EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Media sosial telah memainkan peran penting dalam situasi perang, baik sebagai alat propaganda maupun sebagai alat advokasi pembebasan pihak yang ditindas. Di Indonesia, media sosial belakangan ini dipenuhi advokasi-advokasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan krisis kemanusiaan di Palestina dan mengutuk agresi pemerintah Israel.
Sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang kemudian dibalas Israel dengan apa yang komunitas internasional banyak sebut sebagai “genosida terhadap warga sipil Palestina”, terjadi peningkatan aktivitas media sosial yang signifikan secara global terkait konflik di Gaza. Tagar #freepalestine telah digunakan lebih dari 5,2 juta kali di Instagram, sementara tagar #gazaunderattack telah diunggah sebanyak hampir 1,7 juta kali.
Kini bentuk lain kampanye pro-Palestina di media sosial adalah dengan membagikan berbagai ilustrasi buah semangka, mulai dari foto, karya seni, hingga emoji. Mengapa buah semangka dan apa maknanya dalam perjuangan kemerdekaan Palestina?
Kampanye semangka
Warna buah semangka, yang terdiri dari merah (daging buah), hitam (biji), serta putih dan hijau (kulit), disebut merepresentasikan warna bendera dan identitas nasional Palestina. Membagikan foto atau ilustrasi buah semangka dan disertai tagar #freepalestine atau #asliceofhope mencerminkan dukungan terhadap Palestina.
Buah semangka sebenarnya telah lama menjadi simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel.
Kampanye semangka (watermelon resistance) muncul pertama kali setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan merebut Yerusalem Timur. Saat itu, pemerintah Israel menyatakan pengibaran bendera Palestina di tempat umum sebagai tindakan kriminal. Untuk mengelak dari larangan menggunakan bendera, orang Palestina dan pendukungnya mulai mengadopsi semangat semangka dan membawa bendera bergambar semangka pada setiap aksinya.
Jika dikaji lagi sejarahnya, semangat perlawanan melalui semangka juga terkait erat dengan aspek kedaulatan makanan. Pada masa Intifada pertama (1987-1993), pemerintah Israel melarang petani Palestina menanam beberapa jenis bibit tanaman pangan, termasuk varietas asli Palestina dari buah semangka.
Sebagai gantinya, pemerintah Israel menanam bibit varietas hibrida dan hampir menyebabkan kepunahan varietas semangka lokal Palestina yang dikenal bernama Jadu’i. Jadi secara singkat, buah semangka juga merepresentasikan semangat rakyat Palestina dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.
Menghindari moderasi
Tahun 2021 lalu, pemerintah Israel mengancam akan mengusir penduduk Palestina di Syeikh Jarrah karena ingin membangun fasilitas umum bagi kaum Yahudi Israel. Kampanye semangka kemudian langsung merebak, baik di media sosial maupun selama aksi protes massa di jalanan.
Hari ini, kampanye semangka kembali digunakan, lebih sebagai cara pengguna media sosial menghindari sensor dan pembatasan konten.
Pemerintah Israel memang telah lama menjalankan upaya sistemik secara global untuk membungkam dan menghilangkan jejak digital Palestina. Di bawah propaganda Israel, platform digital menerapkan lebih dari 4.800 tindakan pembatasan terhadap konten mengenai Palestina, termasuk penutupan akun dan shadowbanning (pembatasan distribusi konten) tanpa pemberitahuan dan persetujuan pemilik akun.
Meta, misalnya, mengakui bahwa mereka telah menghapus 795.000 konten dalam tiga hari pertama perang di Gaza. Baru-baru ini, pengelola akun Instagram @eye.on.palestine harus bernegosiasi dengan Meta agar akunnya yang sempat ditutup secara sepihak dapat diaktifkan kembali.
Untuk mengelabui algoritme yang dipakai oleh platform media sosial, pengguna harus menggunakan Algospeak saat membicarakan Palestina dan Israel. Algospeak adalah cara menciptakan kata-kata baru atau menggunakan kode untuk mengganti kata asli dalam sebuah percakapan atau postingan media sosial, agar tidak dikenali oleh algoritme. Contohnya, kata P4le5+ina, i5r4el, dan G4z@ adalah Algospeak untuk Palestina, Israel, dan Gaza.
