EDISI.CO, BATAM– Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, mewakili warga Pulau Rempang mendatangi Mapolresta Barelang untuk memenuhi panggilan Subdit IV Polresta Barelang, Kamis (31/8/2023).
Gerisman menuturkan pemanggilan dirinya sebagai saksi dan pengambilan keterangan oleh pihak kepolisian ini, perihal aktivitas warga khususnya yang bermukim di kawasan Pantai Melayu yang dianggap merusak pesisir dan pulau-pulau kecil disekitarnya.
“Saya diperiksa di Subdit IV dari jam 10 sampai sekarang. Setelah istirahat sholat dzhur, saya akan diperiksa kembali. Pertanyaannya kurang lebih sama seperti saat saya menjalani pemeriksaan di Polda Kepri beberapa waktu lalu,” ujar Gerisman saat ditemui di Polresta Barelang, Kamis (31/8/2023) siang.
Ia menyebutkan, pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan tersebut merupakan pelimpahan kasus dari Dirkrimsus Polda Kepri pada Kamis (10/9/2023) lalu.
“Total saya sudah memenuhi panggilan polisi sebanyak empat kali. Dua kali dari Dirkrimsus Polda Kepri, satu kali dari Dirkrimum Polda Kepri, dan satu kali dari Polres hari ini,” ungkapnya.
Baca juga: Ironi dalam Gelaran GTRA Summit 2023 Kepri
Gerisman menilai, dugaan pengerusakan pesisir baik terumbu karang dan lainnya yang dituduhkan kepadanya sangat tidak masuk akal. Karena mayoritas masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan dan sangat bergantung pada hasil laut.
“Bagaimana bisa kami merusak terumbu karang, kami ini kan mayoritas nelayan yang hidupnya dari hasil laut. Kalau terumbu karang itu kami rusak, tentu mata pencaharian kami terganggung,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gerisman mengatakan, pengaman tebing pantai yang dibangun oleh warga di pantai melayu bertujuan untuk meredam abrasi akibat gelombang air laut. Material batu yang warga gunakan untuk pembangunan pengaman pantai tersebut hanya beberapa persen saja, selebihnya menggunakan material batu dari darat seperti batu bauksit.
“Kami juga dianggap menyerobot Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam. Saya sudah jelaskan semua ke mereka (polisi) bahwa kampung itu berdisi sejak tahun 1953, jauh sebelum adanya BP Batam dan Keputusan Presiden (Keppres) tahun 1973,” pungkas Gerisman.
Untuk diketahui, lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepri terancam kehilangan hak atas tanahnya akibat dari Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Melalui SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG).
Proyek tersebut bernama Rempang Eco City yang menargetkan akan menarik investasi hingga Rp381 triliun akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) HPL yang diberikan kepada BP Batam, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, untuk dengan mudah mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat.
Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Oleh karena itu, klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sesungguhnya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.
Sebagai akibat dari keputusan ini, masyarakat di Pulau Rempang menyatakan penolakan penggusuran kampung ang telah mereka huni turun temurun selama ratusan tahun. Penolakan itu disampaiakn dalam setiap pertemuan dengan pemerintah termasuk aksi demonstrasi.
Penulis: Irvan F.