EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Separuh masyarakat Indonesia telah melek keuangan, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ini perkembangan yang signifikan dibandingkan satu dekade lalu yang hanya di sekitaran 20% dari populasi. Namun ini bukan berarti kita terbebas dari keputusan-keputusan irasional dalam mengelola keuangan, termasuk ketika berurusan dengan judi online (judol).
Literasi keuangan menjadi argumen populer ketika berbicara soal kecanduan judi. Padahal, studi dari Universitas Hiroshima di Jepang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara literasi keuangan dan ketagihan judi. Artinya, seseorang dengan literasi keuangan yang tinggi pun dapat kehilangan logika dan terjebak dalam perjudian. Ini mengindikasikan bahwa ketagihan judi melibatkan aspek psikologis yang kompleks, yang tidak selalu berkaitan dengan pengetahuan keuangan seseorang.
Studi lainnya dari Kansas State University, Amerika Serikat (AS), menjelaskan bahwa pemain yang terkena bias psikologi menjadi irasional sehingga meningkatkan toleransi risiko. Ini yang menjelaskan kenapa penjudi berani bertaruh besar sampai harus meminjam uang atau menjual aset pribadi.
Lantas, kenapa seorang penjudi percaya bisa menang meskipun sudah tahu pasti kalah?
Bias psikologi dalam judi online
Pertanyaan tersebut menjadi salah satu hal yang sering dieksplorasi di literatur keuangan perilaku–cabang ilmu ekonomi yang mempelajari kaitan antara psikologi dan keputusan keuangan seseorang.
Misalnya saja, sebuah penelitian menunjukkan bahwa penjudi cenderung memilih taruhan berisiko tinggi ketika kalah, atau tetap bertaruh karena pernah menang. Perilaku ini sering disebut sebagai “hot-hand fallacy”, yakni keyakinan bahwa kemenangan akan terjadi dan jika pernah merasakan kemenangan tersebut, keyakinan pun semakin membesar.
“Hot-hand fallacy” ini menjadi salah satu teorema kerangka model bisnis operator judi dengan membiarkan penjudi untuk menang beberapa kali, lalu setelah itu dibuat kalah.
Bias psikologi lainnya adalah “gambler’s fallacy”. Bias ini mendorong pemain untuk tetap bertaruh karena anggapan peluang untuk memenangkan jackpot semakin meningkat setelah kalah berulang kali. Mereka merasa yakin angka/warna/gambar yang dipertaruhkan pasti tetap akan muncul karena belum pernah muncul sebelumnya.
Operator judol juga menggunakan “illusion of control” atau ilusi bahwa penjudi memiliki kendali permainan agar terus bertaruh. Misalnya, mereka membiarkan pemilik akun judi baru meraih kemenangan di awal untuk merangsang lebih banyak taruhan.
Akibatnya, banyak penjudi merasa tahu resep untuk menang judol, yaitu dengan kerap membuat akun baru dan mengharapkan kemenangan awal pada setiap akunnya. Para penjudi ini tak menyadari bahwa mereka telah masuk perangkap operator dan berisiko mengalami kerugian besar.
Singkatnya, manipulasi bias psikologi yang dilakukan operator tidak hanya meniadakan peranan literasi keuangan, tetapi juga meningkatkan selera risiko.
Baca juga: Cara Menghilangkan ‘Fomo’ dan Mendapatkan ‘Joy of Missing Out’
Penelitian menunjukkan bagaimana bias psikologi tersebut memengaruhi gairah bertaruh yang berlebihan (“obsessive passion”), yang menyebabkan pada kecanduan berjudi. Dampaknya termasuk kelesuan dan kurangnya konsentrasi dalam tugas sehari-hari, serta berimbas pada kesehatan mental. Ini juga yang menjelaskan kenapa kecanduan bisa mengarah pada tindakan kriminal seperti kasus pembunuhan atau penipuan.
Peranan regulasi
Tindakan manipulatif menggunakan bias psikologi oleh operator judi sebenarnya diawasi dan terkendali untuk negara-negara yang memiliki kerangka regulasi judi.
Di negara-negara tersebut, ada kewajiban dari operator judi untuk transparan dan terbuka mengenai peluang menang dan kalah, termasuk secara implisit mengatur permasalahan manipulasi melalui psikologi. Tujuannya sesederhana untuk melindungi para penjudi dari potensi penipuan dan kecanduan judi.
Di negara-negara yang memiliki regulasi judi, operator judi juga tidak bebas melakukan promosi. Misalnya saja di Inggris, iklan judi memiliki jam tayang di atas jam 9 malam dan mengikuti kaidah “bermain dengan tanggung jawab”. Bahkan, pemerintah Inggris tidak mengizinkan tokoh publik atau influencer untuk menjadi model iklan judi.
