EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Saya pertama kali mengunjungi pulau Rempang pada musim Panas 2022. Saat itu, saya disambut ladang subur yang ditumbuhi pohon kelapa dan pisang, desa nelayan dengan rumah panggung yang menjorok ke air, dan perahu yang membawa orang melintasi puluhan pulau di kepulauan Riau.
Saya pergi ke sana dengan perjalanan feri yang menyenangkan selama satu jam dari Singapura yang ramai dan penuh kaca-kaca gedung. Persinggahan saya di Rempang terasa seperti dunia lain.
Saya bersama kolega Indonesia (seorang pengacara lingkungan dan pegiat komunitas adat Melayu) tiba di Rempang dari Batam, pusat ekonomi provinsi Kepulauan Riau: zona khusus manufaktur, perdagangan dan logistik. Kami berangkat dari Batam menuju Rempang dengan melintasi salah satu dari enam jembatan besi yang menghubungkan pulau Batam, Rempang dan Galang. Jaringan jembatan inilah yang menjadikan pulau-pulau tersebut menjadi kawasan ekonomi yang kini disebut kawasan Barelang.
Penelitian saya yang sedang berlangsung berusaha menyelidiki bagaimana upaya internasional untuk energi ramah lingkungan “mengorbankan” negara-negara berkembang. Transisi ke energi ramah lingkungan, bukannya menciptakan kesepakatan baru yang lebih bersih, justru memperkuat kesenjangan dan hierarki yang mengakar.
Saya tertarik dengan Rempang ketika melihat berita yang menggembar-gemborkan revolusi energi terbarukan. Perusahaan-perusahaan dari Singapura, Portugal, dan sekitarnya menandatangani perjanjian pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terapung (PLTS) yang luas di waduk lokal di wilayah Batam. Rencananya, energi bersih yang dihasilkan akan diangkut dari pulau Batam, Bulan, dan Rempang di Indonesia bagian barat—yang diterangi matahari—ke Singapura yang padat energi melalui kabel bawah laut.
Namun, saat mencapai pulau-pulau tersebut, dan mengunjungi lokasi yang disebutkan dalam berita, saya tidak melihat tanda-tanda aktivitas energi ramah lingkungan. Airnya tenang. Tidak ada pembangkit listrik tenaga surya yang terlihat. Saya mengangkat bahu, bertemu teman-teman, makan makanan laut segar di restoran kecil Kelong yang setengahnya berada di darat dan setengah lagi di laut, kemudian kembali ke Singapura dengan feri.
‘Perampasan tanah yang didukung negara’
Saat saya kembali ke Rempang setahun kemudian, situasinya sungguh berbeda. Suasana di sana mencekam. Jalanan disesaki polisi bersenjata. Truk-truk militer berukuran besar bergerak dengan menakutkan di atas aspal, memantau situasi.
Penduduk desa berdiri berkelompok. Mereka cemas dan meyakini informasi dari pesan WhatsApp dan informasi dari mulut ke mulut tentang apa yang tampaknya seperti perampasan tanah yang didukung negara.
Masyarakat mengadakan protes karena 16 desa dan 7.500 penduduk Rempang menghadapi ancaman penggusuran, seiring cepatnya rencana untuk mengubah rumah mereka menjadi pusat transisi hijau global. Pemerintah Indonesia dan konsorsium bisnis yang didukung Cina ingin memindahkan seluruh warga Rempang ke pulau lain. Ruang hidup mereka akan menjadi pusat manufaktur panel surya yang besar, ladang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan proyek “Rempang Ecocity”.
Video yang direkam oleh warga dari lokasi protes menunjukkan aparat militer dan polisi bersenjata bentrok dengan petani dan nelayan di Rempang. Video-video tersebut, beberapa di antaranya telah diunggah ke media sosial, menunjukkan orang-orang terlempar ke tanah, berdarah-darah, dan tampaknya dianiaya oleh pasukan negara.
