EDISI.CO, BATAM– Tahanan yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada kerusuhan di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu, dijerat dengan tiga pasal yang tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga pasal yang tidak ada dalam KUHP yang dimaksud adalah Pasal 213 ayat 2 E; Pasal 214 ayat 2 E; Pasal 170 ayat 2 E.
Hal ini disampaikan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dalam permohonan Praperadilan yang dibacakan pada sidang perdana gugatan terhadap kepolisian terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka atau Praperadilan terhadap 30 tahanan yang berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang di Pengadilan Negeri (PN) Batam pada Selasa (31/10/2023) hari ini.
“Logikanya, kalau itu salah ketik itu satu dokumen, tapi ini ada di dokumen lain ada juga dan sama. Kami meminta hakim tunggal dalam praperadilan ini membatalkan status tersangka karena banyak prosedur yang dilanggar. Tidak terpenuhinya bukti permulaan yang cukup” kata Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Indra Jaya, dari PP MAN, juga menegaskan adanya pasal-pasal yang dipaksakan dan kemudian ternyata pasal-pasal tersebut tidak ada dalam KUHP Indonesia, semakin menunjukkan adanya kekeliruan dalam menetapkan massa aksi tanggal 11 sebagai tersangka dan harusnya para tersangka bisa dibebaskan dari segala sangkaan.
Selain itu, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang meyakini penetapan tersangka pada 30 tahanan ini tidak memenuhi bukti permulaan yang cukup. Karena penetapan tersangka bukan hanya berdasarkan bukti laporan polisi atau keterangan pemohon, tetapi harus disertai alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP yaitu ada surat, saksi, petunjuk, dan sebagainya.
Baca juga: Tim Advokasi Temukan Cacat Formil pada Penetapan Tersangka 30 Tahanan terkait Rempang
Oleh sebab itu, mereka menilai penetapan tersangka pada 30 tahanan tersebut dipaksakan.
“Kondisi itu yang kami sebut kriminalisasi atau pemidanaan dengan itikad jahat,” kata Staf Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Ahmad Fauzi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Jerry Even Sembiring, melihat ada yang tidak tepat dari prosedur penetapan tersangka pada 30 warga yang mereka dampingi. Untuk itu, ia menilai tidak ada alasan bagi hakim tunggal yang menangani praperadilan ini untuk tidak mengabulkan permohonan mereka. Sesuatu yang tidak tepat, lanjut Boy, tidak akan bisa benar secara materil.
“Bagaimana sesuatu yang tidak tepat bisa benar secara materil. Bagi kami, kalau Pengadilan Negeri Batam ini asih menuangkan keadilan, seharusnya pada putusan Senin (6/11/2023) nanti, tidak ada alasan permohonan ini ditolak,” kata Even.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang sendiri terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Pekanbaru, Eksekutif Nasional WALHI, Eksekutif Daerah WALHI Riau, LBH Mawar Saron Batam, PBH Peradi Batam, PP Man, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta Trend Asia.
Selanjutnya, lanjutan sidang praperadilan dengan agenda mendengarkan jawaban termohon, akan digelar pada Rabu (1/11/2023) besok.