EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Selebriti Nikita Mirzani, yang sering mengundang kontroversi publik di media sosial, diduga melakukan doksing terhadap mantan suaminya, Antonio Dedola, dengan mempublikasi rumah kediaman orang tua Antonio di media sosial.
Doksing merupakan suatu tindakan menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin yang dapat berakibat buruk. Contohnya adalah membuat korban menjadi malu, menerima diskriminasi, hingga terancam cyberstalking.
Sayangnya, narasi yang beredar di jagat maya justru cenderung memaklumi tindakan Nikita. Dalihnya: “artis kan emang gitu kelakukannya”.
Kasus di atas hanya salah satu contoh pemakluman publik terhadap tindakan tidak benar yang acap kita jumpai di media sosial. Contohnya, penggunaan narkoba yang dimaklumi karena seorang selebriti mengalami depresi atas ketenarannya.
Ada juga pencemaran nama baik kadang diamini karena korban dianggap pantas dihina. Kasus lainnya adalah perselingkuhan oleh laki-laki yang dipandang wajar. Sebaliknya, publik malah menyalahkan pasangan yang diselingkuhi.
Ini semua menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjelma menjadi panggung bagi “budaya pembiaran” (ommission culture) terhadap kekerasan simbolik. Budaya pembiaran mengacu pada bagaimana kita melihat suatu kejahatan atau kesalahan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali.
Budaya semacam ini terjadi akibat besar dan kuatnya pengaruh narasi-narasi di media sosial dalam membentuk opini publik. Warganet kemudian menjadi ikut-ikutan menghakimi maupun membiarkan terjadinya penghakiman terhadap individu tertentu.
Budaya pembiaran yang diacuhkan dapat berdampak buruk, seperti memengaruhi psikologi individu. Budaya ini juga berisiko melanggengkan tindakan-tindakan kriminal, seperti korupsi, penggunaan narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Apa itu budaya pembiaran?
Filsuf politik berpengaruh asal Jerman, Hannah Arendt, mengutarakan konsep pembiaran melalui analisis kasus penjahat perang Nazi, Adolf Eichmann. Dia digambarkan sebagai seorang perwira militer yang sangat patuh kepada atasan dan negara.
Menurut Arendt, Eichmann tidak menyadari bahwa tindakannya berdampak buruk. Padahal, ia telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan perang selama masa pemerintahan Nazi, terutama selama Perang Dunia II.
Kejahatan yang banal dalam konteks ini dapat dipahami sebagai budaya pembiaran. Budaya ini dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akal sehat untuk memahami perintah, hukum, atau kewajiban yang ada.
Budaya pembiaran ini juga dapat “menjerat” individu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berdampak buruk, tapi mereka anggap wajar. Contohnya adalah para influencer yang kerap mencari keuntungan materi dengan menjadikan anaknya sebagai kidfluencer.
Di Hollywood, ada keluarga Kardashian yang memiliki akun instagram khusus bagi anak-anak mereka–padahal masih di bawah umur.
Baca juga: Wakil Wali Kota Batam Ingin Anak Muda Dibekali Kualitas yang Mumpuni
Di Indonesia, keluarga selebriti Baim Wong dan Paula Verhoeven membuat akun Instagram untuk anak-anak mereka. Keduanya membagikan foto-foto anak-anaknya yang masih berusia di bawah 5 tahun. Secara tidak langsung, aksi mereka membuka peluang agar sang anak bisa ‘menarik’ endorsement dan memberikan tambahan pemasukan.
Mereka sebagai orang tua memang punya hak penuh untuk melakukannya terhadap anak-anak mereka. Namun, perlu diingat, penelitian menunjukkan upaya menjadikan anak sebagai kidfluencer, dalam arti tertentu, cenderung dekat dengan tindakan eksploitasi anak.
Sayangnya, banyak warganet yang menganggap itu hal biasa saja. Padahal pembiaran ini bisa berujung pada terjadinya kekerasan simbolik yang bisa merugikan orang lain maupun kelompok.
Pembiaran terhadap kekerasan simbolik
Kekerasan simbolik adalah pemaksaan suatu makna, logika, dan keyakinan–yang secara halus dan samar mengandung bias–oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Kadang kala tujuannya untuk mendapatkan pengakuan.
Kekerasan simbolik sulit dikenali, karena berlangsung secara “tersembunyi” di balik keyakinan seseorang atau kelompok tertentu bahwa “seharusnya memang demikian”.
Kekerasan simbolik terjadi melalui simbol-simbol dalam bentuk bahasa, biasanya di media, yang dapat memengaruhi cara bekerja, berpikir, dan bertindak seseorang.
Media sosial telah menjadi ruang untuk menyebarkan kekerasan simbolik. Pasalnya, interaksi orang-orang di media sosial berlangsung melalui kontrol atas bahasa dan simbol-simbol komunikasi.
Contohnya adalah flexing (pamer kekayaan di media sosial). Memang, setiap individu berhak mengunggah gaya hidup mereka–bahkan yang mewah dan secara terus-menerus. Tindakan ini menjadi kekerasan simbolik ketika dapat memengaruhi orang lain bahwa barang mewah tersebut layak dimiliki, demi pengakuan sosial, padahal sebenarnya tidak perlu.
Individu lain yang tidak mampu mengikuti gaya hidup mewah bisa terpengaruh lalu memaksakan diri dengan cara-cara yang di luar batas, seperti mencuri atau korupsi.
Riset menemukan bahwa kekerasan simbolik sangat memengaruhi individu secara psikologis.
Contohnya, ketika ada remaja yang terlibat dalam video asusila, kemudian warganet menyebarkan video itu dan melakukan perundungan (bullying) terhadap remaja tersebut. Dalam kasus ini, warganet menjadi pihak yang mendominasi dan memanipulasi wacana. Ini termasuk kekerasan simbolik.
Kekerasan ini kemudian membuat warganet lainnya membiarkan adanya penyebaran konten asusila dan tindakan perundungan karena menganggap keduanya sebagai sanksi sosial bagi si remaja. Inilah contoh kultur pembiaran terhadap kekerasan simbolik. Penyebaran video–yang merupakan pelanggaran privasi–dan perundungan akan berdampak traumatis bagi remaja tersebut.
Dengan adanya budaya pembiaran, kekerasan-kekerasan simbolik semacam ini akan terus langgeng.
Bagaimana mengatasinya?
Pertama, pendidikan dan kesadaran publik tentang konsekuensi kekerasan simbolik sangatlah penting.
Masyarakat perlu memahami bahwa kata-kata dan tindakan dalam dunia digital dapat berdampak signifikan pada individu ataupun kelompok di dunia nyata. Kampanye pendidikan yang komprehensif tentang etika publik di era digital dan bahaya kekerasan simbolik rasanya dapat membantu mengubah persepsi masyarakat secara perlahan.
Kedua, platform media sosial juga harus bertanggung jawab atas konten yang mereka tampilkan, misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap konten berbahaya. Mereka dapat menindak tegas pengguna yang melanggar aturan.
Perlu juga untuk meninjau kembali algoritma yang mungkin secara tidak sengaja malah mendorong penyebaran konten yang destruktif. Kolaborasi yang lebih erat diperlukan antara platform media sosial, pemerintah, dan pihak lainnya.
Dalam upaya mengatasi budaya pembiaran ini, perlu ada komitmen bersama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan lebih menghormati semua individu. Ini adalah tugas yang harus diemban oleh semua pihak, baik pengguna media sosial, penyedia platform, pemerintah, maupun masyarakat sipil.
Penulis: Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer Studi Humaniora, Universitas Multimedia Nusantara
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.