Praktik pembatasan secara diam-diam oleh platform media sosial ini telah menjadi ancaman bagi ekspresi pembelaan terhadap Palestina. Banyak pengguna jadi enggan mengambil risiko dan memilih berhati-hati dalam menunjukkan dukungan.
Namun, harapan untuk selamat dari pembatasan sepihak platform media sosial muncul ketika kampanye semangka bergaung kembali di Instagram akhir-akhir ini. Buah semangka–setidaknya hingga saat ini–tidak termasuk dalam daftar kriteria sensor Instagram. Jadi, akun pengunggah gambar semangka dapat terbebas dari risiko pembatasan.
Semangat perlawanan Palestina dalam ilustrasi buah semangka pun lebih mudah diterima karena pesannya yang cenderung damai, ramah, dan universal. Kampanye semangka menguatkan argumen bahwa konflik di Palestina semestinya dilihat melampaui isu agama dan identitas bangsa.
Kampanye ini juga berhasil menarik perhatian lebih banyak pengguna. Jika detik ini kamu mengetik tagar #freepalestine di laman pencarian Instagram, puluhan hingga ratusan konten teratas di hasil pencarianmu mungkin menunjukkan gambar sepotong semangka.
Akan tetapi, sebagaimana aktivisme lainnya yang menggunakan media sosial sebagai kendaraan, kampanye semangka memiliki risiko berakhir menjadi slacktivism, alias usaha minimal untuk terlibat dalam sebuah aktivisme online.
Baca juga: Menjelang Putusan, Tim Advokasi Rempang Optimis Praperadilan Diterima
Tanpa langkah strategis lainnya, kampanye semangka berpotensi menjadi gerakan advokasi temporer yang hanya akan trending sesaat. Agar gaung kampanye ini berumur panjang, upaya membanjiri platform media sosial dengan gambar buah semangka perlu diimbangi dengan membagikan informasi edukatif dan akurat mengenai Palestina.
Agar lebih bermakna
Sejauh ini, konten audio-visual terkait Palestina di media sosial telah membantu membentuk narasi global tentang situasi di negara itu.
Di TikTok, terdapat gelombang dukungan yang besar untuk Palestina. Axios.com, platform berita digital untuk audiens globalmencatat, pada periode 16-23 Oktober 2023, jumlah view konten TikTok yang mendukung Palestina dan Israel relatif seimbang.
Tagar #standwithpalestine tercantum dalam 123.000 postingan dan ditonton sebanyak 11 juta kali. Sementara itu, tagar #standwithisrael digunakan dalam 8.000 konten, dengan jumlah view sebanyak 12 juta. Namun, seminggu setelahnya (23-30 Oktober 2023), jumlah view konten yang menggunakan tagar #standwithpalestine adalah sebanyak 285 juta, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan postingan bertagar #standwithisrael.
Perubahan arah dukungan ini dapat terjadi salah satunya karena dokumentasi audio-visual yang dibagikan oleh orang-orang yang tinggal di Palestina. Konten Instagram yang diunggah dua WNI di Gaza, @abumuslim_gaza dan @bangonim, misalnya, memberikan informasi otentik tentang kehidupan masyarakat Palestina.
Melalui postingan mereka, pengguna Instagram dapat langsung melihat dampak buruk dari tindakan Israel, tanpa dikaburkan oleh pemberitaan media–terutama media Barat–yang bisa sangat bias.
Pendukung kampanye semangka dapat mengiringi konten-konten seperti ini dengan menyebarkan narasi tandingan atas konten pro-Israel atau menyanggah misinformasi tentang Palestina. Dengan demikian, semangat perlawanan dalam sepotong semangka dapat mendorong keterlibatan dan dukungan global yang lebih bermakna terhadap kondisi di Palestina.
Penulis: Pratiwi Utami, PhD in Film, Media, Communications, and Journalism, Monash University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.