
Warga Pulau Rempang dan Galang di Jembatan 4 Barelang pada Senin (21/8/2023). Warga menolak tim terpadu yang akan melakukan pengukuran tata batas hutan di Pulau Rempang sebelum ada pertemuan dengan Wali Kota Batam-Edisi/bbi.
EDISI.CO, BATAM– Masyarakat Adat Melayu di Pulau Rempang terancam penggusuran oleh pemerintah yang berencaa mengembangkan puau yang dihuni sekitar 7.500 jiwa tersebut sebagai kawasan ekonomi baru. Warga yang tinggal di 16 kampung di Pulau Rempang terus berupaya mempertahankan tanah yang telah mereka diami sejak ratusan tahun lalu secara turun temurun.
Dalam aturan yang saat ini, memperlihakan bahwa negara menitipkan pulau-pulau kecil di Indonesia untuk dijaga dan dilindungi oleh masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan masyarakat tradisional.
Manajer Advokasi Perkumpulan HuMa Indonesia, Nora Hidayati, mengatakan dalam Undang-Undang (UU) No. 1 tahun 2024 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ditegaskan bahwa di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditempati oleh masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan masyarakat tradisional.
“Mereka memiliki kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat,” kata Nora ketika dihubungi belum lama ini.
Baca juga: Warga Rempang Minta KLHK dan BPN yang Pasang Patok Lahan, Bukan Polisi dan TNI
Nora melanjutkan, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18 B Ayat (2) mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat.
Masyarakat hukum adat memiliki ikatan dan hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam mereka yang seharusnya diperkuat oleh negara dengan memberikan pengakuan kepada mereka sebagai Masyarakat adat dan mengakui hak-hak mereka melalui produk hukum daerah.
Tindakan penggusuran terhadap masyarakat hukum adat dari wilayah adatnya, adalah tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara karena mencerabut masyarakat hukum adat dari asal usulnya.
“Terkait dengan pembangunan di wilayah adat, perlu dipastikan keterlibatan dan partisipasi penuh dari masyarakat hukum adat. Sebab mereka berhak menentukan nasib mereka sendiri sebagai entitas dari masyarakat hukum adat,” kata Nora lagi.
Warga Pulau Rempang sampai saat ini terus melakukan ikhtiar untuk menjaga peradaban mereka. Dengan dukungan masyarakat Melayu yang tinggal di pulau-pulau lain di pesisir Batam dan Kepri, warga melakukan aksi menolak penggusuran. Warga juga menjaga kampung mereka dari aktivitas pematokan tata batas hutan yang dilakukan tim terpadu yang melibatkan Pemerintah Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, TNI dan Polri.

Warga juga menggelar doa bersama. Meminta pertolongan tuhan agar kampung-kampung yang diwarisi nenek moyang mereka tetap terjaga untuk bisa diteruskan kepada anak cucu merea kelak.
Proyek Strategis Nasional
Sementara itu, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, rencana pengembangan Pulau Rempang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN). Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional
Baca juga: Ironi dalam Gelaran GTRA Summit 2023 Kepri
Menko Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, telah mengesahkan peraturan itu tanggal 28 Agustus 2023 lalu di Jakarta.
“Sesuai arahan Pak Menko, pengembangan Pulau Rempang masuk dalam daftar Program Strategis Nasional. Besar harapan, program ini bisa memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kepri, khususnya Kota Batam,” ujar Ariastuty di Batam, Kamis (31/8/2023).
Ariastuty menerangkan bahwa pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi demi mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin, mengatakan dengan luas kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar, apalagi mengusir mereka.
Parid menilai, masyarakat di pulau kecil akan semakin menderita karena investasi skala besar. Keterbatasan ruang dan daya dukung sumber daya alam, jika dialokasikan untuk kepentingan investasi skala besar, akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau kecil.
“Sebagaimana diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau kecil, memiliki akses serta mobilitas terbatas, terutama terkait dengan pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, maka bencana kemanusiaan akan meledak,” kata Farid dalam siaran pers bersama terkait desakan penghentikan penggusuran ribuan masyarakat di Pulau Rempang untuk kepentingan investasi skala besar pada Kamis (31/8/2023) siang.