Ada banyak penangkapan. Teman dan kenalan kerap memberi tahu saya bahwa polisi dan otoritas pemerintah memanggil orang yang diduga pengunjuk rasa, memeriksa ponsel mereka untuk mencari bukti yang memberatkan. Mereka juga menggeledah rumah, kehidupan kerja, dan urusan perpajakan mereka.
Warga memahami dengan jelas bahwa ini tak lebih dari “pelecehan” dan “tekanan” untuk menyerahkan tanah mereka dan menarik diri dari perjuangan.
Selain konfrontasi besar dan terpublikasi, warga Rempang juga menolak perambahan yang dilakukan setiap hari terkait proyek Ecocity. Dalam perlawanan spontan di desa-desa yang terdampak, perempuan—termasuk ibu-ibu dan nenek-nenek bercadar—memblokir jalan untuk mencegah pejabat pemerintah memasuki desa untuk mengukur tanah mereka.
Video lainya menunjukkan mereka meratap ketika polisi bersenjata mendekat. Di tempat lain, gadis-gadis muda dan wanita tua terlihat dalam keadaan setengah sadar, dibawa ke rumah sakit setelah terkena gas air mata.
Bagaimana kondisi di Rempang bisa berubah cepat? Sejak April 2023, tersiar kabar bahwa seorang pengusaha kaya dari Jakarta akan membangun “kota kecil” di Rempang. Pengusaha ini dilaporkan menghasilkan uang dan reputasinya melalui bisnis yang dijalankan atas nama militer Indonesia, sebelum beralih ke perbankan dan real estat.
Pada Agustus, warga yang memiliki informasi lebih baik menyimpulkan bahwa proyek di Rempang tersebut adalah kolaborasi antara Artha Graha Group milik Tomy Winata, dan “produsen kaca” asal Cina. Sebulan kemudian, Winata sendiri diwawancarai media untuk membicarakan rencananya untuk proyek Rempang Ecocity. Pelaksanaan proyek ini–yang disambut antusias oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam, pemerintah Kepulauan Riau, dan yang terpenting, pemerintah pusat di Jakarta—-semakin dekat.
Proyek Rempang Ecocity akan menggusur 16 desa di pulau Rempang dan akan memakan lahan seluas 17 ribu hektar (satu hektar persegi kira-kira setara dengan satu lapangan rugbi). Ketika mendiskusikan angka-angka ini di antara mereka sendiri, warga bertanya kepada saya: “Mengapa mereka membutuhkan begitu banyak lahan?” dan “apa yang akan mereka lakukan dengan itu?”
Seorang nelayan tua dan berwatak lembut yang saya temui pada bulan Agustus, yang sedang mencoba mengorganisasi perlawanan terhadap investasi misterius sokongan Jakarta bersama Cina, mengatakan bahwa dia resah dengan penggusuran masyarakat:
Orang-orang di sini punya sejarah. Seluruh cerita mereka ada di area ini. Mereka mencintai tanah ini. Mereka tinggal di sini. Kalian dapat membuat proyek di sini, silakan. tapi bangunlah di area kosong. Apa pun yang kalian lakukan, jangan ganggu kami. Pertahankan kami di sini, berikan pekerjaan kepada anak-anak kami… Kalau orang bertanya kepada saya, di mana desamu, saya jawab Bapke (nama samaran). Nanti, apa yang akan saya katakan? Identitas kami akan hilang.
Tetesan informasi yang berujung kekerasan
Saat pertama kali mengetahui proyek Rempang, warga mempetisi berbagai lapisan pemerintahan, menggelar pertemuan, bahkan pergi ke Jakarta untuk mencoba menemui pejabat. Namun, saat akhirnya merasa tidak direspons, orang-orang pun mulai berpikir untuk turun ke jalan.
Pada pertengahan Agustus, kelompok-kelompok tersebut bertemu di kafe-kafe lokal dan di rumah para pemimpin masyarakat. Mereka bertekad untuk tidak menyerahkan tanah mereka. Salah satu anggota kelompok yang berkumpul di Batam mengatakan kepada saya, “ada pertemuan pemuda Melayu untuk merencanakan protes di [jembatan] Barelang, dan di kantor [Wali Kota Batam]. Kami di sini untuk mendiskusikan situasi ini. Kami akan membahasnya. Kami akan mengadakan protes beberapa hari lagi”.
