EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pemanasan global membuat aktivitas luar ruangan cukup menantang, khususnya olahraga. Apalagi, tubuh kita hanya punya sedikit toleransi kenaikan panas tubuh. Kenaikan temperatur inti sebanyak 3°C bahkan bisa mengancam nyawa, sekalipun bagi anak muda yang sehat.
Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah lonjakan temperatur tubuh saat kita aktif bergerak di tengah panas. Sejumlah strategi precooling atau pendinginan sebelum beraktivitas bisa membantu. Kebanyakan caranya adalah dengan menenggak minuman sangat dingin (misalnya ice slurry atau bubur es sebelum berolahraga.
Namun, “melatih” badanmu untuk lebih kuat di tengah panas adalah cara terbaik.
Strategi latihan panas begitu penting untuk menjaga daya tahan atlet. Atlet yang menerapkan protokol kesehatan sederhana sebelum berkompetisi di tengah panas rata-rata memiliki performa lebih baik. Mereka juga berisiko lebih kecil membutuhkan perhatian medis karena cedera terkait panas.
Di tengah lingkungan yang memanas, mungkin inilah saatnya bagi kita mempertimbangkan heat training atau latihan panas bagi non-atlet, khususnya orang-orang yang bekerja di luar ruangan.
Latihan aklimasi panas (heat acclimation) memang sering dilakukan oleh atlet. Sebenarnya latihan ini pertama kali dibuat untuk pekerja tambang emas bawah tanah pada 1940-an. Mereka kerap terpapar temperatur lingkungan melebihi 50°C dengan kelembapan hampir 100%.
Bagaimana aklimasi panas bermanfaat
Studi terus mempelajari manfaat aklimasi atau penyesuaian diri kita dengan cuaca panas. Faktanya, teknik ini—yang dikenal sebagai terapi panas atau heat therapy bukan cuma terkait toleransi panas, melainkan juga seputar perbaikan kesehatan kardiovaskular.
Guna meningkatkan toleransi kita terhadap panas, manfaatnya cukup sederhana:
- Terapi panas dapat menurunkan resting body temperature (suhu tubuh saat kita beristirahat), sehingga menyediakan cadangan lebih besar saat suhu inti kita naik sebelum masalah panas terjadi.
- Meningkatkan laju keringat, yang mengoptimalkan potensi kehilangan panas melalui evaporasi, sehingga mengurangi kenaikan suhu tubuh kita.
- Meningkatkan volume plasma kita (bagian cair dalam darah), yang menurunkan tekanan kardiovaskular akibat kenaikan suhu inti, sekaligus memperbesar cadangan plasma guna mengendalikan laju keringat (keringat berasal dari plasma).
Selain tiga faktor di atas, persepsi kenyamanan kita terhadap panas juga dapat membaik. Ada juga manfaat lainnya dari peningkatan toleransi panas, seperti menjaga kandungan garam, metabolisme, dan efek antiperadangan, tapi tiga manfaat di ataslah yang paling penting.
Metode aklimasi panas
Ada perbedaan tipis antara aklimatisasi panas dengan aklimasi panas.
Aklimatisasi berlangsung secara alami untuk waktu yang lebih lama. Sementara itu, aklimasi adalah metode ‘buatan’ atau dilakukan untuk tujuan tertentu dengan waktu yang lebih singkat. Meski sama-sama dapat meningkatkan toleransi panas kita, tapi keduanya tidak sama.
Aklimatisasi panas, dan dalam kasus tertentu, dapat terjadi secara alami kepada orang-orang yang terus terpapar lingkungan panas dan lembap. Namun, bagi mereka yang tinggal di lingkungan kontinental yang lembap (termasuk kawasan terpadat di atas garis paralel 40–seperti New York, sebagian Eropa Tengah, dan Beijing), atau bagi mereka yang terbiasa menggunakan AC di musim panas, aklimatisasi panas alami jarang terjadi. Mereka membutuhkan usaha khusus.
Derajat adaptasi panas juga turut tergantung dengan durasi, intensitas, dan frekuensi paparan panas.
Standar terbaik untuk aklimasi panas biasanya terkait dengan pengendalian kenaikan suhu inti tubuh kita sekitar 1-2°C setidaknya satu jam. Proses ini dilakukan selama minimal lima hari berturut-turut, atau dalam periode dua pekan dengan masa istirahat beberapa hari.
Penyesuaian terbesar akan terjadi dalam hari-hari pertama aklimasi. Setelah itu, aklimasi akan memberikan efek maksimal sekitar dua pekan, lalu tambahan sedikit manfaat setelahnya.
Sayangnya, manfaat aklimasi untuk meningkatkan toleransi panas kita tidak bertahan selamanya.
Sebagian besar manfaat tersebut akan bertahan sekitar sepekan setelah paparan panas terakhir. Setelah itu, sekitar 75% faedahnya akan hilang jika selama tiga pekan kita tidak terpapar panas apapun.
Untungnya, kita bisa mengulang aklimasi panas dan prosesnya akan lebih ringan. Kita pun bisa mencapai “kondisi stabil” aklimasi panas jika terus terpapar cuaca panas setidaknya tiga kali sepekan.
Aklimasi panas di rumah
Kamu masih bisa melakukan aklimasi panas sekalipun tidak memiliki akses ke ruang pemanas atau termistor (seperti pil termometer internal yang dapat masuk ke dalam tubuh) untuk memantau suhu inti tubuh. Yang kamu butuhkan hanyalah bak mandi.
Studi terbaru menyatakan cara efektif (dan praktis) untuk aklimasi parsial tapi berguna adalah berendam di air bersuhu 40°C selama 40 menit setelah berolahraga, dengan intensitas moderat selama 40 menit dalam suhu ruang.
Kuncinya, kita harus berolahraga cukup berat agar suhu tubuh melewati ambang batas keringat. Setelah itu, kita harus segera masuk ke dalam bak mandi.
Menurut penulis studi tersebut: “Mandi air panas hingga ke leher, hingga 40 menit, setelah latihan rutin dalam kondisi beriklim sedang, bisa menjadi aklimasi panas yang praktis dan ekonomis – menghilangkan kebutuhan akan peningkatan beban latihan, akses ke ruang lingkungan atau berpindah ke iklim panas.”
Walau demikian, strategi untuk menghindari paparan panas berlebihan tetap menjadi hal terpenting, terutama bagi mereka yang lebih rentan terhadap cedera terkait panas, termasuk orang lanjut usia dan orang-orang dengan kondisi seperti penyakit jantung dan diabetes.
Namun kini, paparan panas semakin tidak dapat dihindari terutama bagi mereka yang bekerja atau beraktivitas di luar ruangan. Usaha menggabungkan metode aklimasi panas, bersamaan dengan strategi mitigasi yang umum dilakukan — berlindung dari sinar matahari langsung dan menjaga hidrasi — akan membuat tubuh kamu lebih terjaga terhadap cedera terkait panas.
Anthony Bain, Associate Professor, Kinesiology, University of Windsor
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.