
Edisi/bbi
“Marilah kita menghormati bendera kebangsaan tidak hanya sebatas raga, yakni dengan meletakkan tangan di kepala. Yang tidak kalah penting kita juga wajib menghormatinya tanpa tangan, yaitu dengan jiwa yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari“
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Agustus yang bagi masayrakat +62 kerap dinisbatkan dengan bulan kemerdekaan, baru saja berakhir. Meski kemerdekaan sudah diproklamirkan sejak 78 tahun yang lalu, sampai detik ini, masih saja ada kalangan yang mempertanyakan ‘Apakah kita sudah benar-benar merdeka?’ seperti yang diidam-idamkan Tan Malaka (Bapak Republik Indonesia), merdeka 100%.
Pertanyaan mewah (bukan sederhana) di atas tidak pantas rasanya bila dianggap hanya sebagai angin lalu. Jawaban dari rumusan masalah tersebut, sejatinya sudah ada di hati kita masing-masing. Meski belum 100%, setidaknya, step by step kita melangkah menuju ke sana.
Berapa lama kita akan sampai ke sana (kemerdekaan)? tergantung nahkoda dan awaknya, juga penumpang yang setia mengingatkan bila kapal mulai berbelok ke arah yang sesat. Yang jelas, para founding father kita telah menegaskan di dalam Preambule UUD 1945 bahwa mereka telah dengan sepenuh jiwa-raganya mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan ‘Pintu Gerbang Kemerdekaan’.
Ingin langsung masuk ke dalam gerbang, atau hendak bermanufer ke kanan dan kiri terlebih dahulu, episode selanjutnya ada di tangan generasi setelahnya. Tentunya hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pengidam kemerdekaan yang hakiki, baik rakyat juga pengabdi rakyat, tidak termasuk pengabdi uang dan setan.
Berbicara mengenai kemerdekaan, rasanya seperti sayur tanpa garam bila setiap memasuki bulan ke-delapan dalam kalender masehi, Merah-Putih tidak menghiasi area depan rumah penduduk. Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia Pasal 7 ayat (1) bahwa Bendera Kebangsaan dikibarkan pada Hari Kemerdekaan tujuh belas Agustus.
Jokowi melalui Kementerian Sekretariat Negara meminta agar bendera merah-putih dikibarkan satu bulan penuh selama Agustus kemarin. Namun secara faktual, tetap saja pengibaran bendera kebangsaan secara benar-benar serentak akan sulit didapati, sebab himbauan presiden tersebut ditanggapi masyarakat dengan cara beragam. Kesibukan setiap individu yang berbeda-beda kerap menjadi ‘kambing hitam’-nya.
Alhasil setiap penghuni rumah beragam pula waktu pengibarannya. Ada yang tepat di hari pertama bulan Agustus, ada yang dua minggu atau seminggu menjelang HUT republik ini, bahkan ada yang H-1. Kendati demikian, perangkat RT tidak pernah bosan menghimbau warganya agar mengibarkan bendera yang kerap disamakan dengan bendera Polandia tersebut.
Semakin mendekati hari ke-17 di bulan Agustus, semakin banyak pula bendera yang ‘dijemur’ di bawah teriknya matahari pelintas garis khatulistiwa. Tidak dapat dipungkiri, kecemasan pernah mampir ke beberapa hati, saat hari yang dinanti seluruh rakyat Indonesia tersebut sudah semakin dekat. Mereka adalah penjual bendera pinggir jalan yang belum ‘balik modal’. Mereka yang sudah, sepertinya bisa sedikit tersenyum dalam menyambut datangnya hari ‘kemerdekaan’ kemarin.
Mengibarkan bendera di bulan Agustus merupakan bagian dari praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, juga salah satu tanda terdeteksinya kandungan Nasionalisme di dalam aliran darah dan DNA setiap Insan Indonesia. Namun belum bisa disimpulkan kalau orang yang paling awal mengibarkan Merah-Putih tergolong ke dalam ‘hewan berakal’ yang paling Nasionalis.
Kemungkin karena takut ditegur Perangkat RT atau karena takut digunjingi ‘Tidak Cinta NKRI’. Miris bila demikian adanya, sebab untuk memperingati kemerdekaan saja belum dilandasi jiwa yang merdeka, malah dibayang-bayangi rasa takut dicap ‘Tidak Nasionalis’.
Juga, belum bisa disimpulkan kalau mereka yang tidak mengibarkan Merah-Putih selama bulan Agustus adalah orang yang tidak Nasionalis. Coba kita perhatikan mereka yang tinggal di permukiman kelas bawah hingga paling bawah, mungkin saja mereka dihadapkan pada dua pilihan, antara membeli bendera atau memerdekakan lambung mereka yang kerap teriak melawan penjajahan ‘rasa lapar’.