Pada pekan terakhir Agustus, terjadi demonstrasi yang diorganisasi oleh masyarakat di berbagai lokasi di Rempang dan Batam. Unjuk rasa oleh organisasi masyarakat sipil juga berlangsung di Jakarta. Tak lama kemudian, kontak saya membicarakan tentang “bentrokan antara masyarakat dan BP Batam”. Demonstrasi yang semakin besar kemudian bermunculan, tidak hanya melibatkan warga Rempang, tetapi juga etnis Melayu dari pulau-pulau sekitarnya. Pada protes awal ini, pasukan polisi hadir, terjadi ketegangan, tapi tidak ada kekerasan.
Meski dihujani protes, pihak berwenang hanya menganggap ketidakpuasan masyarakat sebagai “miskomunikasi”. Sebagaimana diberitakan di media, warga yang semakin marah mulai melakukan kekerasan, menggunakan batu dan botol kaca. Ini adalah tindakan putus asa dari masyarakat yang semakin putus asa menghadapi kekuatan negara.
Media lokal dan media internasional, yang awalnya mengabaikan isu Rempang, akhirnya meliputnya di tengah peningkatan “kerusuhan” di Rempang.
Seorang pemuda Melayu mengirim pesan kepada saya melalui Whatsapp baru-baru ini, mengatakan: “Saya dipanggil ke kantor polisi untuk diinterogasi… Saya menjalani proses penyelidikan (berjam-jam) terkait kasus di (lokasi X). Ada bentrokan antar masyarakat dan pihak berwenang yang mengakibatkan delapan orang dikirim ke penjara.”
Rempang Ecocity dan pabrik panel surya raksasa
Persiapan pembangunan Rempang berjalan pesat. Pada awal 2004, PT Makmur Elok Graha (PT MEG), bagian dari Artha Graha Group, mendapatkan izin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Batam untuk mengembangkan Rempang. Pemahaman saat itu adalah untuk zona pariwisata seluas lima ribu hektare. Dalam rencana ini, desa-desa yang juga masih dipertahankan.
Hingga 2023, warga dengan PT MEG tidak menyepakati apapun. Sementara, sebelum 2023, perwakilan PT MEG hanya mengunjungi rumah-rumah warga terkemuka di Rempang dan menyatakan niat perusahaan untuk mensurvei lahan tersebut. Menurut salah satu pengusaha lokal dan tokoh masyarakat, perusahaan tidak memberitahukan tentang apa yang ingin mereka bangun. Namun, di desa tetangga, beberapa orang mengatakan bahwa mereka diberi tahu tentang survei pabrik kaca. Di desa lainnya, ada pembicaraan tentang pembangunan hotel.
Kini, pada Oktober 2023, rencana bisnis dan pemerintah resmi menunjukkan perkembangan proyek jauh lebih besar dari rencana tahun 2004. “Ecocity Rempang” akan menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata, seperti yang dibayangkan dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2023. Pengembangnya adalah perusahaan patungan BP Batam dengan PT MEG. Proyek ini bertujuan untuk menarik investasi sekitar Rp 381 triliun pada 2080, dan menciptakan lapangan kerja bagi 30 ribu orang.
Yang terpenting, terdapat investor internasional yang besar: produsen kaca dan panel surya terbesar di dunia, Xinyi Glass dari Cina.
“Pabrik kaca” yang didanai Xinyi di Rempang ini bukan sembarang proyek. Xinyi yang dilaporkan telah menjanjikan US$11,6 miliar(Rp174 triliun) untuk pabrik tersebut selama beberapa dekade. Sebagai imbalannya, mereka dijanjikan lahan di Rempang.
Baca juga: Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang Ajukan Praperadilan untuk 30 Tahanan Kasus Rempang
Dalam penelitian saya sebelumnya saya menyebut zona kepentingan ekonomi khusus serupa di India “seperti hydra” (monster berbentuk ular berkepala sembilan dari mitologi Yunani). Pasalnya, zona-zona ini kerap berubah bentuk, nama, dan tujuan sesuai dengan apa yang menguntungkan pada suatu waktu.
