EDISI.CO, NASIONAL– Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengeluarkan tiga desakan terkait temuan intimidasi terhadap Masyarakat Melayu di Pulau Rempang. Ketiga poin tersebut diantaranya mendesakan:
- Presiden Republik Indonesia bersama Kapolri, Panglima TNI, beserta jajarannya memerintahkan bawahannya untuk menghentikan segala bentuk upaya intimidasi, ancaman kekerasan, maupun teror psikologis berupa stop pemaksaan pendaftaran relokasi, stop sosialisasi menggunakan aparat keamanan, dan melakukan penarikan pasukan keamanan dan mobil polisi secara keseluruhan dari area kampung Pulau Rempang dan Galang.
- Aparat kepolisian mematuhi ketentuan hukum pidana Indonesia yang berlaku maupun peraturan internal kepolisian yang melarang pendekatan keamanan berlebihan dalam menghadapi penolakan warga.
- Aparat kepolisian memberikan akses bantuan hukum yang memadai terhadap para tersangka yang ditahan maupun ditangguhkan penahanannya serta mencabut laporan terhadap seorang warga yang diancam Pasal 28 Ayat (2) UU ITE karena menyatakan pendapatnya di muka umum.
Hampir sebulan pasca penolakan warga Pulau Rempang dan Galang atas aktivitas pematokan tanah sebagai bagian dari pelaksanaan proyek Rempang Eco-City di Batam, Kepulauan Riau, warga masih mengalami berbagai bentuk ancaman kekerasan maupun intimidasi yang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, melihat negara melalui aparat gabungan yang terdiri dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah melakukan sejumlah tindakan yang mengarah pada ancaman kekerasan, intimidasi, dan teror psikologi yang menimbulkan ketakutan terhadap warga.
Baca juga: Menko Perekonomian Datang ke Rempang, Tinjau Tanjung Banun
Tindakan-tindakan aparat gabungan tersebut mulai dari pemaksaan pendaftaran relokasi, kerap lalu lalangnya aparat, sosialisasi door to door yang dilakukan negara dengan menggunaan aparat keamanan, penggunaan kantor kecamatan sebagai posko pengamanan, adanya sejumlah posko penjagaan di Pulau Rempang baik di Jalan Trans Barelang hingga daerah Sembulang, hingga mobil-mobil polisi yang selalu terparkir di berbagai area kampung warga dalam jumlah yang banyak.
Pendekatan keamanan yang berlebihan dalam menghadapi penolakan warga terhadap relokasi atau pemindahan warga yang terdampak dari pembangunan proyek Rempang Eco-City ini menimbulkan ketakutan tak berkesudahan dari warga.
Seperti dikutip dari BBC Indonesia yang mewawancarai sejumlah warga terdampak pembangunan dan menolak relokasi, salah seorang warga mengutarakan ketidaksenangannya terhadap penundaan relokasi dan mempertanyakan apakah tidak bisa distop masalah pengggusuran tersebut. Para warga masih merasa tidak aman sehingga tetap waspada dan berkumpul di posko bantuan hukum yang didirikan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil.
“Hari demi hari, resah dan gelisah kami tidak menentu. Mau cari makan susah, berkomunikasi dengan tetangga luar susah, mau wirid susah, semua serba susah,” kata seorang warga.
Merujuk ketentuan internal kepolisian yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri No. 8/2009), terdapat pengaturan larangan setiap petugas/anggota Polri menggunakan kekerasan yang berlebihan (Pasal 11 huruf j). Jika polisi harus menggunakan kekerasan, harus memperhatikan proporsionalitas dengan tujuannya serta berimbang dengan ancaman yang dihadapi (Pasal 45 huruf e dan f).
Baca juga: WALHI Riau Menilai ada Ambisi Menteri Bahlil Menggusur Warga Pulau Rempang demi Investasi
Kemudian, apabila merujuk dari ketentuan hukum pidana Indonesia, pendekatan keamanan yang berlebihan oleh aparat keamanan ini merupakan bagian dari intimidasi yang tergolong sebagai ancaman kekerasan.
Pasal 335 ayat (1) KUHP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 mendefinisikan intimidasi atau penggunaan ancaman yaitu secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu.
Memaksa, menurut R. Soesilo, adalah menyuruh orang melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.
Oleh karena itu, berkaca dari tindakan aparat gabungan dalam menghadapi penolakan relokasi dari sebagian warga Pulau Rempang dan Galang dapat dipandang sebagai wujud intimidasi dan ancaman kekerasan yang melanggar ketentuan hukum pidana di Indonesia maupun Perkapolri No. 8 Tahun 2009 karena pendekatan keamanan tersebut sesungguhnya tidak proporsional dan berimbang dengan tindakan atau upaya warga dalam menolak relokasi yang terdampak proyek Rempang Eco-City.
Hal lain yang juga kami soroti dalam kurun waktu hampir sebulan belakangan yaitu dugaan penangkapan tanpa prosedur yang sesuai terhadap massa aksi yang menolak pematokan tanah (peristiwa 7 September) dan demonstrasi atas penangkapan sebagian warga yang menolak pematokan tanah yang juga diduga ditangkap secara sewenang-wenang (peristiwa 11 September).
Dugaan arbitrary arrest tersebut semakin kuat karena berdasarkan temuan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan – Rempang, proses hukum yang dijalani terhadap warga begitu cepat, mulai dari penangkapan, pemberitahuan dimulainya penyidikan, penetapan tersangka, dan penahanan, terjadi di hari yang sama.
Selain itu, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan – Rempang yang memberikan pendampingan hukum terhadap warga yang ditangkap, ditahan, dan dijadikan tersangka juga mengalami kendala dalam memperoleh akses bantuan hukum, terutama terhadap delapan orang tersangka yang sudah ditangguhkan penahanannya pada 11 September lalu.
Padahal, menurut Pasal 54 KUHAP, selama proses penyidikan, seorang tersangka berhak mendapat bantuan hukum, dan Pasal 57 KUHAP, setiap tersangka yang ditahan berhak menghubungi penasihat hukumnya. Berdasarkan konsep Miranda Rule, pengabaian terhadap hak ini dapat berakibat proses penyidikan tidak sah atau batal demi hukum.
Mengenai upaya intimidasi yang dialami warga yang menolak relokasi, hal ini masih terus berlanjut. Peristiwa terbaru dialami seorang warga yang menghadapi tindakan hukum karena menolak relokasi, yaitu berupa seorang warga perempuan dilaporkan oleh aparat kepolisian karena mengirimkan pesan WhatsApp yang mengimbau warga Sei Buluh agar jangan gampang menerima sembako gratis.
Tindakan pelaporan tersebut ditandai dengan keluarnya Laporan Penyelidikan Nomor R/LI-16/IX/2023/Intelkam tanggal 25 September 2023 dengan ancaman Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur ancaman pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Selain itu, beberapa orang yang menyalurkan bantuan paket Sembako kepada masyarakat Rempang juga dipanggil kepolisian tanpa alasan yang jelas. Hal itu disinyalir sebagai bagian dari upaya intimidasi dan teror psikologis untuk menakut-nakuti masyarakat yang menyatakan pendapatnya.
Sumber: Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian
(YLBHI, PBHI, Kontras, AJI Indonesia, ICJR, ICW, Kurawal Foundation)