EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pemilu Indonesia selalu menghadirkan beragam fenomena menarik, mulai dari pencarian format koalisi yang dinamis, pengutamaan kepentingan elit, perubahan pola interaksi antar aktor yang terlihat kontras selama dan sesudah pemilu, hingga tren dinasti politik.
Deretan fenomena itu telah membuat Pemilu tampak hanya sebagai wujud demokrasi prosedural dengan suguhan perebutan kekuasaan. Padahal, jika diskursus publik dibawa ke tingkat lebih dalam, pemilu seharusnya menjadi tonggak penting bagi pendalaman kualitas demokrasi Indonesia.
Dalam hal ini, sudah waktunya kita para pemilih yang harus menjadi lebih kritis dalam memilih kandidat dan “membaca” maksud-maksud tersirat para elit politik. Jangan sampai kita justru terjebak dalam politik pecah belah.
Pemilu dan demokratisasi
Para peneliti telah meyakini bahwa pemilu secara berkala dapat menopang demokratisasi. Sebab, perhelatan pemilu turut mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, keterbukaan, dan persamaan. Adanya pemilu juga telah menyadarkan masyarakat terhadap hak-hak politiknya.
Namun, sebagian ahli justru memandang pesimis relasi pemilu dan demokratisasi. Mereka berargumen pemilu bukan menjadi pembuka keran demokratisasi, tetapi malah menjadi instrumen rezim untuk memperkuat kekuasaannya melalui mobilisasi perangkat negara guna memenuhi kepentingan elektoralnya.
Fenomena dinasti politik yang sedang hangat menjadi perbincangan publik belakangan ini merupakan contoh bagaimana rezim penguasa menggunakan prosedur pemilu untuk melanggengkan kekuasaannya.
Di negara demokrasi mapan sekalipun, seperti Amerika Serikat (AS), pemilu bahkan memfasilitasi munculnya politikus-politikus populis dan menciptakan polarisasi pemilih dengan sentimen partisan ekstrem. Dialog konstruktif untuk mengatasi persoalan negara bersama-sama pun kerap menemui jalan buntu karena masyarakat lebih mementingkan afiliasi ideologi politiknya. Konsekuensinya, kualitas demokrasi mengalami kemunduran.
Ini semua bisa terjadi karena pemilu sebagai pendorong demokratisasi tentunya tidak berdiri sendiri. Terdapat variabel-variabel lain untuk menyokongnya, termasuk soliditas oposisi, koherensi masyarakat sipil, media massa yang kritis dan independen, budaya masyarakat egaliter, serta peran aktif kaum intelektual dalam mengoreksi kebijakan.
Kombinasi komponen-komponen tersebut tentunya menjadi kekuatan pendorong demokratisasi sekaligus penguatan demokrasi.
Demokrasi elektoral Indonesia
Transformasi sistem politik Indonesia ke sistem demokrasi telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan kompetitif. Pada level akar rumput, masyarakat jadi memiliki banyak pilihan calon pemimpin. Mereka juga bisa lebih aktif menuntut kepedulian dan tanggung jawab politikus yang terpilih dalam pemilu.
Dengan kata lain, sistem demokrasi yang salah satunya diwujudkan dalam pemilu berkala sebenarnya dimaksudkan untuk membuat masyarakat lebih berdaulat dalam menentukan figur yang mereka anggap kompeten untuk memperbaiki situasi nasional.
Pada tataran elit, sistem demokrasi juga membuka peluang hadirnya elit-elit politik baru di berbagai level kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebar ke spektrum yang lebih luas, tidak hanya terpusat pada satu orang sebagai patron utamanya.
Sayangnya, demokrasi elektoral Indonesia juga menghasilkan kondisi paradoks. Pemilu yang membawa semangat kompetisi, keterbukaan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya berdampak pada tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi).
Praktik politik kekerabatan yang kemudian membentuk dinasti justru tumbuh dengan subur. Politik uang sebagai benih korupsi juga menjadi intens dalam setiap perhelatan pemilu.
Hal yang lebih disayangkan, partai politik yang seharusnya menjadi institusi penggerak demokrasi kini justru turut berkontribusi pada anomali tersebut. Partai terjebak dalam budaya politik feodalisme, termasuk dalam dinasti politik, sehingga gagal menumbuhkan semangat egalitarian dalam tata kelola organisasinya.
