contoh, sekolah, Puskesmas dan lain-lain,” terangnya.

“Semuanya ini penting bagi masyarakat. Karena itu menjadi tugas negara dalam memenuhi kebutuhan pokok sandang pangan papan untuk rakyatnya,” jelasnya.
Ia menambabkan, ketika sebuah proyek masuk di suatu wilayah tanpa memperhatikan hajat hidup orang banyak. Tentu hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan hidup bernegara. Karena ada mata pencaharian masyarakat yang hilang.
“Jadi tidak boleh ada kesan menggusur warga tapi tak ada solusi,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ia menyebutkan, BP Batam sampai saat ini juga belum memiliki skema pengadaan rumah relokasi untuk warga
“Kalau gak salah pada saat pak wali menghadiri peresmian gedung MUI Kota Batam, beliau menyatakan BP Batam sendiri saja sampai saat ini masih bingung apakah anggaran BP bisa untuk membangun rumah relokasi, sarana serta prasana lainnya,” tegasnya.
kemudian, dari pendekatan akademik, Syuzairi mengungkapkan perlu adanya kajian terkait 16 titik kampung yang berada di Pulau Rempang.
“Kalau ada kajian, mungkin tidak semuanya kampung yang ada di sana akan direlokasi. Tetapi kampung-kampung yang sudah berusia ratusan tahun ini dapat ditetapkan sebagai kampung wisata,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Hafid, salah satu warga kampung Tanjung Kertang, Kelurahan Rempang Cate Kecamatan Galang menyayangkan titik relokasi warga yang lebih menjorok ke wilayah daratan.
“Mayoritas kami ini kan tinggal di pesisir dan bekerja sebagai nelayan. Kalau kami dipindahkan ke daratan, akan menderita kami. Mati mata pencaharian kami,” ujar Hafid.
Ia dan warga lainnya juga menolak keras akan rencana relokasi yang telah direncanakan untuk masyarakat Pulau Rempang.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan Tim Satgas Gabungan Rempang Eco City akan menampung masukan dan keluhan dari warga untuk menjadi bahan evaluasi terkait pengembangan di Pulau Rempang.
“Melalui FGD ini semua keluhan warga dan masukan dari tokoh masyarakat dan akademisi ini akan menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk memikirkan lebih detail lagi pengembangan Pulau Rempang,” jelasnya.
Penulis: Irvan F