Menjelang 17 Agustus 2023, saya mendengar di radio bahwa berbagai pemerintah daerah mengadakan program bagi-bagi bendera gratis bagi masyrakat yang kurang mampu, akhirnya orang seperti mereka bisa ikut menseremonikan ‘kemerdekaan’, meski masih terjajah oleh KE(tidak)ADILAN SOSIAL.
Beberapa waktu lalu, saya sempat kagum pangkat tiga, karena melihat halaman sebuah rumah megah dikelilingi Merah-Putih yang ‘tak hingga’ jumlahnya. Seakan dikali dengan angka nol, dalam sekejap kekaguman itu berubah ketika saya menemukan tulisan yang menandakan kalau itu merupakan posko pemenangan Caleg dari sebuah parTAI. Hal semacam itu kerap dilakukan menjelang hari ulang tahun republik ini. Yakinlah, ketika Agustus berakhir, Merah-Putih kembali bertransformasi menjadi bendera parTAI.
Merujuk pada fenomena tersebut, apakah dengan semakin banyaknya bendera yang dikibarkan maka akan semakin nasionalis pula anggota parTAI tersebut? Jawabannya jelas ‘tidak’, sebab banyak anggota legislatif yang mengaku nasionalis, namun dalam praktiknya menjadi Agen Non-Rahasia atau calo penjual hasil alam kita ke negeri seberang dengan berbagai regulasi yang mereka lahirkan lewat rahim oligarkhi.
Dari tadi saya membahas kuantitas, terkait waktu pengibaran dan jumlah bendera yang dikibarkan. Sekarang saya singgung sisi kualitasnya. Meski kita berbangsa, bertanah air, berbahasa, bahkan berbendera satu, namun dalam hal tata cara pengibarannya di depan rumah kita tidak satu ragam.
Mengibarkan Merah-putih pada tiang yang tingginya proporsional dengan ukuran bendera itu sudah sewajarnya dilakukan, hal itu tercantum pada undang-undang yang telah saya sebutkan di atas, khususnya pada Pasal 18 Ayat (1). Ketidakwajaran yang saya temukan ialah, adanya beberapa oknum yang mengibarkan Merah-Putih pada tiang besi penyangga kanopi depan rumahnya, artinya ada yang lebih tinggi dari bendera kebangsaan tersebut.
Rasa miris kembali menghampiri, ketika ada orang yang tidak mampu membeli tiang untuk bendera kebangsaan, namun mampu membeli tiang-tiang kemewahan penyangga rumahnya. Parahnya lagi, ada yang menancapkan bendera tersebut pada tiang setinggi dada orang dewasa di pekaranganya, apakah pantas memberi hormat pada bendera yang posisinya lebih rendah dari kepala?
Bendera merupakan benda mati, yang menghidupkannya adalah sejarah panjang bagaimana benda pusaka tersebut bisa berkibar dengan leluasa di atas tubuh ibu pertiwi, sebab sudah tidak terhitung aliran darah dan nyawa yang mengiringi perjuangan para pahlawan negeri ini, itu pula yang menjadi esensi mengapa kita harus menaruh hormat bendera tersebut.
Hormat kepada bendera tidaklah sama seperti orang yang gila hormat kepada pimpinan, alias ABS (Asal Bapak Senang). Hormat dalam hal ini tidak berbatas waktu dan tempat, yakni tidak hanya pada saat melangsungkan upacara bendera di lapangan. Sejatinya adalah everytime and everywhere.
Dalam lagu kebangsaan tercantum lirik ‘Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya’. Kata ‘Jiwa’ lebih dulu disebutkan daripada ‘Badan’, menandakan jiwa atau ‘Ruh’ menjadi prioritas untuk dibangun. Marilah kita menghormati bendera kebangsaan tidak hanya sebatas raga, yakni dengan meletakkan tangan di kepala. Yang tidak kalah penting kita juga wajib menghormatinya tanpa tangan, yaitu dengan jiwa yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak yang mengibarkan Merah-Putih, namun tidak menaruh hormat pada benda tersebut dengan jiwanya. Salah satu contoh di jalan raya, salah satu medan laga dimana ‘kemanusiaan’-nya manusia diuji. Di sana akan dipertontonkan manusia yang ‘buas’-nya menyerupai bahkan bisa melebihi hewan. Mulai dari truk (besar hingga kecil), mobil box, dan kendaraan pribadi (roda dua hingga empat) sering melaju kencang tanpa menghiraukan nyawa pengendara lain, sadarkah mereka akan Merah-Putih yang terpancang di kendaraannya?
Mengibarkan Merah-Puith merupakan tanda kalau kita sudah ‘Merdeka dari Penjajah’, bukan ‘Merdeka untuk Menjajah’. Mental penjajah seperti merasa paling berkuasa atau Sing Kuat Sing Melihara, apa lagi saat di jalan raya, sudah sepatut dihapuskan. Selain karena tidak sesuai dengan ‘Prikeadilan dan Prikemanusiaan’, juga sebagai wujud rasa hormat kita pada bendera kebangsaan, baik dengan tangan maupun tanpa tangan.
