EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Tulisan ini merupakan bagian kedua dari analisis seputar konflik Rempang. Bagian pertama dapat diakses di sini.
Kompensasi: setetes air di lautan
Proyek Rempang Ecocity dan panel surya di Kepulauan Riau menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Para menteri kini telah dikerahkan ke lokasi tersebut untuk meyakinkan penduduk setempat agar mendukung proyek tersebut, dan mendengarkan pendapat mereka. Salah satunya adalah Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia.
Pada saat yang sama, warga diberi tahu tanggal penggusuran jatuh pada 28 September 2023. Perwakilan BP Batam menyuruh mereka menandatangani formulir persetujuan paling lambat pertengahan September atau berisiko kehilangan kompensasi yang ditawarkan.
Warga desa pun diberi tahu mengenai ketentuan kompensasi: sebuah rumah seluas 45 meter persegi, di atas tanah seluas 500 meter persegi. Rumah dan tanah tersebut diperkirakan berharga sekitar Rp120 juta.
Warga menolak ganti rugi, bahkan ada yang menuntut kenaikan kompensasi berupa rumah seluas 70 meter persegi, tanah 1.000 meter persegi, dan uang tunai Rp200 juta. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh seorang komentator politik di pers lokal, jika permintaan yang lebih tinggi ini dipenuhi, pemerintah harus mengeluarkan biaya sebesar Rp1,04 triliun untuk memberikan kompensasi kepada seluruh penduduk.
Meski demikian, bila usulan nilai investasi proyek Rempang Ecocity sebesar Rp381 triliun, apalah arti jumlah kompensasi yang tak sampai 0,3% dari total biaya?
Ketika pemerintah akhirnya berbicara dengan masyarakat di Rempang, dan ketika kompensasi sedang dibahas, beberapa masyarakat telah menandatangani surat relokasi. Ada yang mengatakan mereka berada di bawah tekanan kuat untuk melakukan hal tersebut.
Namun, hal tersebut bukanlah narasi yang didorong oleh BP Batam dalam perang opini publik. Dalam siaran pers terbarunya, mereka mengklaim bahwa pada waktunya sebagian besar penduduk pada waktunya pasti akan menerima perubahan itu secara sukarela. Laporan tersebut mengutip Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, yang mengatakan, “tidak ada paksaan atau intervensi,” dan pilihan untuk direlokasi dibuat “murni dari hati masyarakat” yang mendukung proyek Ecocity.
Kendati demikian, ada warga yang bertahan. Mereka meyakini bahwa “orang Melayu tidak bisa dibeli”, atau dipindahkan dari tanah mereka. Gagasan bahwa komunitas Melayu lokal tidak untuk dijual diulangi oleh banyak kontak saya. Slogan yang kuat ini juga tercetak pada poster-poster yang dipajang di desa-desa Rempang yang berisi gerakan demonstrasi menentang pabrik kaca dan ecocity.
Desas-desus dan ancaman bahwa perlawanan di Rempang akan berujung pada pembatalan mulai beredar. Namun, hal ini telah dibantah di tingkat tertinggi. Tetap saja, protes memaksa pemerintah untuk menunda tanggal penggusuran, meskipun mereka tetap bertekad untuk memulai produksi panel surya di Rempang pada 2024.
Pemerintah juga terpaksa bernegosiasi dengan pengunjuk rasa mengenai kompensasi, dan telah memindahkan lokasi relokasi dari Pulau Galang ke Tanjung Banon, sebuah distrik di sudut tenggara Rempang.
Ada juga pembicaraan tentang relokasi bertahap dan pengurangan wilayah proyek. Beberapa orang di pemerintahan berpendapat bahwa berpindah ke pulau yang sama, dan menangkap ikan hanya beberapa kilometer dari rumah lama mereka, bahkan tidak bisa disebut relokasi. Namun bagi mereka yang terus menolak proyek tersebut, satu-satunya rumah mereka yang sebenarnya adalah tempat mereka tinggal saat ini, dan tempat sejarah mereka berada.
Karena harus memperhitungkan relokasi, warga menanyakan pertanyaan mendasar seperti: di mana anak kita akan belajar? Dan apakah pabrik panel surya akan menggantikan kuburan leluhur Melayu?
Setelah berjuang sendirian untuk mendapatkan haknya selama berbulan-bulan, masyarakat Rempang akhirnya mendapat bantuan dari kelompok masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum. Pada Agustus 2023, seorang aktivis masyarakat sipil dari Jakarta mengatakan kepada saya “terlalu banyak konflik sumber daya dan lahan di Indonesia. Sesuatu selalu terjadi di 17.500 pulau kita. Sulit untuk mengimbangi dan terlibat dalam segala hal”.
Baca juga: Warga Rempang Datangi Petugas yang Bawa Parang saat Ukur Lahan di Sembulang Hulu
Namun mulai September, kelompok masyarakat sipil terkemuka membantu warga Rempang dengan sebuah strategi untuk melawan. Bantuan hukum telah ditawarkan sehubungan dengan hak atas tanah mereka sebagai penduduk lama. Beberapa di antaranya bahkan memiliki hubungan dengan Rempang setidaknya sejak awal 1800-an.
Dampak buruk transisi energi hijau?
Kontak saya di Rempang tidak setuju dengan usulan perpindahan ke Pulau Galang. Dia juga tidak terkesan dengan lokasi alternatif yang lebih kecil di Tanjung Banon.