Pemilih sebagai penentu masa depan demokrasi
Terlepas dari segala kekurangannya, demokrasi Indonesia tentunya masih lebih baik dibandingkan negara-negara demokrasi baru yang mengalami pembalikan ke rezim otoriter. Konsolidasi demokrasi merupakan proses panjang. Memperkuat kesepakatan bersama terkait demokrasi sebagai aturan main politik kita menjadi hal mendesak.
Mengingat demokrasi menempatkan rakyat sebagai kerangka utama konseptualnya, kesadaran pemilih menjadi titik awal untuk mendorong penguatan demokrasi kita.
Mengharapkan elit politik tentunya lebih sulit karena persilangan kepentingan di antara mereka telah berakibat pada stagnasi dan penurunan kualitas demokrasi.
Sementara itu, partai politik memang memiliki posisi krusial dalam demokrasi Indonesia. Namun tanpa dukungan pemilih, jalan parpol menuju kekuasaan juga akan menghadapi hambatan serius berupa rendahnya legitimasi.
Pemilu 2024 menghadirkan komposisi pemilih muda yang jauh lebih besar dibandingkan pemilih usia tua.
Pergeseran generasi pemilih ini akan berdampak pada perubahan pola perilaku pemilih. Pemilih muda tentunya lebih rasional dalam memutuskan pilihan politik mengingat mereka menikmati pendidikan lebih tinggi, kecakapan memanfaatkan teknologi, akses informasi lebih beragam, serta berpartisipasi dalam perdebatan publik seputar wacana politik dan kebijakan di media sosial.
Namun, publik harus tetap menjadi pemilih rasional, yang menempatkan tawaran program kebijakan maupun rekam jejak kandidat sebagai pertimbangan utamanya. Pemilih perlu aktif menagih rencana aksi gagasan kebijakan kandidat sekaligus menilai apakah programnya logis dan realistis atau hanya retorika populis.
Kehadiran pemilih kritis merupakan indikator penting untuk peningkatan kualitas demokrasi. Pemilih menjadi filter agar kandidat terpilih merupakan figur dengan kapasitas terbaik dan integritas tinggi.
Singkatnya, pemilih memiliki kuasa dalam menentukan konfigurasi kekuatan politik melalui pemilu.
Tiga agensi untuk menggerakkan pemilih
Ada tiga agensi yang berperan penting merealisasikan hal ini.
Pertama adalah kelompok akademisi yang harus aktif merangsang kesadaran kepada pemilih melalui pemikiran dan kerja intelektualnya. Kegiatan pengabdian masyarakat merupakan salah satu manifestasinya.
Kedua, media massa harus menjalankan fungsinya secara independen dan menyajikan informasi yang tajam, akurat, dan berimbang sehingga bisa menjadi referensi yang efektif bagi pemilih sebelum menetapkan pilihan.
Ketiga, organisasi masyarakat sipil perlu mengkonsolidasikan kekuatannya sekaligus mengundang partisipasi aktif masyarakat guna mengawasi pemilu adil, jujur, terbuka.
Organisasi masyarakat sipil menjadi penyeimbang pemerintah agar kekuasaan tidak berkembang menjadi otoriter. Sejarah mencatat bahwa koalisi masyarakat sipil berperan besar dalam mendorong agenda reformasi Indonesia.
Ketiga agensi tersebut perlu aktif berkolaborasi membangun pengetahuan pemilih tentang realitas politik Indonesia.
Pemilih perlu menyadari bagaimana elit memobilisasi sentimen pemilih guna meningkatkan daya tawar untuk bisa tetap memperoleh kekuasaan. Pengetahuan akan kondisi ini penting agar pemilih tidak terjerumus ke dalam politik yang bertujuan memecah belah mereka sendiri.
Pemilih bukanlah objek pertarungan elit, tetapi kekuatan penentu pendalaman kualitas demokrasi kita–kebebasan masyarakat sipil, kepastian hukum, keadilan ekonomi, dan good government. Pada pemilu 2024, tentunya kesempatan pemilih untuk mendorong agenda-agenda tersebut terbuka lebar.
Penulis: Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.