EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Konflik lahan masih banyak terjadi di Indonesia. Data terbaru dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah organisasi yang menyoroti kasus-kasus konflik lahan, menunjukkan jumlah kasus konflik lahan meningkat hampir 40% pada tahun 2017 menjadi 659 kasus dari 472 kasus pada tahun 2014. Sekitar satu per tiga dari kasus-kasus tersebut terjadi di sektor perkebunan.
Sebagian besar konflik ini terjadi antara aktor lokal (komunitas masyarakat setempat dan masyarakat adat) dengan perusahaan atau badan pemerintah terkait hak kelola lahan.
Ada pola yang sering muncul: seringkali konflik terjadi ketika, khususnya di masa lalu, pemerintah memberikan hak kepada perusahaan untuk mengelola lahan yang cukup luas tanpa melalui proses persetujuan terlebih dahulu dari aktor lokal yang sudah mengelola lahan tersebut dari generasi ke generasi.
Seringkali pemerintah dan perusahaan berargumen bahwa klaim masyarakat lokal atas tanahnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga mereka tidak berhak untuk mengklaim tanah tersebut. Hal ini biasanya karena mereka tidak memiliki alat bukti formal. Tetapi masyarakat lokal yang sudah hidup lama di sana berpendapat sebaliknya, sehingga timbul perlawanan dan konflik.
Penelitian kami mengidentifikasi ada dua strategi efektif yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk mendapatkan kembali hak mereka atas lahan.
Dua strategi tersebut mencakup pengajuan klaim atas lahan dengan dasar hak mereka sebagai warga negara dan hak sebagai masyarakat adat.
Dua contoh yang menerapkan kedua strategi tersebut adalah masyarakat di Kampar, Riau, dan masyarakat di Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Dengan cara menuntut hak mereka sebagai warga negara dan kelompok adat, mereka berhasil memperoleh kembali sebagian hak atas lahan dari perusahaan perkebunan kayu skala besar di provinsi tersebut.
Berikut hasil penelitian kami.
Mencari keadilan
Setelah Indonesia menjadi negara ‘demokrasi baru’ di akhir 1990-an, pemerintah Indonesia mulai mengakui hak masyarakat miskin di daerah pedesaan untuk mengelola lahan dan hutan mereka.
Pengakuan ini memberi kesempatan bagi mereka untuk mencari keadilan atas penyerobotan lahan mereka di masa lalu. Di beberapa kasus, mereka berhasil.
Contohnya terjadi pada petani Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Mereka telah mendiami daerah tersebut sejak ratusan tahun, bercocok tanam padi, kelapa, dan pinang.
Sejak sekitar tahun 2000an, petani Senyerang berkonflik dengan perusahaan perkebunan besar di daerah tersebut.
Kelompok petani akhirnya berhasil mendapatkan sebagian tuntutan mereka untuk mengelola lahan pada tahun 2013, setelah bertahun-tahun berjuang menuntut hak-hak atas lahan mereka.
Berdasarkan keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelumnya, akhirnya perusahaan menyetujui petani Senyerang untuk menanam karet di 1.001 hektare lahan di dalam area izin konsesi mereka. Selain itu, perusahaan juga menyetujui kesepakatan bagi hasil dari lahan akasia dengan komunitas tersebut.
Keadilan bagi masyarakat adat
Masyarakat adat di Indonesia dapat mengklaim hak adat mereka atas lahan dan sumber daya yang ada di wilayah tanah leluhur mereka.
Masyarakat adat lokal seringkali memakai argumen ini untuk mendapatkan kembali hak mereka atas lahan.
Sebuah kelompok masyarakat adat, Datuk Pangeran Perkaso (bukan nama sebenarnya) di Kampar, Riau telah menggunakan strategi ini untuk memperjuangkan hak mereka dari sebuah perusahaan perkebunan kayu Akasia.
Kelompok masyarakat adat ini mengaku sudah menolak pengembangan perkebunan tersebut sejak awal beroperasi tahun 1993. Mereka menyatakan bahwa perusahaan telah mengambil 4.500 hektare lahan adat mereka.
