EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Kalpana Jain, editor senior agama dan etika di The Conversation Amerika Serikat _(AS), menghabiskan sebagian tahun 2023 dalam perjalanan sejauh lebih dari 32.000 kilometer, meliputi tujuh kota di tiga negara, sebagai rekan jurnalis senior East-West Center 2023 untuk membahas isu-isu seputar peran agama dan identitasnya di ruang publik. Dalam perjalanan ini, termasuk perjalanan ke dekat perbatasan Myanmar, Jain mewawancarai perwakilan komunitas pribumi, kelompok agama minoritas, jurnalis dan aktivis, dan banyak lainnya. Ia melaporkan peningkatan nasionalisme Buddha dan Hindu serta peran kelompok agama dalam mempromosikan perdamaian dan kepedulian terhadap lingkungan.
Sebagai Nieman Fellow di Harvard tahun 2009, Jain membahas banyak masalah keadilan sosial sebagai jurnalis di The Times of India. Pelaporannya di India membawa banyak perubahan kebijakan di sektor kesehatan masyarakat dan memenangkan beberapa penghargaan. Pada tahun 2019, ia menerima hibah Pulitzer untuk membahas isu-isu seputar kebangkitan nasionalisme Hindu di India. Jain juga pernah bekerja sebagai editor, penulis, dan peneliti di Universitas Harvard. Studi kasusnya tentang perbudakan modern adalah bagian dari mata kuliah Harvard, dan bukunya tentang epidemi AIDS di India digunakan untuk mengajar di banyak universitas di India. Jain meraih gelar master dalam studi teologi dari Harvard Divinity School dan master dalam bidang administrasi publik dari Harvard Kennedy School.
Tulisan mengenai komunitas pribumi di Indonesia di bawah ini, yang pertama kali diterbitkan di Christian Science Monitor pada 10 Oktober 2023, menunjukkan kedalaman keahlian tim The Conversation dalam isu-isu global yang melibatkan agama, etika, dan dampak kolonialisme di dunia saat ini.
Setelah terisolasi dari dunia luar, Kasepuhan Cisungsang–masyarakat adat di Indonesia–kini mengundang orang luar untuk melihat sekilas kehidupan mereka.
Desa Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun di Jawa Barat, enam jam perjalanan dari kota metropolitan Jakarta. Saat pengunjung datang, sekelompok pemusik berjubah hitam dengan hiasan kepala warna-warni menyambut mereka sembari memainkan angklung, alat musik tradisional bambu, sementara gadis-gadis muda menari.
Para tamu kemudian digiring ke sebuah gubuk yang luas. Di sana, perwakilan Kasepuhan Cisungsang menjelaskan bahwa masyarakat tersebut dipimpin oleh seorang abah, atau bapak, dan mereka telah tinggal di kawasan hutan ini sejak sebelum Belanda menjajah Indonesia.
“Nenek moyang kami meninggalkan pesan untuk menjaga lingkungan,” kata Raden Angga Kusuma, putra sulung abah dan putra mahkota desa tersebut.
Indonesia adalah rumah bagi sekitar 50 juta hingga 70 juta masyarakat adat, atau hampir 20% dari populasi negara ini. Namun, klaim masyarakat adat atas tanah leluhur mereka sangatlah sulit, dan sering kali bergantung pada kemampuan masyarakat untuk meyakinkan pihak berwenang setempat.
Stereotip yang tersebar luas mengenai masyarakat adat yang anti-pembangunan atau terjebak masa lalu, menambah tantangan bagi banyak pemimpin masyarakat adat di nusantara yang mempertahankan budaya dan adat istiadat mereka sekaligus mengembangkannya seiring waktu. Bagi Kasepuhan Cisungsang, pembukaan untuk pengunjung merupakan bagian dari pemikiran strategis tersebut.
Sesepuh Kasepuhan Cisungsang, Apih Jakar, menyampaikan pesan dari nenek moyang mereka terkait hal ini: “Mengatasi dinamika waktu dan beradaptasi dengannya.”
Sengketa tanah
Bagi Kasepuhan Cisungsang dan 56 kelompok Kasepuhan lainnya yang tinggal di wilayah Halimun Salak di Jawa Barat, perebutan hak atas tanah dimulai pada abad ke-19. Saat itu, pemukim Belanda tidak mengakui masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Gunung Halimun Salak–saat ini menjadi Taman Nasional.
Demarkasi dan praktik pertanahan ala penjajah masih berlanjut setelah kemerdekaan pada 1945. Di bawah pemerintahan Suharto, presiden kedua Indonesia, tanah masyarakat adat diubah menjadi hutan negara dan didistribusikan kembali sebagai konsesi swasta kepada perusahaan karet, pertambangan, dan kelapa sawit.
Sepanjang era Suharto “pemerintah Indonesia berpendapat bahwa negara ini harus mengejar ketertinggalan dan perlu mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi,” kata Timo Duile, antropolog di Universitas Bonn, Jerman, yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti hak atas tanah di Indonesia. “Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan negara-negara Barat dan dengan membuka negara terhadap modal asing.…Tanah merupakan isu penting yang menimbulkan banyak konflik.”
