EDISI.CO, BATAM– Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Taba Iskandar, menjalani pemeriksaan oleh Subdit 4 Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kepri pada hari Rabu (13/9/2023). Pemeriksaan ini berkaitan dengan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh Taba Iskandar di kawasan Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam.
Taba Iskandar memasuki gedung Dirkrimsus Polda Kepri sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah menjalani pemeriksaan selama satu jam, Taba keluar dari gedung tersebut dengan membawa amplop coklat yang berisikan surat undangan dari Polda Kepri.
Taba menjelaskan bahwa polisi menanyakan terkait status kepemilikan lahan kebun yang dimilikinya di kawasan Rempang. Lahan seluas 1.800 meter persegi dan telah ditanami pohon tersebut ternyata masuk dalam kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) BP Batam.
“Saya ditanya tentang penyelidikan status lahan di Rempang, karena saya dinyatakan sebagai penggarap lahan. Ternyata setelah dijelaskan tadi di dalam, kebun saya di sana itu statusnya masuk dalam kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) BP Batam. Sehingga perlu pendataan ulang,” ujar Taba di lokasi, Rabu (13/9/2023).
Taba juga menyatakan bahwa lahan tersebut sebenarnya ia peroleh dari seorang teman sebagai pembayaran hutang. Namun, surat itu hanya di tanda tangani Kepala desa. Oleh karena itu Taba tidak pernah memanfaatkan lahan tersebut secara langsung selama dua dekade.
“Baru pada tahun 2021 lalu saya tanam pohon durian dibantu oleh masyarakat sekitar yang menjaga dan merawat kebun itu,” ucapnya.
Saat diminta untuk menyerahkan lahan tersebut dengan menandatangani surat perjanjian, Taba menolak jika lahan tersebut diserahkan kepada BP Batam. Ia lantas mempertanyakan apakah BP Batam telah memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas lahan tersebut.
“Kalau kepada negara saya mau. Karena redaksi suratnya itu harus menyerahkan ke Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam. Memangnya lahan itu punya BP Batam? Apakah BP Batam sudah ada HPL lahan itu?. Maka saya keberatan. Akhirnya saya tanda tangani untuk menyerahkan lahan itu kepada negara, bukan BP Batam,” tegasnya.
Taba menekankan bahwa lahan di Rempang tidak memiliki HPL dari BP Batam melainkan memiliki surat Alas Hak yang dikeluarkan oleh Kecamatan Galang pada tahun 1990-1998. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan untuk menyerahkan lahan tersebut kepada BP Batam.
Selain itu, Taba meminta agar petugas yang menangani kasus ini bersikap koperatif dan adil dalam menyelesaikan permasalahan lahan. Ia juga mengingatkan agar penduduk Rempang yang sudah tinggal di sana selama ratusan tahun tidak diperlakukan secara semena-mena.
“Kalau kasusnya seperti saya ini silahkan tindak tegas. Tapi kalau masyarakat Rempang yang sudah bermukim di sana selama ratusan tahun sejak Indonesia belum merdeka, jangan ditindas. Mereka itu sudah masuk kedalam kerajaan Riau Lingga sejak dulu,” ujarnya.
Baca juga: Tembakan Gas Air Mata ke Gedung LAM: LAM Batam Desak Polisi Minta Maaf
Taba juga menyatakan keprihatinannya terhadap tindakan aparat dan pemerintah saat ini. Ia menyarankan agar pemerintah berdialog dengan masyarakat terkait relokasi yang akan dilakukan, terutama bagi masyarakat asli atau tempatan yang sudah lama tinggal di Rempang.
“Jangan disamakan dengan penduduk asli atau tempatan, duluan mereka tinggal di situ sebelum terbentuknya BP Batam,” katanya.
Taba menilai, relokasi yang akan dilakukan oleh pemerintah seharusnya mempertimbangkan kepentingan masyarakat setempat dan mengintegrasikan mereka dalam konsep pembangunan, tanpa harus melakukan pemindahan paksa.
“Kalau rumah mereka tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata rumahnya yang diperbaiki, karena mereka mencari makan di sana, bukan ditempatkan di rumah susun atau dibuatkan rumah lagi. Kampung itu adalah bagian integrasi dari konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,” tandasnya.
Penulis: Irvan F