Salah satu dari mereka berkata: “Bagaimana Anda bisa mengambil orang-orang dari 16 desa, dan menempatkan mereka di satu pulau kecil? Akan ada konflik atas tanah dan penangkapan ikan. Kita semua adalah nelayan.”
Yang menambah keraguan adalah gagasan bahwa pemerintah mungkin mempertimbangkan untuk memindahkan mereka ke Galang—sebuah pulau yang mereka kenal sebagai “pulau pengungsi Vietnam”.
Galang menampung manusia perahu dari Vietnam, Kamboja, dan Laos di bawah naungan UNHCR antara 1975-1996. Mereka adalah pengungsi yang berada dalam ketidakpastian, karena mereka mencari izin dokumen untuk bermigrasi ke negara-negara kaya seperti Amerika Serikat dan Australia.
Saat pandemi melanda, Galang menjadi rumah bagi rumah sakit darurat COVID di wilayah tersebut. Dapat dimengerti bahwa orang-orang yang saya ajak bicara sangat marah karena dianggap sebagai “sisa” oleh pemerintah mereka sendiri-–hasil kebijakan negara yang menampung para pengungsi dan orang-orang sakit dan sekarat yang perlu diisolasi dari masyarakat lainnya.
Sangat mudah untuk memahami kemarahan mereka yang tertinggal, atau bahkan terinjak-injak, dalam upaya global menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Penduduk lokal ini, terkadang secara harfiah, berada di ambang transisi, tapi kebutuhan mereka—dan terkadang bahkan hak asasi mereka—dianggap tidak begitu penting.
Seringkali investasi Cina lah yang menjadi berita utama. Namun, penelitian saya yang sedang berlangsung memperjelas bahwa inti dari model pembangunan yang sudah lama ada di kawasan ini menemukan masyarakat lokal hanya dianggap sebagai residu. Tulisan saya tentang negara Global South juga menjelaskan lebih luas lagi bahwa perkembangan kolonial dan pascakolonial serta kesenjangan struktural negara utara – selatan dibangun di atas gagasan tentang “orang yang lain” yang bersifat sisa, terimbas sentimen ras, dan inferior atau lebih rendah.
Transisi ke energi ramah lingkungan memperkuat hierarki yang sudah lama ada. Peristiwa yang terjadi di Rempang hanyalah puncak gunung es, karena daerah-daerah termiskin di wilayah Selatan menjadi pemasok kebutuhan energi dunia.
Batam, dan pulau-pulau tetangganya di Riau, pertama kali dirumuskan sebagai zona perdagangan dan logistik minyak oleh perusahaan-perusahaan Amerika dan kontraktor bahan bakar fosil pada akhir 1960an. AS bersekutu dengan militer Jenderal Suharto, melawan Presiden Sukarno yang nasionalis berhaluan kiri dalam konteks Perang Dingin. Dengan dukungan AS, Orde Baru pimpinan diktator Suharto memerintah Indonesia dari tahun 1968-98.
AS adalah produsen minyak terbesar di Indonesia saat itu. Caltex, sebuah usaha patungan antara Texaco dan Chevron, pada puncak produksinya bisa menghasilkan satu juta barel minyak per hari.
Batam, sebagai pusat logistik regional-–kemudian menjadi pusat manufaktur dan jasa, merupakan ciptaan era Suharto. Kota ini merupakan pintu keluar utama perdagangan minyak mentah dari Batam ke Singapura, dan lebih jauh lagi.
Batam juga merupakan pintu masuk bagi minyak olahan. Perusahaan-perusahaan minyak barat dan pendukungnya di Indonesia mengumpulkan keuntungan dengan mengorbankan lingkungan yang hancur, dan penduduk lokal yang kehilangan haknya.
Baca juga: Keluarga Tahanan Kasus Rempang Bertamu ke Sembulang
Sementara itu, masyarakat di pulau-pulau kecil di sekitar Batam hanya menerima listrik empat sampai enam jam sehari dari PLN. Mereka merasakan déjà vu ketika pemerintah mereka kembali memulai proyek ambisius dengan perusahaan asing. Sekali lagi, sumber daya mereka akan digunakan untuk investasi yang menghasilkan uang. Mereka akan menjadi residu, untuk diusir dari tanahnya. Hanya saja kali ini, di kampung mereka di Rempang, mereka memutuskan untuk melawan.
Seiring upaya dunia meningkatkan konsumsi energi ramah lingkungan, dengan adanya tuntutan terhadap sumber daya seperti pasir, tanah, dan air, sebaiknya kita mempertimbangkan pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam proses ini. Saat ini sedang banyak pembicaraan mengenai keadilan iklim dan energi di kalangan internasional. Gagasan tentang transisi energi ramah lingkungan bisa menjadi “adil” agar tidak ada dalam ruang-ruang yang bergejolak di Rempang.
Menghadapi kehilangan segala sesuatu yang mereka anggap miliknya, masyarakat Rempang tidak tahan menunggu keadilan ditegakkan. Mereka memperjuangkannya di lapangan. Ini mungkin satu-satunya cara agar mereka didengar dan diperhitungkan dalam transisi energi ramah lingkungan global.
The Conversation telah menghubungi pemerintah Indonesia dan grup Artha Graha melalui surel dan pesan instan untuk memberikan komentar, tetapi hingga berita ini diterbitkan mereka tidak merespons.
Nikita Sud, Professor of the Politics of Development, University of Oxford
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.