EDISI.CO, BATAM– Seperti Papan Bunga yang raib dari depan halaman Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Batam pada Minggu (5/11/2023) malam, putusan hakim dalam sidang gugatan terhadap kepolisian terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka atau praperadilan terhadap 30 tahanan yang diamankan saat demonstari berujung kericuhan di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu, juga memperlihatkan matinya lonceng keadilan di PN Batam.
Senin (6/11/2023) Sapri Tarigan, hakim tunggal di ruang sidang Mudjono; Yudith Wirawan di ruang sidang Letjen TNI Purn Alisaid; dan Edy Samaeaputty di ruang sidang Purwoto Ganda Subrata, menolak gugatan terhadap 25 permohonan untuk 30 tahanan yang berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
“Kami menyatakan matinya rasa keadilan dan lonceng keadilan di Pengadilan Negeri Batam,” kata Mangara Sijabat, Direktur LBH Mawar Saron Batam yang merupakan bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang saat itu.
Mangara mengatakan pihaknya sangat menyesalkan keputusan hakim yang memimpin sidang sore ini. Namun demikian mereka tetap menghormati keputusan pengadilan, lalu akan mereka pelajari lebih detail. Utamanya terkait pertimbangan hakim yang mendasari keputusan menolak praperadilan yang diajukan oleh Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Papan Bunga yang raib itu berisi pesan dukungan untuk warga yang saat ini ditahan, pesan agar hakim memberi keputusan yang adil, juga ungkapan kerinduan dari keluarga para tahanan. Berikut beberapa diantaranya:
Baca juga: Papan Bunga untuk Hakim PN Batam jelang Putusan Praperadilan 30 Warga di Kasus Rempang
“Pak Hakim bebaskan saudara-saudara kami” di bagian bawah tulisan ini, ada tulisan besar “Masyarakat Melayu”
“Kejujuranmu akan membuat kami bangga dan andalkan tuhan dalam setiap keputusanmu. Jangan takut. Rakyat bersamamu” tulisan ini dilengkapi dengan informasi pengirim dengan tulisan “Dari keluarga yang sudah rindu dengan keluarganya”
“Hakim praperadilan, jangan takut. Rakyat bersamamu” tulisan ini dari Masyarakat Melayu seperti tertera dalam papan bunga tersebut.
“Pak hakim, saking cintanya kami akan kebenaran hukum, kita kirim bunga ini. Artinya kita monitor sidang praperadilan ini” di bagian bawahnya tertulis “Rakyat-rakyat yang cinta akan keadilan dan penegakan hukum”
“Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”
“Keadilan untuk saudara kami, keadilan untuk semua”
Ihwal raibnya Papan Bunga ini, muncul dalam beberapa akun sosial media. Dalam video yang beredar itu, sempat terekam aksi kejar-kejaran. Pengendara motor membuntuti pickup sambil merekam. Dalam rekaman itu, terlihat plat pickup yang mebawa Papan Bunga ditutupi plastik hitam, sehingga tidak terihat identitas kendaraan.
Di akhir video, pengendara motor mengambil gambar beberapa papan bunga yang sudah terletak di pnggir jalan di kawasan Kecamatan Sagulung.
Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri Nuryanto, mengaku baru mengetahui kejadian ini. Ia tidak ingin berspekulasi, karena banyak kemunkinan yang menyebabkan papan bunga itu raib, selain akibat pencurian.
“Nanti saya cari informasi, hilangnya kemana. Apa mungkin hilangnya diambil pembuat papan bunga, atau ketiup angin, kan kita tidak tahu,” kata dia.
Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri Nuryanto-edisi/bbi.
Hilangnya rasa keadilan di PN Batam, seperti diuangkapkan tim pendamping, diratapi keluarga tahanan. Mereka tak kuasa menahan tangis, meracau, menuturkan kata-kata yang menyiratkan rasa sedih, juga heran, tidak menyangka hakim memutuskan menolak gugatan dari tim kuasa hukum yang menangani keluarga mereka.
Tangis mereka hadir bahkan sebelum putusan dibacakan. Saat itu, harap dan pinta mereka agar keluarga, baik suami maupun anak yang saat ini ditahan bisa segera kembali ke keluarga.
Mereka dedahkan kebingungan ketika anak-anak bertanya tentang ayahnya. Mereka utarakan dengan tangis, suara meteka bergetar, penanda suasana hati yang lara tengah menimpa.
Emawati, istri dari Saprianto, satu dari 35 warga yang ditahan saat kerusuhan di depan gedung BP Batam itu, datang bersama ibu dan dua anaknya. Dari Kampung Tua Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, ia berkendara menggunakan sepeda motor.