Saat ini, hal yang menguntungkan bagi Indonesia dan dunia adalah transisi menuju energi ramah lingkungan. Oleh karena itu, hal yang menarik dari proposal Rempang Ecocity adalah fasilitas manufaktur panel surya raksasa yang dapat memasok panel surya ke dunia dalam waktu dekat.
Dalam visi Ecocity, akan ada beberapa zona untuk industri, tujuan komersial dan perumahan, pariwisata, pembangkit listrik tenaga surya, serta satwa liar dan alam. Rempang saat ini menghidupi para petani, nelayan, pengolah dan eksportir rumput laut, pedagang dan pemilik toko, kelong hasil laut, sepuluh sekolah dasar, tiga sekolah menengah pertama, satu sekolah menengah atas, rumah sakit, wisma wisata dan banyak lagi. Namun, nampaknya tidak ada tempat bagi komunitas ini dalam visi futuristik Rempang “hijau”.
Proyek bernilai strategis
Usulan fasilitas manufaktur panel surya dan kawasan ekonomi Rempang mungkin merupakan pertanda ledakan produksi global yang diimpikan oleh pemerintah Indonesia dan negara-negara mitra seperti Cina di kawasan ini. Visi ekonomi tersebut bertujuan untuk memanfaatkan tenaga kerja muda dan murah di Indonesia, lahan dan sumber daya alamnya seperti silika, nikel dan kobalt, dan kemauan Indonesia untuk aturan yang fleksibel.
Fleksibilitas inilah yang membuat pemerintah memasukkan Proyek Rempang Ecocity sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Status tersebut memungkinkan proyek Rempang melewati penilaian dampak sosial dan lingkungan, dan memperoleh lahan dengan cepat.
Kontak-kontak saya di Rempang tidak mengabaikan nilai strategis proyek ini. Salah satunya berspekulasi bahwa rencana pemerintah akan membangun ibu kota baru di Kalimantan bisa menjadi motif untuk mendekatkan hubungan Indonesia dengan Cina. Mereka bertanya-tanya apakah uang untuk ibu kota baru Nusantara akan datang dari Cina, dan apakah itu sebabnya tanah mereka di Rempang “dihibahkan” kepada Cina.
Kontak saya lainnya berkata: “Apakah mereka bertanya kepada kami? Tidak. Mereka hanya menghargai investasi. Bukan manusia.” Ada pula yang mengaitkannya dengan Belt and Road Initiative atau Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina, yang telah banyak berinvestasi pada infrastruktur Indonesia.
Tidak jauh dari Rempang terdapat salah satu investasi tersebut: rangkaian jembatan yang akan menghubungkan dua pulau terbesar di provinsi Riau: proyek jembatan Batam-Bintan yang tersebar sepanjang tujuh kilometer. Proyek ini didanai oleh Asia Infrastructure Investment Bank yang dipimpin Cina. Jembatan ini akan semakin memudahkan proses manufaktur di pulau-pulau terbarat di Indonesia dan membawa produk ini melalui jalan darat dan laut ke Singapura dan seluruh dunia.
Proyek Rempang mungkin juga merupakan bagian dari perang dagang yang akan terjadi antara Cina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada 2022, Cina memproduksi tiga perempat panel surya dunia dan memproduksi 97% panel surya wafer silikon yang ada di dalam panel. Sejauh ini, sebagian besar produksi komponen tersebut berlangsung di antara pedalaman Mongolia dan Xinjiang, Cina. Proses produksi ini memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk terhadap kelompok minoritas seperti Uighur.
Baca juga: Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang Bangun Posko Kemanusiaan di Pantai Kalat
Kekhawatiran seputar kerja paksa dan kamp “pendidikan ulang” Uighur, telah memicu sanksi dari barat. Hal ini terjadi karena kebijakan proteksionis terhadap munculnya industri tenaga surya di Uni Eropa dan AS. Artinya, untuk mendorong manufaktur energi terbarukan nasional dan menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan yang sangat dibutuhkan, pemerintah negara-negara barat siap memberikan subsidi besar kepada produsen, sambil mengenakan pajak gede terhadap produk impor dari negara pesaing seperti Cina.