Sudah terlalu banyak saya memaparkan apa yang tampak di mata mengenai orang lain, kini saya paparkan mengenai diri saya. Hingga 16 Agustus 2023, saya belum juga mengibarkan Merah-Putih di pekarangan rumah. Membuat tetanggaku yang menaruh heran bertanya, “Kenapa belum mengibarkan bendera?”, saya jawab dengan satire yang berbumbukan historis, “Penjajah masih berkeliaran.” Yang mana itu adalah metafora kalau negeri ini belum merdeka seutuhnya, sebab ruh-ruh londo itu masih bergentayangan di raga yang warna rambut dan kulitnya seragam dengan kita. Dulu kawan dan lawan bisa dibedakan, hanya dengan melihat warna kulit, rambut, dan paras wajah. Pantas saja Bung Karno berwasiat ke kita, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Kembali ke pengalaman barusan. Pantaskah saya dicap tidak menaruh hormat pada Merah-Putih bahkan tidak berjiwa nasionaslis karenanya? padahal saya pernah membawa membawa Merah-Putih hingga KM 0 Indonesia di Sabang, mengibarkannya di beberapa puncak gunung api negeri ini, berziarah ke makam W.R. Soepratman yang lagu ciptaannya selalu sepaket dengan pengibaran Merah-Putih sudah saya lakukan, bahkan saya sudah berkunjung ke makam wanita penjahit bendera pusaka, Fatmawati. Andai kata perangkat RT menanyaiku, ‘peluru-peluru’ tadi sudah siap aku tembakkan ke mereka, sayangnya tidak ada teguran yang teralamatkan ke kediamanku.
Rabu, 17 Agustus 2023, matahari sudah mengintaiku dari ufuk timur. Aku belum juga mengibarkan bendera di depan rumah. Pukul delapan hingga menjelang sepuluh pagi hujan turun membasahi bumi, apakah ini tangisan ibu pertiwi karena melihat orang-orang berteriak ‘Merdeka’ namun lebih sering memerdekakan nominal rekeningnya dengan menghalalkan segala cara? Bisa jadi!
Lewat siaran langsung RRI Pro 3 dari radio klasikku, aku menguping upacara pengibaran bendera Sangsaka Merah-Putih yang berlangsung di Istana Negara. Pukul 10.00 WIB, sambil diiringi lagu Indonesia Raya yang diputar di radio, ku naikkan bendera yang akhir tahun lalu ku kibarkan di puncak Gunung Dempo (Sumatera Selatan) dan Gunung Singgalang (Sumatera Barat). Tetanggaku membuktikan ucapanku beberapa hari sebelumnya, yang mengatakan kalau aku akan mengibarkannya tepat pada peringatan HUT RI yang ke-78. Lantas Ia yang melihat dari sebelah mengatakan, “Benderanya sudah naik, sama seperti di televisi.”
Filosofiku melakukannya, selain mencoba menyamai waktu pertama kali bendera pusaka dikibarkan di Pegangsaan Timur, juga bentuk perlawanan sikapku terhadap mereka yang mengibarkan bendera cepat tapi asal (asal naik dan asal ber-label nasionalisme), serta memperingati hari terakhir Jokowi dan kabinetnya melangsungkan upacara pengibaran bendera di masa kepemimpinannya.
Sudah lebih dari seminggu September menemani hari-hari kita. Satu per satu Merah-Putih mulai terjun bebas ke tempat persembunyiannya. Meski ia sudah tidak berkibar di pekarangan kita, pastikan ia tetap berkibar di sanubari kita, dan semoga kita senantiasa menghormatinya dalam arti yang seseungguhnya. Jangan seperti mereka yang kerap hormat kepada bendera setiap pelaksanaan upacara, namun juga ‘hormat’ kepada pihak asing, yakni dengan memberikan ‘kemerdekaan’ bagi negara luar untuk berinvestasi di negeri ini dan mengikhlaskan hasil alam kita terbang ke negeri sebrang. Jika demikian adanya, mengibarkan bendera hanya jadi sekedar ‘simbol kemerdekaan’, bukan merdeka dari intervensi asing dan merdeka menentukan nasib bangsa sendiri.
Penulis: Taring
Taring adalah nama pena penulis, semula merupakan nama rimba yang ia dapat di lembah antara Gunung Sibayak dan Gunung Pintau. Ia merupakan alumni State University of Medan, Jurusan Pendidikan Geografi. Ia yang mengaku sebagai penyuka sejarah, selain mengajar geografi, sesekali diberdayakan mengajar sejarah. Demi kemajuan dunia literasi, ia mendirikan home liblary bernama Selter Merbabu.