EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Setelah 22 tahun Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) diterapkan, kondisi kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP) masih tertinggal.
Berdasarkan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) East 2012, survey berbasis rumah tangga untuk meninjau kondisi hidup di Indonesia bagian Timur, tingkat kemiskinan OAP mencapai tiga hingga tujuh kali lebih tinggi daripada non-OAP di wilayah Papua.
Capaian penghidupan OAP, termasuk kesempatan untuk mengakses pendidikan dan sektor pekerjaan, juga lebih rendah dibandingkan dengan non-OAP. Konflik bersenjata yang terus berlangsung antara aparat bersenjata dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) juga semakin menambah sumber kerentanan OAP.
Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), jumlah pengungsi internal korban konflik bersenjata telah mencapai 60.642 jiwa per Desember 2022, dengan 732 di antaranya telah meninggal dunia. Mereka berasal dari Maybrat, Nduga, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak. Pengungi internal merujuk pada orang-orang yang terpaksa/dipaksa meninggalkan wilayah penghidupannya namun tetap berada pada negara yang sama.
Fokus studi penelitian kami di SMERU adalah pengungsi internal asal Nduga dan Maybrat. Kami menemukan bahwa mereka kini berhadapan dengan kerentanan berlapis selama mengungsi akibat hambatan struktural maupun kultural yang membuat pergerakan mereka semakin terbatas.
Berangkat dari penelitian ini, kami juga memberikan rekomendasi untuk pemerintah guna segera mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Sebab, jika tidak segera diatasi, mereka akan jatuh dalam lubang kerentanan yang semakin dalam.
Program perlindungan sosial untuk pengungsi internal belum optimal
Berdasarkan riset kami, beberapa hambatan struktural yang dihadapi para pengungsi internal di Papua di antaranya adalah syarat kepemilikan dokumen data diri untuk bisa mengakses layanan dasar. Padahal, sebagian besar pengungsi ini tidak sempat membawa dokumen tersebut saat mereka menyelamatkan diri. Kendala ini menyebabkan pengungsi tidak dapat mengakses layanan dasar.
Sebagai contoh kasus, salah satu pengungsi asal Nduga terpaksa membiarkan anaknya sakit hingga meninggal akibat ketiadaan uang dan BPJS Kesehatan untuk mengakses perawatan di fasilitas kesehatan.
Sementara, contoh persoalan kultural adalah permasalahan penggunaan tanah ulayat–tanah adat yang terikat dengan hukum masyarakat adat pemiliknya–yang memicu terjadinya tensi sosial. Salah satu pengungsi Maybrat di Sorong, misalnya, menjelaskan bahwa meskipun pemilik tanah ulayat setempat memberikan izin pengelolaan kebun ke pengungsi, namun kesalahpahaman tentang pengelolaan tanah dan pemanfaatan hasil kebun kerap memicu tensi sosial antar-OAP.
Pemerintah daerah telah melakukan sejumlah upaya untuk menangani pengungsi internal di Papua, seperti dalam bentuk pemberian bantuan sosial (bansos) dan pangan di tingkat daerah, serta memfasilitasi anak-anak pengungsi untuk bersekolah. Dari pemerintah pusat, ada skema Program Keluarga Harapan (PKH) Adaptif untuk menjangkau korban bencana sosial.
Namun, berdasarkan temuan studi SMERU terkait kondisi para pengungsi, penanganan terhadap mereka tampaknya masih belum optimal. Skema-skema bantuan yang ditawarkan belum mampu melindungi mereka dari kerentanan. Ini karena bantuan bersifat insidental, berjangka pendek, dan proses penanganannya cenderung lambat.
Pada tataran operasional, pemerintah perlu mengambil langkah yang tepat agar pengungsi internal di Papua mendapatkan perlindungan sosial yang responsif dan adaptif khususnya dalam situasi konflik.
Baca juga: Agar Pelestarian Gunung Rinjani Naik Kelas: Berdayakan Warga Lokal
Penelitian kami menghasilkan tiga rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah.
1. Memastikan pengungsi internal masuk dalam sistem perlindungan sosial
Pemerintah perlu memastikan pengungsi domestik Papua masuk dalam sistem perlindungan sosial yang ada agar pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi internal tidak hanya bersifat insidentil.
Misalnya, penanganan pengungsi internal tidak cukup hanya dengan pemberian fasilitas darurat dan bantuan jaminan hidup saja. Dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur bantuan langsung uang tunai bagi korban bencana membatasi pemberian jaminan hidup hanya selama pengungsi masih tinggal di hunian sementara atau hunian tetap dan dalam kondisi keadaan darurat yang meliputi siaga, tanggap, transisi darurat ke pemulihan atau pascabencana.