Setelah sekian lama, akhirnya kelompok masyarakat adat ini mendapatkan sebagian hak mereka atas lahan. Namun, butuh waktu yang sangat lama untuk bisa mendapatkan apa yang mereka tuntut.
Pemerintah kabupaten Kampar mengeluarkan peraturan daerah yang mengakui hak kelompok masyarakat adat atas tanah ulayat di kabupaten tersebut pada tahun 1999.
Tetapi, butuh 16 tahun hingga akhirnya perusahaan setuju untuk menandatangani kesepakatan tertulis terkait bagi hasil atas 1.000 hektare lahan konsesi akasia milik perusahaan.
Kelompok adat ini hanya terdiri dari 397 keluarga. Sehingga, pada saat berjuang kelompok ini memutuskan untuk mencari bantuan masyarakat lain yang berasal dari Sumatra Utara, Aceh, dan dari daerah lain untuk bergabung dan berjuang bersama mereka.
Namun, keterlibatan masyarakat di luar masyarakat adat tersebut malah membuat perusahaan mempertanyakan basis klaim mereka sebagai masyarakat adat.
Hasilnya, karena kurangnya kekuatan bargaining, mereka mendapatkan hasil yang lebih sedikit dari kesepakatan, dibanding kasus Jambi.
Aliansi yang lebih kuat
Aksi kolektif masyarakat lokal dan adat merupakan faktor utama keberhasilan mereka untuk bisa mendapatkan kembali hak-hak atas lahan. Jaringan pendukung dan kampanye di tingkat nasional dan internasional juga menjadi faktor penting, terutama ketika perusahaan memiliki akses ke pasar internasional.
Namun, jika kita membandingkan hasil yang didapat dari dua pendekatan di atas, menggunakan hak sebagai warga negara dalam konflik lahan terhitung lebih efektif karena pendekatan tersebut cenderung lebih inklusif.
Inklusifitas merupakan kunci penting untuk membentuk koalisi yang kuat antara masyarakat di tingkat lokal untuk mendapatkan kembali hak atas lahan mereka ketika berhadapan dengan perkebunan skala besar.
Dalam kasus di Jambi, masyarakat lokal bisa membentuk aliansi besar dan menggerakkan 2.002 petani dari berbagai latar belakang etnis untuk berjuang bersama mereka. Kondisi ini berbeda di kasus Riau.
Meskipun demikian, penggunaan argumentasi hak adat untuk mendapatkan kembali hak atas lahan bisa jadi efektif bila digunakan dalam kasus-kasus yang melibatkan komunitas masyarakat yang relatif homogen.
Bagaimana selanjutnya?
Dua kasus konflik di atas dianggap telah “berhasil” diselesaikan, pada akhirnya.
Namun, kedua komunitas tersebut masih belum mencapai keadilan seutuhnya. Mereka belum mendapatkan hak untuk mengelola dan mengatur lahan mereka secara efektif, mengingat lahan-lahan tersebut masih menjadi bagian dari konsesi perusahaan dan secara hukum masih dalam kawasan hutan yang dikuasai negara.
Program reforma agraria yang digulirkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan lahan semacam itu. Program ini meliputi sertifikasi lahan, redistribusi lahan, serta inisiatif perhutanan sosial.
Namun, walau implementasi penyerahan sertifikasi lahan kepada masyarakat sudah berjalan, redistribusi lahan kepada masyarakat lokal masih sangat terbatas.
Reforma agraria yang dilakukan pemerintah saat ini belum mengatasi isu yang lebih fundamental dari konflik lahan yang banyak muncul selama ini, yang berakar pada penguasaan lahan yang timpang.
Selain itu, apabila pemerintah tidak memperbaiki tata kelola yang ada untuk lebih melindungi hak-hak warga negara dan masyarakat adat atas tanah mereka, masyarakat masih sangat rentan kehilangan hak-hak mereka. Akhirnya, potensi konflik lahan di masa depan masih cukup besar.
Stefanus Agustino Sitor telah menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris
Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.
Penulis: Ahmad Dhiaulhaq, PhD Candidate, Crawford School of Public Policy, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.