EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Di masa lalu, kita mungkin iri pada tetangga yang membeli mobil baru atau pergi berlibur ke luar negeri. Walaupun rasa iri tersebut valid, perasaan ini sifatnya insidental dan hanya berlangsung sebentar.
Tapi dunia saat ini sangatlah berbeda. Telepon seluler alias ponsel, telah membuat kita membawa ‘mesin pembanding’ bernama media sosial kemana-mana. Munculnya media sosial tidak hanya memberikan banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan rasa iri di media sosial ketika penggunanya melihat kehidupan orang lain yang sempurna – meskipun sebenarnya belum tentu sesempurna yang terlihat di permukaan.
Menurut filsuf kuno Aristoteles, iri hati adalah rasa sakit terhadap nasib baik atau keberuntungan orang lain. Berkat media sosial, definisi yang ditulis lebih dari 2.000 tahun yang lalu ini tampak lebih relevan dari sebelumnya.
Seperti yang mungkin sudah diduga banyak orang, penelitian telah menunjukkan bahwa pengguna media sosial mengunggah informasi yang diinginkan secara sosial untuk menampilkan citra diri mereka yang lebih baik kepada yang lain. Dan media sosial memungkinkan pengguna untuk secara cermat memilih informasi yang mereka bagikan.
Hal ini dapat membuat kita membandingkan diri dengan orang lain. Kehidupan kita sendiri pada umumnya biasa-biasa saja, namun media sosial dapat membuat kehidupan orang lain terlihat luar biasa. Hal ini dapat membuat kita merasakan respons emosional yang berbeda.
Emosi ini bisa positif atau negatif. Misalnya, rasa iri bisa membawa perbaikan pada diri sendiri. Peneliti menemukan bahwa siswa belajar lebih lama dan prestasi akademis mereka meningkat, ketika mereka iri dengan rekan-rekan mereka yang sukses. Hal ini disebut sebagai “benign envy atau iri hati yang tidak berbahaya (jinak)”.
Namun rasa iri bisa juga menimbulkan emosi negatif. Kita mungkin merasa rendah diri dan mempunyai pikiran negatif terhadap orang yang menurut kita berada dalam posisi yang lebih baik daripada kita. Hal ini disebut sebagai “malicious envy atau kecemburuan yang jahat (dengki)”.
Karena rasa iri adalah respons alami, penting untuk membiarkan diri kita merasakan emosi tersebut. Trik sebenarnya adalah memastikan kita menghentikan rasa iri berubah menjadi dengki dan memanfaatkan rasa iri yang tidak berbahaya. Tapi bagaimana melakukannya?
1. Akui bahwa kita iri
Dengan menerima bahwa kita iri pada seseorang ketika melihat postingan di media sosial, kita telah melakukan langkah pertama untuk mengadopsi respons yang lebih sehat. Kita kemudian dapat membuat keputusan untuk menggunakan perasaan ini untuk mendorong perbaikan diri.
Pergeseran perspektif ini dapat membantu kita mendapatkan gaya hidup atau objek yang awalnya membuat kita iri karena termotivasi untuk meraihnya.
2. Ikuti dan berhenti mengikuti
Selanjutnya, cobalah mengidentifikasi panutan serta orang-orang yang harus dihindari atau berhenti diikuti. Teladan dapat berupa siapa saja yang mendorong rasa iri hati dan mendorong keinginan untuk menjadi lebih baik. Ini bisa berupa teman, keluarga, atau selebriti.
Mengidentifikasi orang-orang yang membuat kita iri hati juga sama pentingnya. Berhenti mengikuti akun media sosial orang-orang ini mungkin bermanfaat.
Anggap saja seperti ini: kita mungkin meminum minuman tertentu karena minuman tersebut membuat kita merasa bahagia atau bersemangat. Di sisi lain, kita mungkin mendapati beberapa minuman membuat kita mual atau kembung, sehingga kita menghindari minuman tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan media sosial.
Baca juga: Mengapa Negara Arab dan ASEAN Lamban Merespons Konflik Israel-Hamas?
Jika ada sesuatu yang mendorong kita untuk berkomentar negatif, cobalah mengambil langkah untuk menghindarinya, seperti berhenti mengikuti atau mematikan notifikasi unggahan.
3. Praktikkan kewajaran
Seperti di banyak bidang kehidupan, menggunakan media sosial secara wajar adalah kuncinya. Meskipun terkadang kita mengambil inspirasi dari unggahan media sosial, kita juga bisa berharap atas keburukan orang di seberang ponsel. Oleh karena itu, penting untuk mewaspadai kedua jenis rasa iri ini dan menyalurkan energi kita untuk perbaikan diri daripada perasaan negatif atau jahat.
Yochi Cohen-Charash, peneliti emosi di Baruch College, New York, Amerika Serikat, menyatakan bahwa “target rasa iri akan selalu menjadi seseorang yang sebanding dengan kita.” Jadi ingat, jika kamu merasa iri pada seseorang, kemungkinan besar orang tersebut juga mempunyai situasi yang sama denganmu – baik hal tersebut terpampang di media sosialnya atau tidak.
Daniel Walker, Lecturer in Psychology, University of Bradford
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.