EDISI.CO, BATAM– Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia temukan Tambak Udang yang beroperasi di kawasan Hutan Lindung (HL)“ Tanjung Korok, Pulau Setokok, Kota Batam. Kawasan ini tidak jauh dari lokasi penanaman Mangrove yang dilakukan Presiden Jokowi. Tambak Udang di Hutan Lindung ini diduga menghilangkan Mangrove di lokasi tersebut.
NGO Akar Bhumi Indonesia pada tanggal 7 Oktober 2023 dan 17 Oktober 2023 melakukan verifikasi adanya dugaan tambak udang ilegal di Hutan Lindung Tanjung Korok, Pulau Setokok, Kota Batam. Pulau Setokok adalah salah satu pulau yang masuk dalam wilayah administrasi Kota Batam, terhubung oleh jembatan Raja Ali Haji dengan Pulau Nipah dan jembatan Sultan Zainal Abidin yang menjadi penyambung ke pulau Setokok.
Adapun hasil verifikasi NGO Akar Bhumi Indonesia, ditemukan ada sembilan pemilik tambak udang yang beroperasi di HL Tanjung Korok, Pulau Setokok Batam. Satu pemilik rata-rata memiliki empat hingga 10 tambak. HL Tanjung Korok berada tepat di ujung Selatan pulau, yang juga terdapat ± sembilan KK. Diduga telah terjadi perubahan tutupan mangrove menjadi tambak baru.
“Perkiraan kami, satu ha lebih kawasan mangrove telah berubah menjadi lahan tambak. Dari pengamatan kasat mata, nampak bahwa tambak tambahan baru saja selesai pembuatan. Satu kotak tambak ±1.600 m2, dapat menghasilkan hingga 10 ton setiap empat bulan,” kata Founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan dalam keterangan yang diterima pada Selasa (24/10/2023).
Hasil penelusuran lanjutan, jalan akses menuju ke tambak yang sekaligus jalan bagi permukiman di sekitar menjadi rusak dan menganggu aktivitas masyarakat penguna jalan. Di lokasi tersebut, sudah ada pemasangan papan nama yang menerangkan bahwa area tersebut merupakan kawasan hutan lindung yang melarang setiap orang mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Terdapat tiga logo institusi yakni BP Batam, KLHK dan Dinas Provinsi Kepri. Kami tidak menemukan papan nama petunjuk pihak pemilik/pengelola tambak-tambak di HL Tanjung Korok.
Adapun efek penimbunan mangrove juga menyebabkan sendimentasi lumpur yang menyebar keperairan hingga sekitar karena terbawa arus air laut. Akibatnya habitat biota laut pun pasti terganggu yang akhirnya berdampak buruk bagi penghasilan nelayan sekitar.
Rusaknya ekosistem pesisir juga telah menyebabkan menurunnya tangkapan nelayan, tepatnya disekitar tambak. Adanya limbah usaha tambak udang juga menganggu mata pencaharian nelayan, mereka mesti melaut lebih jauh karena lokasi tangkapannya telah tercemar.
“Pelaku usaha diduga selain tidak memiliki izin kegiatan usaha serta tidak menjalankan kaidah Cara Budi Daya Ikan Yang Baik (CBIB). CBIB penting dilaksakan oleh pelaku usaha tambak karena dengan penerapan CBIB yang baik dan benar maka akan memberikan jaminan mutu dan keamanan bagi hasil perikanan yang dibudidayakan serta lingkungan hidup sekitar,” kata Hendrik.
Hendrik melanjutkan, HL Tanjung Korok di Pulau Setokok Kota Batam telah lama diokupasi masyarakat, namun perubahan exiting mangrove menjadi tambak udang bukan saja marak di status lahan hutan lindung (hijau) namun juga pada status APL (putih).
Hal ini juga menjadi catatan mengingat tidak ada perizinan untuk tambak udang jika kita mengacu pada RTRW Kota Batam tahun 2021, namun kenyataannya banyak kawasan hutan mangrove maupun mangrove di luar kawasan dirusak untuk memenuhi tingginya permintaan udang baik untuk kebutuhan lokal maupun export. Bisnis udang dapat mengeruk keuntungan namun hal ini luput dari pengawasan pemerintah daerah.
Adapun dugaan pelanggaran hukum atas kondisi tersebut, pihaknya menduga ada pelanggaran terhadap Undang-Undang (UU) No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 27 tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan Peraturan Pemerintah No.5 tahun 2021 tentang perizinan berbasis resiko.
“Sangat di sayangkan, jarak dari lokasi tambak udang yang berada di atas HL Tanjung Koro dengan lokasi penanaman Presiden Jokowi hanya ±1,5km. Kita tidak bisa membiarkan kejahatan lingkungan terus menerus menggerus hutan yang bukan saja memiliki fungsi ekologi yang bisa dirasakan seluruh semesta,” kata Hendrik lagi.
Baca juga: YLBHI akan Pelajari Peristiwa Polisi Bawa Parang Saat Pengukuran Lahan di Rempang
“Kita mesti segera mengembalikan fungsi utama hutan lindung, salah satunya menghentikan okupasi lahan secara ilegal. Pemerintah mesti segera menyelesaikan tapal batas hutan dan kasus tenurial serta membebaskan hutan negara dari hal-hal yang menganggu daya dukung hutan bagi lingkungan Kota Batam. Jika hal ini tidak segera ditangani oleh pemerintah maka akan menjadi pemicu kasus sosial seperti di Pulau Rempang, yakni ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan hutan.”
Temuan ini sudah dilaporkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri, melalui Kepala KPHL Batam, Lamhot Sinaga. Hendrik mengatakan KPHL Batam sebelumnya pernah memberikan surat peringatan penghentian kegiatan tersebut.
Ketua NGO Akar Bhumi Indonesia, Soni Riyanto, dalam keterangan tersebut, mengatakan pihaknya telah melaporkan kasus lingkungan menyangkut hutan lindung yang diserobot untuk dijadikan pemukiman. Hingga kini, masih belum banyak perkembangan. Seperti kasus HL Sei Beduk, satu hingga tiga tahun tidak ada perkembangan yang mampu menghentikan okupasi.
“Dan sekarang lahan yang jelas-jelas berada di Hutan Lindung dan menimbun area RHL Mangrove ABI dilokasi ini seluas ±2 Ha dibiarkan semakin banyak yang membangun rumah,” kata Soni.
“Pada tanggal 16 Juli 2021, Gakkum KLHK juga memverifikasi kasus okupasi masyarakat di Hutan Lindung Duriangkang yang merupakan DTA Dam terbesar di Kota Batam. Jika penangganan kasus lingkungan lambat dieksekusi maka justru menambah keberanian pihak-pihak lain untuk semakin banyak melakukannya, terkesan adanya pembiaran dari pihak terkait.”