EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Transisi energi terbarukan adalah tren ekonomi anyar. Seluruh dunia berlomba-lomba untuk menjadi yang terbersih dalam penyediaan energi dan melawan perubahan iklim.
Indonesia juga ikut-ikutan mematok ambisi besar untuk menjadi produsen utama infrastruktur energi terbarukan dunia. Pemerintah juga memprioritaskan masuknya arus modal bagi proyek-proyek energi yang diklaim ‘hijau’.
Sayangnya, niat Indonesia untuk beralih ke energi bersih tidak diikuti perubahan pola-pola lama, yakni membuka keran investasi berskala besar—kebanyakan dari luar negeri. Pelaksanaan proyek acap kali tak berkeadilan, tanpa melibatkan komunitas lokal ataupun masyarakat adat setempat secara bermakna.
Kita bisa melihatnya dalam konflik lahan untuk proyek Ecocity—turut mencakup pabrik panel surya di Rempang, Kepulauan Riau, yang meminggirkan aspirasi masyarakat Melayu setempat.
Dalam proyek ini, perusahaan Xinyi dari Cina berniat membangun pabrik kaca dan juga panel surya di Rempang. Sayangnya, target tersebut akan memakan korban 7.512 masyarakat adat Melayu di 16 desa yang akan tergusur.
Konflik Rempang seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk membenahi kebijakan transisi energinya. Jika pemerintah masih bertahan dengan cara lama, transisi energi bersih justru menciptakan bentuk kolonialisme baru bagi masyarakat adat.
Kolonialisme energi di Rempang
Kolonialisme energi merupakan kelanjutan dari babak perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh pihak yang kuat secara ekonomi, politik, dan budaya kepada pihak yang lebih lemah.
Tren ini terjadi di seluruh dunia, mulai dari kawasan Gurun Sahara barat di Afrika, Norwegia, hingga Laos.
Di Indonesia, perampasan dahulu marak terjadi di era Orde Baru atas nama pemerataan pembangunan ekonomi.
Kini, kolonialisme mendapatkan pembenaran baru atas nama pengurangan emisi gas rumah kaca melalui sektor energi. Percepatan ekspansi energi terbarukan di tanah air mendapatkan payung hukum dan berpeluang mendapatkan karpet merah untuk menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kebijakan ini pun dimanfaatkan orang-orang kuat untuk meraup keuntungan. Proyek-proyek energi terbarukan muncul di banyak tempat, diinisiasi oleh korporasi besar maupun perusahaan pelat merah.
Perencanaan investasi energi Indonesia yang saat ini masih terpusat juga membuat masyarakat adat dan komunitas lokal tak bisa ikut serta dalam perencanaan proyek. Mereka hanya menerima informasi bahwa di lahan akan dibangun proyek energi terbarukan.
Di proyek Rempang Ecocity, misalnya, Kementerian Investasi baru menandatangani kesepakatan investasi Xinyi Glass di Chengdu, Cina, pada Juli 2023. Sebulan kemudian, proyek Rempang Ecocity—termasuk di dalamnya investasi Xinyi–masuk ke daftar Proyek Strategis Nasional.
Di tengah ngebutnya proses itu, masyarakat adat setempat malah tidak mengetahui rencana proyek Rempang Ecocity. Mereka juga tidak diberi informasi yang cukup perihal mengapa proyek tersebut memakan lahan sangat luas, sekitar 17 ribu ha.
Masyarakat Rempang hanya mengetahui bahwa rumah mereka akan tergusur. Mereka akan diberi kompensasi berupa sepetak tanah, rumah, dan uang, serta janji manis diberi pekerjaan.
Baca juga: Satelit Republik Indonesia 1 siap Beroperasi 29 Desember 2023
Di sisi lain, sekalipun menolak, masyarakat Rempang tidak kuasa membatalkan keputusan ini. Pemerintah pun berkukuh melanjutkan proyek Rempang Ecocity, dan hanya menjanjikan kompensasi berupa pemindahan warga terdampak ke lokasi yang dianggap lebih baik.
Terjebak dalam risiko penjajahan lahan, masyarakat Rempang pun melawan. Tak hanya berdemonstrasi, mereka juga melakukan somasi, banding administasi, hingga gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Paradoks transisi energi
Selain Rempang, kita juga bisa melihat pola kolonialisme energi di berbagai daerah.
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Sumatra Utara, misalnya, yang menggaet perusahaan negara asal Cina. Proyek ini menenggelamkan dua desa, ribuan hektare lahan masyarakat adat, menerabas hutan, dan membendung air sungai.
Ada juga proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Wae Sano di Nusa Tenggara Timur yang didanai Bank Dunia. Masyarakat di tiga kampung adat Dasak, Lunang, dan Lempe menolak proyek ini.
Kasus-kasus tersebut mengindikasikan kolonialisme energi masih menghantui kaum adat Indonesia. Risikonya semakin tinggi, karena pemerintah menginginkan proyek energi berskala besar lebih banyak dibangun di tanah air.
Tanpa perlindungan hak-hak kaum adat yang memadai, rencana di atas menjadi paradoks mengingat masyarakat adat berperan besar menjaga keutuhan ekosistem dan kelestarian keanekaragaman hayati lingkungan sekitarnya.
Ruang hidup masyarakat patut dihormati, bukan dengan cara menggerus, merelokasi apalagi memaksa mereka meninggalkan ruang hidup—yang merupakan identitas tak terpisahkan sebagai masyarakat adat.
Dekolonisasi transisi energi terbarukan
Pengakuan dan perlindungan hak-hak adat, pengetahuan tradisional, dan kearifan lokal masyarakat asli adalah kunci untuk mencegah eskalasi konflik akibat transisi energi terbarukan.
Oleh karena itu, perlu adanya dorongan agar pemerintah segera membahas pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. RUU ini, perlu mengatur agar program-program pemerintah (termasuk transisi energi) menghargai sikap masyarakat adat.
Penghargaan ini harus terjabarkan dalam pelibatan masyarakat secara aktif di setiap detail pengambilan keputusan yang berdampak pada wilayah dan ruang hidup mereka. Masyarakat adat perlu turut serta sejak dalam tahap perencanaan, implementasi, dan pemantauan program dan proyek yang didukung pemerintah.
Pemilihan presiden-wakil presiden, DPR, DPRD, DPD, dan kepala daerah 2024 dapat menjadi momentum bagi kita untuk memperjuangkan hak-hak bagi masyarakat adat dan advokasi pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Indonesia dapat mencontoh praktik-praktik terbaik dalam pemberdayaan masyarakat adat untuk mengembangkan energi terbarukan. Di Kanada, misalnya, masyarakat adat mengontrol aset energi terbarukan bernilai tinggi dan berpartisipasi dalam 197 inisiatif energi terbarukan.
Selain mengesahkan RUU Masyarakat adat, pemerintah pusat dan daerah juga harus mempermudah kaum adat untuk mengurus status hukum dan ruang hidup mereka. Saat ini, dari 50 juta ha tanah adat yang terdata, baru 15% di antaranya yang diakui pemerintah. Pengakuan ini penting karena, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012, negara tak bisa mengutak-atik ruang hidup masyarakat adat.
Pemberdayaan masyarakat adat dalam hal pengetahuan dan keputusan dapat membawa manfaat jangka panjang bagi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Penulis: Nikodemus Niko, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.