EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Negara-negara ASEAN dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) mengadakan pertemuan untuk pertama kalinya pada 20 Oktober 2023 di Riyadh, Arab Saudi. GCC sendiri merupakan aliansi politik dan ekonomi beranggotakan negara Arab di Teluk Persia, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Oman
KTT ASEAN-GCC ini bertujuan untuk memperkuat hubungan ekonomi antara kedua kawasan dan menjajaki peluang-peluang kolaborasi di berbagai bidang seperti energi terbarukan, ekonomi digital, dan pembangunan berkelanjutan.
Hal yang mencuri perhatian global antara lain adalah bagaimana kedua blok ini dalam pertemuannya menghasilkan gagasan untuk upaya penyelesaian konflik Israel-Hamas yang saat ini tengah memanas. Terlebih lagi, salah satu landasan kerja sama antara kedua kawasan adalah perdamaian.
Namun, tampaknya kedua kelompok regional tersebut tidak memanfaatkan kesempatan yang langka ini untuk membahas apa yang tengah terjadi di Jalur Gaza. KTT ASEAN-GCC nyatanya lebih fokus mempererat kerja sama ekonomi dan perdagangan. Keduanya menghasilkan kerangka kerja sama ASEAN-GCC 2024-2028 untuk meningkatkan integrasi pasar regional mereka.
Perihal sikap terhadap perang di Gaza, tidak ada gagasan konkret yang dihasilkan selain hanya kecaman-kecaman dari beberapa negara. Kita semua pasti setuju bahwa di saat-saat seperti ini, mengutuk saja tidak cukup.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo yang juga menjadi ketua bersama (co-chairs) dalam KTT ini, konsisten menegaskan bahwa akar penyebab perang di Gaza adalah pendudukan ilegal Israel di tanah Palestina yang sudah seharusnya disikapi berdasarkan parameter hukum internasional. Sayangnya, respons negara-negara Arab masih tidak tegas.
Padahal, masyarakat global bisa berharap banyak pada kedua blok ini, misalnya dengan embargo ekonomi oleh ASEAN dan GCC kepada Israel sebagai langkah untuk menekan agresi Israel, atau membangun komunikasi maupun mengadakan perundingan guna menjembatani kedua pihak yang bertikai. Sebab, negara-negara Arab dan beberapa negara ASEAN memiliki faktor kesamaan historis dan identitas, terutama identitas agama–dalam hal ini sebagai mayoritas Muslim.
Mengapa negara-negara Arab dan mayoritas Muslim lainnya cenderung lamban, bahkan abai, terhadap konflik Israel-Palestina?
Sikap ASEAN dan GCC terhadap konflik di Gaza
Setiap negara anggota ASEAN memiliki posisi dan pandangan yang berbeda terhadap konflik Israel-Palestina, tergantung sejauh mana mereka masing-masing memiliki hubungan dengan kedua negara.
Baca juga: Jangan jadi Pelakor!
Sebagai contoh, di blok ASEAN, Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam lebih terbuka dalam mengambil sikap dukungan terhadap Palestina dan menolak menjalin hubungan diplomatik formal dengan Israel. Di lain sisi, Singapura dan Filipina memiliki hubungan baik dengan Israel. Sementara, anggota ASEAN lainnya berupaya bersikap netral.
Di blok GCC, para anggotanya tampak terjebak dalam dilema akibat perselisihan internal. Pada tahun 2014, contohnya, hubungan Qatar dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sempat meregang karena tuduhan dukungan Qatar terhadap terorisme, meskipun pada Januari 2021 semua pihak sepakat berdamai.
Arab Saudi merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang sikapnya terhadap konflik ini paling ditunggu. Namun, negara ini tampaknya sangat berhati-hati dalam mengambil sikap, terbatas pada menyerukan dihentikannya serangan baik dari Israel maupun Hamas. Ini mungkin karena saat ini Saudi tengah menormalisasi hubungan dengan Israel.
Kesimpulannya, sebagian besar negara ASEAN maupun GCC memang telah konsisten menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, namun belum ada yang keras menolak hubungan dengan Israel.