Jika sudah masuk dalam sistem perlindungan sosial, pengungsi bisa mendapatkan manfaat secara lebih optimal dan berkelanjutan sehingga ketahanan masyarakat dalam jangka panjang dapat terbentuk.
2. Menyesuaikan program bansos dan jamsos reguler
Pemerintah perlu melakukan modifikasi program bantuan sosial (bansos) dan jaminan sosial (jamsos) reguler agar lebih adaptif dengan situasi dan kerentanan yang dihadapi pengungsi korban konflik. Hal ini cukup krusial karena pada situasi normal pun, akses bansos masyarakat miskin di wilayah rentan konflik tergolong rendah, padahal wilayah tersebut juga menjadi kantong kemiskinan.
Berdasarkan perhitungan kami dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, 40% rumah tangga dengan pengeluaran terendah di Intan Jaya tidak memiliki akses sama sekali pada berbagai bantuan sosial seperti PKH, BPJS Penerima Bantuan Iuran, dan bantuan nontunai seperti pangan. Sementara itu, 40% rumah tangga termiskin di Maybrat, Lanny Jaya, dan Nduga tidak memiliki akses pada PKH.
Dengan tidak adanya dukungan bansos sebagai mekanisme bertahan bahkan di situasi normal, adanya guncangan konflik akan semakin memperdalam kerentanan masyarakat miskin di wilayah-wilayah tersebut.
Beberapa bentuk modifikasi program yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Pusat adalah, pertama, menyesuaikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk memastikan bahwa pengungsi yang menjadi peserta JKN tetap dapat memanfaatkan layanan JKN. Hal ini dapat dilakukan dengan memfasilitasi pengungsi yang berada di luar domisili untuk mengubah fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I asal ke faskes terdekat dari lokasi pengungsian.
Kedua, melakukan ekspansi sasaran Program Sembako melalui penyelarasan dengan program bantuan jaminan hidup. Misalnya, rumah tangga yang dalam kondisi normal tidak termasuk 40% termiskin, namun kehilangan semua aset dan pekerjaannya karena mengungsi. Dalam hal ini, pemerintah dapat menutup celah tersebut melalui program jaminan hidup dengan penyelarasan pada besaran nilai bantuan dan mekanisme penyaluran.
Ketiga, membuat mekanisme penyaluran bansos lebih fleksibel. Ini karena pengungsi internal di Papua bertempat tinggal secara menyebar di luar wilayah domisili dalam waktu cukup panjang. Dengan demikian, proses verifikasi dan validasi perlu memberi ruang ketidaksesuaian alamat yang terdaftar dalam basis data penerima program dengan alamat tempat tinggal selama mengungsi, sehingga pengungsi tetap dapat mengakses bansos dari lokasi tempat pengungsian.
3. Mengedepankan peran pemerintah daerah
Selama ini penanganan pengungsi oleh pemerintah daerah (pemda) tampak kurang optimal. Padahal, pemda dapat mengambil peran signifikan dengan mengoptimalkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Badan ini sudah memiliki panduan penanganan bencana dengan menggunakan pendekatan sosial, budaya dan adat istiadat setempat.
Pemda juga seharusnya ikut melakukan pendataan pengungsi secara menyeluruh dan memastikan pembaruan data pengungsi yang tersebar di kabupaten/kota lain. Pendataan pengungsi setidaknya mencakup sebaran lokasi secara geografis dan etnografis, kepemilikan NIK dan keberadaan KTP, kepesertaan dalam program bansos/jamsos dan keberadaan bukti kepesertaannya. Pemda kabupaten/kota asal pengungsi juga bisa proaktif membuatkan KTP untuk warga yang KTP-nya tertinggal ketika mengungsi.
Pemda juga dapat berkolaborasi dengan lembaga agama dan organisasi nonpemerintah lokal karena, berdasarkan temuan SMERU, kedua lembaga tersebut terbukti mampu menggaet kepercayaan OAP.
Cara-cara di atas tersebut tentunya bisa bersifat lebih jangka panjang sehingga perlindungan sosial bisa terselenggara secara lebih integratif, adaptif, dan responsif.
Penulis: Sylvia Andriyani Kusumandari, Junior Researcher, SMERU Research Institute dan Asep Kurniawan, Researcher, SMERU Research Institute
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.