
Masyarakat Melayu dari kampung-kampung di pesisir Batam melakukan aksi menolak penggusuran 16 kampung yang dihuni masyarakat Melayu di Pulau Rempang-Edisi/Irvan F.
EDISI.CO, BATAM– Pemerintah Indonesia mengadakan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2023 di Kbupaten Karimun, Kepulauan Riau (Kepri) pada 29 sampai 31 Agustus 2023. Dalam gelaran itu, sebanyak 10.668 sertipikat tanah untuk rakyat Kepri, diantaranya, sertifikat kawasan, sertifikat cagar budaya, sertifikat barang milik negara, sertifikat barang milik daerah yang terdiri dari sertifikat PSU dan sertifikat hak pakai, hingga sertifikat kawasan investasi.
Penyerahan masing-masing sertipikat tersebut dilaksanakan secara simbolis, oleh para penerima yang mewakili kabupaten/ kota se- Kepri. Penyerahan dilakukan langsung Menteri ATR/BPN RI Hadi Thahjanto didampingi Gubernur Kepri Ansar Ahmad dan Bupati Karimun Aunur Rafiq.
Lokasi acara ini terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Batam yang tengah dilanda konflik agraria. Masyarakat di 16 kampung di Pulau Rempang terancam penggusuran karena rencana pemerintah menghadirkan investasi di sana.

Edisi/Pemprov Kepri.
Keadaan ini memunculkan paradoks yang mencolok. Di satu sisi, GTRA Summit 2023 bertujuan untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, namun di sisi lain, masyarakat Pulau Rempang justru menghadapi risiko kehilangan hak atas tanah mereka akibat proyek investasi pemerintah.
Situasi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang ini berlawanan dengan pernyataan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kepulauan Riau, Nurhadi Putra.
Seperti yang dicatat dalam situs resmi GTRA Summit 2023, Nurhadi Putra menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen masyarakat Kepulauan Riau tinggal di desa-desa yang berada di sepanjang pesisir.
Dengan demikian, melalui forum GTRA Summit 2023 yang diadakan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, diharapkan bahwa masyarakat pesisir dapat memperoleh jaminan hukum terhadap aset dan tempat tinggal yang telah mereka miliki selama puluhan tahun.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kepastian hukum bagi masyarakat Pulau Rempang dapat dijamin dalam konteks ini?
Baca juga: Nelayan memang Miskin, tapi Riset Buktikan Mereka tetap Bahagia
Investasi Skala Besar akan Perparah ancaman Bencana
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin, mengatakan dengan luas kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar, apalagi mengusir mereka.
Parid menilai, masyarakat di pulau kecil akan semakin menderita karena investasi skala besar. Keterbatasan ruang dan daya dukung sumber daya alam, jika dialokasikan untuk kepentingan investasi skala besar, akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau kecil.
“Sebagaimana diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau kecil, memiliki akses serta mobilitas terbatas, terutama terkait dengan pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, maka bencana kemanusiaan akan meledak,” kata Farid dalam siaran pers bersama terkait desakan penghentikan penggusuran ribuan masyarakat di Pulau Rempang untuk kepentingan investasi skala besar pada Kamis (31/8/2023) siang.
Farid menambahkan, beban ekologis pulau kecil investasi skala besar akan memperparah ancaman bencana. Pelajaran yang terjadi di Pulau Serasan Natuna penting dijadikan pelajaran. Pulau Serasan tidak memiliki beban ekologis yang sangat berat, tetapi ketika bencana longsor terjadi, sebanyak 46 orang meninggal, dan sebanyak 2.240 orang harus mengungsi.
“Dengan demikian, pembangunan proyek skala besar di pulau Rempang akan menciptakan bom waktu pengungsi ekologis karena memperparah ancaman bencana ekologis yang saat ini intensitasnya semakin sering terjadi,” tegasnya.
Baca juga: Kisah Perjuangan Perempuan Adat Usir Tambang Pasir Besi di Bengkulu
lebih jauh, Parid menyebut bahwa masyarakat di Pulau Rempang adalah pemilik sah yang berdaulat atas ruang hidup serta tidak boleh digusur oleh pemerintah untuk kepentingan investasi skala besar.
“Mereka telah terbukti berkontribusi secara turun temurun selama ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Haram hukunya pemerintah menggusur dan memindahkan mereka sebagai pemilik pulau itu,” ungkapnya.
Untuk diketahui, lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat dari Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Melalui SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG).
Proyek tersebut bernama Rempang Eco City yang menargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) HPL yang diberikan kepada BP Batam, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, untuk dengan mudah mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat.
Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Oleh karena itu, klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sesungguhnya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.
Baca juga: 870 Ribu Masyarakat Adat jadi Korban Konflik Agraria dan SDA
Sebagai akibat dari keputusan ini, masyarakat di Pulau Rempang menyatakan penolakan penggusuran kampung ang telah mereka huni turun temurun selama ratusan tahun. Penolakan itu disampaiakn dalam setiap pertemuan dengan pemerintah termasuk aksi demonstrasi.

Tak boleh ada Pengerahan alat Negara untuk Rampas tanah masyarakat
Staff Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, menyebut saat ini yang terjadi di Pulau Rempang merupakan keberulangan atas kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat demi kepentingan investasi untuk negara.
Hal semacam ini terus terjadi karena adanya pembiaran atas pelanggaran hak warga yang menempati tanah tersebut dari pemerintah. Padahal Pulau Rempang bukan sebuah lahan kosong dan memiliki 16 kampung tua atau permukiman warga asli.
Warga asli Rempang terdiri atas berbagai suku bahkan Masyarakat Adat seperti suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang telah bermukim sejak 1834 di Pulau Rempang. Sehingga seharusnya pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya.
Menurut Nisa, terdapat dinamika yang serupa dalam setiap kasus perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Pelaku Usaha akan menerima dukungan pemerintah daerah untuk memperlancar masalah perizinan, lalu akan diikuti dengan pengerahan alat negara TNI dan Polri untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi warga.
“Di Rempang sendiri telah terjadi berbagai upaya intimidasi yang melibatkan TNI dan Polri untuk mengusir masyarakat, dan upaya kriminalisasi dengan tuduhan pemalsuan, pemerasan, pengancaman, hingga pelanggaran tata ruang. Hal yang seperti ini juga terjadi di kasus-kasus lain seperti di kasus perampasan lahan di Pulau Wawonii, Kab. Buol, kriminalisasi Budi Pego, serta yang menimpa Masyarakat Petani Desa Alasbuluh Wongsorejo,” katanya.
Dinamika pengerahan alat negara berupa aparat keamanan dalam kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat menunjukkan dukungan penuh negara terhadap investasi, serta tidak adanya keberpihakan pada masyarakat yang telah menempati tanah tersebut lintas generasi.

“Sebab itu kami mengecam dan mendesak Pemerintah Daerah Riau supaya tidak mengerahkan satuan Brimob yang memiliki pendekatan paramiliter untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri, serta TNI yang merupakan alat pertahanan negara dari ancaman militer.”
“Karena yang dihadapi merupakan Masyarakat Pulau Rempang, sudah seharusnya menghindari pendekatan militeristik yang sarat dengan cara-cara represif dan eksesif ketika berhadapan dengan masyarakat sipil. Khususnya Polri sudah seharusnya mengedepankan pendekatan humanis tanpa kekerasan sesuai amanat sebagai alat pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat sipil yang tidak memihak kepentingan investasi.” tegasnya.
*Siaran Pers Bersama
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)