KTT ASEAN-GCC melahirkan dokumen pernyataan bersama (joint-statement) mengenai konflik di Gaza. ASEAN secara terpisah juga mengeluarkan pernyataan mengenai konflik Gaza. Substansi utama dari kedua pernyataan tersebut serupa, yaitu dukungan mereka terhadap solusi “dua negara” yang memungkinkan Israel dan Palestina untuk hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan, sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Selain itu, ASEAN dan GCC juga mendukung inisiatif Arab Saudi, Uni Eropa, dan Liga Negara-negara Arab untuk merestorasi proses perdamaian di Timur Tengah melalui kerja sama dengan Mesir dan Yordania.
Normalisasi hubungan negara Arab dengan Israel
Normalisasi atau perbaikan hubungan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, dengan Israel merupakan proses yang kompleks dan terus berkembang.
Secara historis, dunia Arab telah memusuhi Israel sejak berdirinya Israel sebagai negara merdeka. Pembagian wilayah Palestina oleh PBB pun memicu meletusnya konflik Timur Tengah antara lima negara Arab (Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, dan Suriah) dengan Israel pada 1948, yang menyebabkan permusuhan jangka panjang.
Namun, pergeseran yang signifikan terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Salah satu faktor yang memengaruhi proses normalisasi ini adalah perubahan lanskap geopolitik di Timur Tengah. Misalnya, kebangkitan Iran sebagai kekuatan regional telah membuat beberapa negara Arab menilai kembali hubungan mereka dengan Israel sebagai aliansi dalam menekan kebangkitan Iran.
Proliferasi nuklir Iran dianggap sebagai ancaman keamanan kawasan Timur Tengah. Selain itu perbedaan mazhab Islam di Iran, yaitu Syiah, membuat hubungan Iran dengan Arab Saudi tidak akur.
Selama ini, Iran dikenal sebagai pendukung dan penyokong Hamas.
Pertimbangan ekonomi juga berperan dalam proses normalisasi. Komunitas bisnis Israel melihat potensi integrasi ekonomi dan globalisasi melalui perjanjian ekonomi dengan Palestina dan dunia Arab.
Liberalisasi ekonomi Israel meningkatkan kompetisi dan efisiensi pasar domestik dan membuat perusahaan Israel harus berekspansi ke negara lain, yang mau tidak mau menuntut Israel untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah.
Proses normalisasi juga dipengaruhi oleh perubahan narasi seputar konflik Israel-Arab, yakni dengan adanya visi “Timur Tengah Baru” yang ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan perdamaian antara Israel dan negara-negara Arab.
Peran masing-masing negara Arab dalam proses normalisasi sangat bervariasi. Oman, misalnya, mempertahankan hubungan diplomatik dengan Mesir setelah menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1978. Sementara, sebagian besar negara Arab lainnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan keragaman pendekatan di dunia Arab dalam normalisasi hubungan dengan Israel.
Meskipun ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, eskalasi konflik di Gaza yang memakan banyak sekali korban jiwa dan kerusakan fasilitas vital seperti rumah sakit, menyadarkan kita bahwa status Palestina dan rakyatnya, serta isu-isu keamanan regional lainnya, tetap menjadi poin penting dalam perdebatan yang terus memecah belah Israel dan dunia Arab.
Perdamaian kawasan kunci kemakmuran ekonomi
Dalam kerangka kerja sama ASEAN-GCC 2024-2028, kedua belah pihak akan menjalin kemitraan yang erat untuk meningkatkan integrasi pasar regional mereka, termasuk upaya untuk menerapkan keberlanjutan dan dekarbonisasi, transformasi digital, usaha kecil dan menengah, keterlibatan sektor publik-swasta, dan hubungan antar masyarakat.
Namun, perlu diingat bahwa aspek politik untuk mengakhiri konflik dan mencapai perdamaian tidak bisa diabaikan karena perdamaian merupakan fondasi bagi kemakmuran ekonomi.
Sangat penting bagi negara-negara anggota ASEAN dan GCC untuk bekerja sama merumuskan pendekatan yang lebih terpadu, berani, dan proaktif dalam menghadapi ancaman bencana kemanusiaan ini jika memang ingin memajukan perekonomian regional.
Ayu Anastasya Rachman, Head of International Relations Department, Universitas Bina Mandiri Gorontalo
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.