Dengan adanya regulasi, tindakan manipulatif bisa dengan cepat diatasi dan dihukum. Pemerintah Filipina, misalnya, dengan cepat menutup situs judol e-sabong karena terindikasi melakukan penipuan dan memantik kecanduan. Di Kamboja, pemerintah menutup 231, judol ilegal yang bukan hanya terindikasi penipuan, tetapi juga perdagangan manusia.
Di negara yang melarang judi seperti Indonesia, situasinya sangat berbeda. Operator judi yang masuk secara ilegal dapat dengan bebas melakukan manipulasi dan memanfaatkan bias psikologi untuk menjerat pemain hingga menyebabkan kecanduan. Bahkan, kebanyakan model iklan judol justru influencer. Ini yang menjelaskan kerugian masyarakat Indonesia akibat judol mencapai Rp300 triliun.
Peran negara dan norma sosial dari perspektif keuangan perilaku
Negara-negara yang memiliki regulasi sebenarnya menggunakan pendekatan keuangan perilaku untuk mengatasi masalah ketagihan judol. Misalnya saja, Inggris membuat regulasi dengan meningkatkan transparansi dalam probabilitas kemenangan, memberlakukan batasan waktu berjudi dan jumlah uang yang dimainkan, serta mengurangi fitur yang mendorong perilaku irasional pemain.
Perlu dicatat, meregulasi judi belum tentu menjadi pilihan bijak. Sebagai contoh, Australia menerima pendapatan sebesar AU$6 miliar (sekitar Rp60 triliun) dari bisnis judi pada tahun 2020, tetapi penduduknya mengalami kerugian hingga AU$25 miliar akibat berjudi. Selain itu, muncul masalah lain seperti perdagangan manusia, seperti yang terjadi di Myanmar dan Kamboja, hingga masalah pencucian uang. Oleh karena itu, regulasi judi tidak dapat dianggap sebagai solusi yang tepat bagi Indonesia dalam mengatasi pandemi kecanduan judi.
Tentu saja, di negara tanpa regulasi judi seperti Indonesia, pengawasan terhadap judol ilegal menjadi sulit–tetapi bukan berarti tidak mungkin. Tindakan proaktif dengan memblokir masuknya judol mungkin satu hal yang perlu diapresiasi. Tetapi, pemerintah juga harus bisa menggunakan pendekatan keuangan perilaku untuk melakukan tindakan preventif terhadap masuknya situs-situs judol ke Indonesia.
Dari perspektif keuangan perilaku, upaya untuk mengatasi perilaku irasional dapat difokuskan pada edukasi. Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang trik manipulatif yang digunakan oleh operator judi untuk menyebabkan kecanduan.
Studi dari University of Adelaide, Australia, menunjukan bagaimana program edukasi di masyarakat bisa menjadi intervensi dini menghalangi kecanduan judi. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengadakan kampanye pelayanan masyarakat yang menyoroti bagaimana operator judi memanipulasi pemain dengan memanfaatkan bias psikologi.
Selain itu, peranan tekanan sosial dari kelompok masyarakat terbukti efektif mencegah perjudian daring. Studi dari Auckland University of Technology, Selandia Baru, menunjukkan bagaimana norma sosial dan agama, yang menganggap judi bukanlah sebuah permainan tetapi aktivitas yang merugikan diri sendiri dan masyarakat, dapat memberi tekanan ke penjudi. Secara praktis, langkah-langkah seperti melaporkan perilaku judi dan memberikan bantuan kepada individu yang terancam kecanduan adalah contoh nyata dari bagaimana kita bisa membentuk norma sosial.
Studi empiris lainnya menunjukkan bahwa norma sosial dapat membantu seseorang tetap rasional dan menghindari perjudian. Ini karena ketika tindakan perjudian tidak lagi sesuai dengan nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, individu cenderung menghindarinya.
Sebagai contoh, jika masyarakat percaya bahwa judi dapat merusak keluarga seperti narkoba, maka orang-orang akan menjadi takut untuk mencobanya. Dengan demikian, menciptakan sistem norma sosial yang kuat menjadi kunci untuk mencegah kecanduan judi dari sisi masyarakat.
Di Indonesia, kekurangan regulasi dan penegakan hukum atas judi memberi operator judol keleluasaan dalam menerapkan strategi yang memanipulasi bias perilaku. Namun, literasi keuangan bukan lah solusi dalam perihal kecanduan judi dan regulasi bisa jadi bukan opsi yang tepat. Di negara yang tradisi sosial dan nilai-nilai keagamaannya masih kuat seperti Indonesia, kita dapat mengatasi bias psikologi yang memengaruhi pemain dan mencegah kecanduan judi dengan pendidikan dan norma.
Penulis: Rayenda Khresna Brahmana, Lecturer in School of Economics, Finance, and Accounting, Coventry University, Coventry University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.