Pergolakan perdagangan internasional ini menimbulkan pertanyaan: apakah produksi massal dari industri tenaga surya di negara dunia ketiga memungkinkan Cina untuk mengabaikan sanksi dan mempertahankan dominasinya dalam manufaktur panel surya global?
Pasir: sumber daya penting dalam upaya energi terbarukan
Kita tahu bahwa transisi ramah lingkungan akan membutuhkan mineral penting seperti kobalt, litium, dan nikel untuk memproduksi kendaraan listrik, sel surya, dan turbin angin. Sebagai negara dengan salah satu deposit nikel dan kobalt terbesar di dunia, Indonesia sangat menarik bagi negara dan perusahaan yang terlibat dalam upaya energi terbarukan.
Rempang tidak terkenal dengan kandungan mineral atau logam kritisnya. Namun, selain lokasinya yang strategis di Laut Cina Selatan, menghadap Singapura, Rempang mempunyai sumber daya penting dalam transisi energi terbarukan: pasir.
Rempang dan pulau-pulau sekitarnya kaya akan pasir silika dan kuarsa yang merupakan bahan dasar pembuatan kaca dan panel surya.
Penambangan pasir secara massal dianggap sebagai krisis lingkungan global yang sering kali tidak dilaporkan. Di seluruh dunia, dorongan terhadap infrastruktur dan urbanisasi didasarkan pada pasokan semen dan beton dalam jumlah besar, yang terbuat dari pasir. Pada tahun 2060, dunia diperkirakan membutuhkan 4,6 miliar ton pasir . Kebutuhan akan panel surya adalah bagian dari serbuan pasir global.
Indonesia adalah jantung perdagangan pasir laut. Selama bertahun-tahun, mereka telah memasok pasir ke Singapura. Angka resmi menunjukkan bahwa antara 1997 – 2002 saja, Singapura mengimpor 150 juta ton pasir dari Indonesia. Sementara, selama 1999 – 2019, Singapura telah mengirimkan 517 juta ton pasir dari negara tetangga seperti Malaysia, Indonesia dan Kamboja.
Kepulauan Riau terkena dampak langsung perdagangan pasir laut. Beberapa pulaunya menyusut secara signifikan akibat ekspor pasir legal dan ilegal ke Singapura. Sekitar seperempat luas Singapura, termasuk ruang ikonik seperti Marina Bay Sands dan kawasan pantai dan resor mewah di Singapura Sentosa dibangun di atas tanah reklamasi dengan pasir impor.
Yang dirugikan dalam proses pembuatan lahan adalah pekerja perikanan, dan pihak lain yang bergantung pada lahan pesisir dan perairan, termasuk kontak saya di Kepulauan Riau.
Pekerja perikanan yang saya temui berbicara tentang perairan yang berlumpur, hilangnya pulau-pulau, dan berkurangnya jumlah ikan serta rumput laut secara drastis pada puncak perdagangan pasir.
Pada 2003, karena menghadapi kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki lagi, termasuk naiknya air laut karena berkurangnya pasir dan tanaman bakau, Indonesia melarang perdagangan pasir. Namun, perdagangan pasir ilegal terus berlanjut. Pada 2023, pasir kembali masuk dalam agenda pemerintah sebagai komoditas yang legal diperdagangkan. Rempang kemungkinan besar akan menghadapi dampak dari penambangan pasir yang baru.
Baca tulisan kedua seputar konflik Rempang yang menganalisis seputar investasi energi terbarukan dan perampasan lahan masyarakat di sini.
The Conversation telah menghubungi pemerintah Indonesia dan grup Artha Graha melalui surel dan pesan instan untuk memberikan komentar, tetapi hingga berita ini diterbitkan, mereka tidak merespons.
Penulis: Nikita Sud, Professor of the Politics of Development, University of Oxford
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.