EDISI.CO, KEPRI– Deputi Advokasi dan Riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan dan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana, mengatakan Reforma Agraria (RA) pada, prinsipnya adalah melakukan penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Tujuannya untuk mengubah struktur masyarakat sebangun dengan perubahan struktur agraria yang menjadi lebih adil dan merata.
Secara etimologi reforma agraria berasal dari kata Spanyol yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Wiradi, 2000:35).
RA merupakan agenda bangsa yang telah sejak lama diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, UUPA 1960, dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sejak dikeluarkannya Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi berupaya melaksanakan RA di Indonesia. Salah satu poin dalam Perpres No. 86/2018 adalah dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai wadah koordinasi lintas sektor untuk mendukung percepatan pelaksanaan Program Strategis Nasional Reforma Agraria. RA yang diusung oleh pemerintah saat ini dengan salah satu agendanya adalah RA Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K).
“KIARA sejak awal melihat bahwa yang dilakukan sesungguhnya bukanlah RA,” kata Erwin dalam siaran pers bersama dengan WALHI, YLBHI dan PBHI pada Kamis (31/8/2023).
Baca juga: Warga Rempang Gelar Doa Bersama, Ikhtiar Jaga Kampung dari Ancaman Penggusuran
Erwin melanjutkan, Pertama, RA sejatinya merupakan program pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas berbasis penggunaan tanah melalui distribusi dan redistribusi tanah, namun kenyataannya RA P3K lebih banyak menyasar upaya sertifikasi tanah terutama pada pemukiman yang justru memudahkan proses peralihan tanah untuk kepentingan lain, terutama kepentingan investasi.
Kedua, RA P3K masih gagal melihat pesisir dan pulau-pulau kecil dimana wilayah daratan dan lautan merupakan satu kesatuan ekologis yang tak terpisahkan dalam pengelolaannya oleh masyarakat yang ada di pesisir. Dalam hal ini, RA P3K tidak dilengkapi dengan upaya-upaya yang terstruktur dan sistematis untuk melindungi area penangkapan nelayan tradisional dan nelayan kecil, dan di sisi lain pemerintah justru mengeluarkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang berpotensi menciptakan persaingan dalam penangkapan ikan.
Ketiga, RA P3K tidak memperhitungkan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. KIARA menemukan adanya pelaksanaan RA P3K di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara yang kemudian justru memuluskan kegiatan eksploitasi di pulau tersebut dimana pasca dilakukan pelepasan kawasan hutan dan sertifikasi atas tanah kebun warga justru memudahkan perusahaan tambang dalam membebaskan tanah untuk kepentingan usaha pertambangan membangun sarana pendukung tambang.
Keempat, RA P3K dan Agenda RA yang dilakukan pemerintah saat ini masih jauh dari harapan untuk menciptakan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang adil dengan mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Beberapa studi telah menunjukkan dengan luasan tanah yang menjadi target untuk redistribusi dalam program RA pemerintah saat ini tidak dapat mengurangi indeks gini ketimpangan penguasaan tanah pertanian yang ada.
Salah satu hal yang dapat kita lihat adalah kenyataan seperti yang dapat kita lihat di Pulau Rempang hari ini, dimana alokasi lahan untuk kepentingan investasi yang sedemikian besar tanpa memperhatikan hak-hak warga serta keberlanjutan dan keselamatan ekologis pulau itu sendiri.
“Catatan-catatan tersebut juga sesungguhnya memperlihatkan kegagalan GTRA dalam melaksanakan RA sebagai suatu agenda pembangunan bangsa. Karena itu pelaksanaan RA serta perangkat pelaksananya perlu dilihat ulang secara menyeluruh,” tegasnya.