Baca juga: Komnas HAM Kembali Datang ke Rempang
Menjelang putusan, Emawati berurai air mata, lebih-lebih saat mengetahui hasil gugatan itu tidak memihak pada suaminya dan warga lain yang tengah ditahan. Mereka merangkul satu sama lain, berbagi tangis, sedih dan kecewa.
Edisi/bbi.
Sambil menggendong putrinya, ia mengatakan tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ia tidak menemukan keadilan dari ketetapan pengadilan bagi suaminya.
“Dengan siapa lagi kami mencari keadilan.”
Ibunya juga demikian, menangis.
Menyusul Emawati, suara para ibu yang anaknya ditahan, tangis istri yang suaminya diamankan, menggema. Lantang menyuarakan hilangnya keadilan di PN Batam.
Even Sembiring, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menerangkan salah satu poin pertimbangan hakim yang menolak gugatan mereka. Hakim beranggapan bahwa pemberitaan media merupakan fakta yang tidak perlu buktikan, sesuai dengan pasal 184 ayat (2) KUHAP.
“Kami belajar bahwa fakta notoir itu adalah fakta yang tidak perlu dibuktikan. Seperti Matahari terbit dari Barat. Apakah semua pemberitaan media menyebutkan mereka bersalah?.”
Selanjutnya, Even mengomentari hasil keputusan seragam, yang dibacakan hakim untuk 30 tahanan yang mereka dampingi. Padahal tidak semua warga diamankan di tanggal yang sama.
“Keputusan ini template, ingat hakim sudah bacakan putusan ini,” kata dia lagi.
Lebih jauh, Even meminta kepada keluarga tahanan untuk berdoa. Mengajukan permohonan pada tuhan untuk menunjukkan keadilan yang sebenarnya apabila proses peradilan ini penuh dengan kecurangan dan kejahatan.
Papan bunga berisi dukungan untuk warga dan pesan untuk hakim menegakkan keadilan tidak kembali sampai sidang putusan selesai. Berganti dengan pesan berbeda dari papan bunga lain yang datang, selain pesan duka atas meninggalnya salah satu hakim PN Batam pada Minggu (4/11/2023) malam. Isinya seperti berikut:
“Bagi siapapun, jangan coba menghasut masyarakat dengan isu-isu sesat, karena memprovokasi bisa dipidana”
“Karna cinta kami pada masyarakat pemerhati sidang, ingat jangan anarkis kalau tak ingin masuk penkara”
Sopandi, pengacara dari PBH Peradi Batam yang juga masuk dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menambahkan di awal putusan, hakim mengatakan bukti ahli forensik dan ahli pidana tidak digunakan karena tidak memiliki dokumen asli. Tapi di pertimbangan hukumnya, hakim memutus hasil visum itu sah berdasarkan keterangan ahli forensik yang telah disumpah.
Kondisi ini membuat pihaknya bingung, apa sebenarnya pertimbangan yang dipakai hakim ketika memutus perkara ini.
“Kami tidak kecewa dengan keputusan hakim. Tapi pertimbangan hukum yang dibuat hakim hari ini sangat sesat,” kata Sopandi.
Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, mengatakan pihaknya di Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang seperti diadu dengan hakim. Hal itu terlihat dari pasifnya termohon sepanjang persidangan. Tidak ada bantahan dari termohon atas saksi-saksi yang mereka hadirkan, baik saksi dari pihak keluarga maupun saksi ahli.
“Saya pikir ini sangat aneh persidangannya.”
Sidang praperadilan dengan agenda putusan di PN Batam. Putusan atas 25 permohonan untuk 30 tahanan dalam kerusuhan terkait Rempang-edisi/bbi.
Hari semakin gelap, warga berangsur meninggalkan PN Batam. Di antara mereka yang bergerak, seorang warga terlihat duduk di beton penghalang tanah berisi tanaman di depan lobby PN Batam.
Ia memakai songkok hitam, jaket dengan warna serupa dan kemeja di bagian dalamnya. Satu kancing baju dalamnya tidak terpasang. Warga tersebut diam, tidak menghiraukan warga lain yang berlalu. Dari tempat ia duduk, terlihat kendaraan lalu lalang, mengangkut warga untuk pulang, meninggalkan PN Batam.
Suaranya terdengar, tapi pelan. Ia mengaku bingung bagaimana menyampaikan kabar ditolaknya permohonan praperadilan ini pada istrinya yang menunggu di rumah. Padahal, besar harapan istrinya dapat melihat anak tertuanya bebas setelah hampir dua bulan ditahan, melalui praperadilan ini.
Apa daya, layaknya 11 dari 14 keping papan bunga dalam tujuh set ucapan yang raib, harapan itu juga hilang, bersama matinya lonceng keadilan di PN Batam, seperti kata Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.