Baca juga: Lewat Pentas Seni, Warga Rempang Bergembira Menolak Relokasi
Baru pada 2013, sebuah putusan bersejarah dari Mahkamah Konsitusi yang dikenal sebagai MK-35 memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengklaim kembali tanah leluhur mereka. Namun, hal ini terbukti merupakan proses yang panjang dan rumit.
Inisiatif pemetaan independen telah mencatat lebih dari 50 juta hektare lahan masyarakat adat di Indonesia, tapi hanya 15% yang diakui oleh pemerintah. Terkait hambatan ini, para pengkritik menyalahkan birokrasi yang lambat, peraturan kehutanan yang diterapkan dengan buruk dan bertentangan, serta perampasan lahan oleh perusahaan.
Namun, tantangan pertama yang dihadapi banyak komunitas adalah membuktikan akar keaslian mereka.
Membuktikan keaslian sebagai pribumi
Keaslian suatu komunitas harus diakui oleh kabupaten. Menurut Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, suatu kelompok dianggap memenuhi syarat jika mereka memiliki ciri-ciri masyarakat adat, yaitu mengikuti hukum adat dan mempertahankan institusi sosial yang unik.
Namun, banyak kabupaten yang memiliki peraturan yang tidak jelas. Hal ini membuktikan bahwa nasib masyarakat adat bisa bergantung pada kemauan politisi setempat.
“Jika mereka memakai pakaian modern, pemerintah bisa mengatakan mereka telah berubah secara sosial dan budaya, sehingga tidak lagi menjadi anggota masyarakat adat,” kata Arman. Pengakuan hukum juga tidak menjamin bahwa keinginan masyarakat akan dihormati.
Mama Rosita Tecuari adalah salah satu dari beberapa pemimpin masyarakat Adat Namblong di provinsi Papua yang berjuang mempertahankan tanah mereka dari perluasan perkebunan kelapa sawit. Tecuari menyebutkan bahwa sebuah perusahaan mendapat lisensi dan izin untuk menggunakan lahan tersebut tanpa persetujuan dari 500 suku yang menetap di sana. Bahkan setelah undang-undang setempat mengakui hak masyarakat Namblong atas tanah pada tahun 2021, perusahaan tersebut tidak mundur.
“Bukannya kami tidak menginginkan pembangunan,” katanya. Mereka hanya tidak ingin pembangunan mengorbankan lingkungan. “Kami di Papua menganggap hutan sebagai jantung kami sendiri. Jika kamu menebangi hutan kami, itu sama saja dengan membunuh kami.”
Namun, agar kelompok masyarakat adat bisa mendapatkan otonomi, mereka harus menunjukkan bahwa mereka masih mempertahankan adat. “Untuk mendapatkan hak atas tanah, mereka harus membuktikan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini dengan lembaga-lembaga adat dan hukum adat,” kata Duile. “Mereka mungkin sedang dalam proses perubahan tetapi sekaligus harus meyakinkan para pejabat bahwa mereka masih tetap sama.”
Sejarah transformasi
Penekanan pada kesinambungan berarti bahwa pribumi dapat disamakan dengan keprimitifan, kata Rebakah Daro Minarchek dari Universitas Washington, AS.
Demi disertasinya pada tahun 2019, Rebakah Daro Minarchek menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari bagaimana tiga komunitas Kasepuhan, termasuk Kasepuhan Cisungsang, memanfaatkan teknologi.
Setelah pemerintah pusat menghadirkan internet ke desa Ciptagelar melalui program konektivitas universal dan membangun stasiun TV dan stasiun radio, penduduk desa melatih pemuda untuk mewawancarai para tetua tentang tradisi dan merekam musisi mereka. Seorang pemimpin desa bahkan menonton video YouTube untuk belajar sendiri cara menggunakan teknologi Global Positioning System (GPS) untuk memetakan batas-batas lahan.
Daro Minarchek juga mengamati bagaimana desa Ciptagelar mengirim dua pemuda ke Jepang untuk belajar perkebunan komersial dan meningkatkan produktivitas. Banyak komunitas pribumi yang ragu terhadap jenis pendidikan tertentu yang menjauhkan generasi muda dari masyarakat, jelas Minarchek, tapi mereka tidak memandang remeh pendidikan.
Dalam kasus Kasepuhan Cisungsang, putra mahkota dan beberapa orang lainnya diperbolehkan masuk perguruan tinggi dengan syarat kembali ke desa dan cara hidup mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, desa ini juga mengundang pengunjung internasional untuk menghadiri festival panen tahunan Seren Taun, sebuah upacara syukuran atas semua berkah yang diterima sepanjang tahun. Tradisi ini terekam dalam film dokumenter pendek tahun 2016 berjudul Harvest Moon Ritual.
Adaptasi ini bukanlah hal baru, kata Daro Minarchek, menunjuk pada praktik keagamaan masyarakat. Kasepuhan Cisungsang saat ini menganut agama Islam tetapi menggabungkannya dengan praktik leluhur, termasuk animisme perdukunan, serta praktik Hindu dan Buddha.
“Mengatakan bahwa ini adalah komunitas dari 700 tahun lalu yang belum mampu menghadapi masa depan adalah klaim yang tidak manusiawi,” tegas Daro Minarchek.
Penulis: Kalpana Jain, Senior Religion + Ethics Editor/ Director of the Global Religion Journalism Initiative, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.