EDISI.CO, BATAM– Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai Komisi Yudisial (KY) gagal menjalankan fungsinya dalam sidang gugatan terhadap penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka 30 warga dalam kerusuhan yang terjadi di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu. Selama seminggu sidang berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Klas 1A Batam, antara tanggal 31 Oktober sampai 6 November 2023, KY sama sekali tidak hadir.
Padahal Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang telah berulang kali meminta KY untuk datang melakukan pengawasan terhadap hakim yang memimpin sidang praperadilan ini.
“Kita melihat adanya upaya membungkam warga yang datang ke sini, ini kemudian membuktikan proses peradilan dan sebagainya mau ditutup untuk umum,” kata Noval Setiawan, pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Pekanbaru yang merupakan bagian dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Untuk diketahui, menjelang sidang praperadilan dengan agenda pembacaan putusan di PN Batam pada Senin (6/11/2023) lalu, Kabagops Polresta Barelang, Kompol Zainal Abidin Christopher Tamba, sempat meminta masyarakat yang hadir di PN Batam untuk menunggu jalannya persidangan di luar PN Batam, kecuali keluarga inti dari 30 tahanan. Zainal beralasan hal tersebut dilakukan demi menjaga kondusivitas PN Batam selama sidang putusan ini.
“Jadi untuk bapak-bapak yang bukan keluarga inti, mohon nunggu di luar pagar pengadilan. Ini untuk kondusivitas, keamanan pengadilan sendiri. Silakan yang lain menunggu di luar kecuali keluarga inti.”
Permintaan itu menjadi tanda tanya bagi warga yang hadir. Warga tetap bergeming dan meyakini mereka tetap punya hak untuk berada di PN Batam karena persidangan ini sifatnya terbuka untuk umum. Warga yang didominasi oleh wanita ini tetap duduk di posisi awal mereka sambil melantunkan solawat.
Warga yang hadir dalam Sidang Praperadilan di P Batam pada Senin (6/11/2023)-Edisi/bbi.
“Polisi tidak boleh mengusir warga karena ini peradilan terbuka untuk umum. Apalagi warga hanya hadir untuk bersolidaritas mendengarkan putusan,” kata Noval.
Noval melanjutkan, perkara yang berkaitan dengan Pulau Rempang ini sudah menjadi perhatian dunia internasional dan sarat dengan banyak kepentingan. Sehingga sudah sewajarnya KY datang melakukan pengawasan.
Untuk itu, pihaknya meminta kealpaan KY sepanjang proses praperadilan kasus Rempang ini, menjadi pelajaran. Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengharapkan KY melakukan pemeriksaan terhadap semua proses yang mereka ajukan.
Seperti diketahui, putusan hakim dalam sidang gugatan terhadap kepolisian terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka atau praperadilan terhadap 30 tahanan yang diamankan saat demonstari berujung kericuhan di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu, juga memperlihatkan matinya lonceng keadilan di PN Batam.
Sapri Tarigan, hakim tunggal di ruang sidang Mudjono; Yudith Wirawan di ruang sidang Letjen TNI Purn Alisaid; dan Edy Samaeaputty di ruang sidang Purwoto Ganda Subrata, menolak gugatan terhadap 25 permohonan untuk 30 tahanan yang berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
“Kami menyatakan matinya rasa keadilan dan lonceng keadilan di Pengadilan Negeri Batam,” kata Mangara Sijabat, Direktur LBH Mawar Saron Batam yang merupakan bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang saat itu.
Mangara mengatakan pihaknya sangat menyesalkan keputusan hakim yang memimpin sidang. Namun demikian mereka tetap menghormati keputusan pengadilan, lalu akan mereka pelajari lebih detail. Utamanya terkait pertimbangan hakim yang mendasari keputusan menolak praperadilan yang diajukan oleh Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Even Sembiring, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menerangkan salah satu poin pertimbangan hakim yang menolak gugatan mereka. Hakim beranggapan bahwa pemberitaan media merupakan fakta yang tidak perlu buktikan, sesuai dengan pasal 184 ayat (2) KUHAP.
“Kami belajar bahwa fakta notoir itu adalah fakta yang tidak perlu dibuktikan. Seperti Matahari terbit dari Barat. Apakah semua pemberitaan media menyebutkan mereka bersalah?.”
Selanjutnya, Even mengomentari hasil keputusan seragam, yang dibacakan hakim untuk 30 tahanan yang mereka dampingi. Padahal tidak semua warga diamankan di tanggal yang sama.
“Keputusan ini template, ingat hakim sudah bacakan putusan ini,” kata dia lagi.
Lebih jauh, Even meminta kepada keluarga tahanan untuk berdoa. Mengajukan permohonan pada tuhan untuk menunjukkan keadilan yang sebenarnya apabila proses peradilan ini penuh dengan kecurangan dan kejahatan.
Sopandi, pengacara dari PBH Peradi Batam yang juga masuk dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menambahkan di awal putusan, hakim mengatakan bukti ahli forensik dan ahli pidana tidak digunakan karena tidak memiliki dokumen asli. Tapi di pertimbangan hukumnya, hakim memutus hasil visum itu sah berdasarkan keterangan ahli forensik yang telah disumpah.
Kondisi ini membuat pihaknya bingung, apa sebenarnya pertimbangan yang dipakai hakim ketika memutus perkara ini.
“Kami tidak kecewa dengan keputusan hakim. Tapi pertimbangan hukum yang dibuat hakim hari ini sangat sesat,” kata Sopandi.
Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru, mengatakan pihaknya di Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang seperti diadu dengan hakim. Hal itu terlihat dari pasifnya termohon sepanjang persidangan. Tidak ada bantahan dari termohon atas saksi-saksi yang mereka hadirkan, baik saksi dari pihak keluarga maupun saksi ahli.
“Saya pikir ini sangat aneh persidangannya.”