EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Ketika berbicara tentang perairan Natuna, bayangan masyarakat lekat dengan konflik teritorial laut, penangkapan ikan ilegal, serta ketegangan politik terkait konflik Laut Cina Selatan. Hal tersebut tidak terlepas dari posisi Natuna yang strategis sebagai perbatasan laut dengan Vietnam, Malaysia, dan Kamboja.
Natuna diakui sebagai bagian dari wilayah laut Indonesia berdasarkan perjanjian internasional United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS) yang disepakati pada tahun 1982.
Akan tetapi, letak geografis yang strategis dan potensi gas alam dan ikan yang melimpah menjadikan Natuna sebagai wilayah ‘rebutan’. Bahkan, Cina turut memasukkan wilayah perairan Natuna ke dalam peta nine dash line – sembilan garis putus-putus yang menjadi dasar klaim sepihak Laut Cina Selatan sebagai wilayah kekuasaan negara tersebut.
Namun, terlepas dari situasi konflik yang tak menentu, terdapat hal penting yang sangat mendasar yang kerap luput dari perhatian masyarakat: keberlangsungan penghidupan atau livelihood masyarakat pulau-pulau kecil di Natuna.
Laut merupakan sumber penghidupan masyarakat pulau
Wilayah Natuna memiliki 154 pulau-pulau kecil yang terdiri atas 27 pulau berpenghuni dan 127 pulau tidak berpenghuni.
Terdapat 6.130 populasi rumah tangga nelayan di Natuna (terdiri atas nelayan perikanan tangkap dan nelayan perikanan budidaya), atau 7,4% dari total populasi penduduk Natuna.
Laut adalah rumah bagi masyarakat pulau-pulau kecil di Natuna yang aktivitas kesehariannya tidak terlepas dari pengalaman mereka di laut. Mata pencaharian masyarakat Natuna yang berhubungan erat dengan keberlangsungan sumber daya laut menjadi cara bertahan hidup dan penopang kehidupan ekonomi mereka.
Membicarakan masyarakat pulau-pulau kecil tidak terlepas dari isu kerentanan mereka di tengah pembangunan sektor perikanan dan kelautan. Kerentanan yang paling berkorelasi terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat pulau adalah marginalisasi kebijakan, ketahanan pangan, dan ancaman perubahan iklim yang menghantui keberlangsungan mata pencaharian hidup para nelayan.
Nelayan Natuna dihadang sejumlah tantangan
Persoalan yang kerap muncul bagi para nelayan di Natuna adalah bentrokan dengan kapal asing.
Permasalahan ini bermuara dari tumpang tindih antara aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) – yang menyebutkan daerah tangkap nelayan adalah 200 mil laut Indonesia – dengan klaim Cina atas Laut Cina Selatan. Akibatnya, tidak jarang kapal nelayan Natuna diusir oleh kapal Cina.
Permasalahan kedua adalah perebutan sumber daya dengan kapal asing ilegal yang menggunakan peralatan yang jauh lebih modern dibandingkan dengan nelayan Natuna.
Berdasarkan laporan Indonesia Ocean Justice Initiative, lebih dari seratus kapal ikan milik Vietnam melakukan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diregulasi (IUU Fishing) di Laut Natuna Utara.
Kapal cantrang milik asing terus mengeksploitasi ikan di wilayah ZEE – dasar aturan penting dalam menjamin aset bagi masyarakat pulau-pulau kecil di Natuna – dengan peralatan tangkap modern yang dilarang, seperti pukat harimau.
Umumnya, kapal yang menggunakan jaring pukat harimau memiliki kapasitas minimal sebesar 60 gross tonnage (GT), satuan yang menunjukkan volume kapal. Sementara, nelayan tradisional di Natuna masih banyak yang menggunakan pompong atau kapal kayu dengan ukuran di bawah 10 GT.
Para nelayan tradisional ini juga memiliki keterbatasan akses dan kepemilikan finansial untuk meningkatkan kapasitas adaptasi menggunakan teknologi.
Baca juga: Konflik Rempang: Transisi Energi yang Berujung Kolonialisme Baru dan Merugikan Kaum Adat
Situasi ini merugikan dan meminggirkan nelayan tradisional yang menangkap ikan dengan peralatan sederhana. Ditambah lagi, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan mengenai nelayan tradisional Natuna yang melaut dengan jarak yang cukup jauh, sehingga sulit untuk melindungi para nelayan ini.
Ketiga, nelayan Natuna juga terpinggirkan akibat kebijakan yang diskriminatif.
Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2020 menggarisbawahi bahwa kapal nelayan dengan ukuran 10 GT ke bawah hanya boleh melaut antara 0-4 mil dari pinggir pantai. Ini menambah kerentanan nelayan tradisional di Natuna karena membatasi ruang gerak mereka. Selain itu, jumlah ikan sangat terbatas dalam radius 4 mil di laut Natuna.
Terakhir, perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang tidak menentu menjadi hal yang juga berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional di Natuna.
Faktor perubahan iklim menyebabkan berkurangnya jumlah ikan di laut, yang berpengaruh pada sumber penghasilan mereka. Misalnya, nelayan di Natuna mengalami penurunan jumlah hasil tangkapan ikan tongkol, ikan selayang, dan ikan tenggiri.
Pada musim angin utara yang sangat kencang, nelayan menghadapi tingginya risiko kecelakaan di laut dan tidak dapat melaut. Di saat yang sama, kapal-kapal raksasa asing yang lebih tahan banting melibas habis ikan di laut Natuna.
Ketiga faktor ini membuat mereka menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian, dengan jumlah hasil tangkapan yang tidak pasti setiap hendak melaut. Nelayan kecil seringkali pulang gigit jari, tidak dapat ikan.
Mata pencaharian alternatif belum menjadi solusi
Sebetulnya, pemerintah sudah menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pelintas batas.
Mata pencaharian alternatif yang pernah digalakkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah pelatihan perawatan dan perbaikan mesin kapal, pengoperasian alat penangkap ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan hasil perikanan berbasis rumput laut, serta budidaya ikan lele.
Namun, program ini hanya diperuntukkan bagi nelayan pelintas batas di perairan perbatasan Indonesia-Australia.
Akibatnya, nelayan Natuna tidak termasuk ke dalam daftar sasaran penerima manfaat program mata pencaharian alternatif, terlepas dari status mereka sebagai nelayan yang beraktivitas di wilayah perbatasan laut.
Sejauh ini, mata pencaharian alternatif keluarga nelayan Natuna seperti menunggu panen cengkeh, kelapa, dan olahan kerupuk ikan yang dikerjakan oleh nelayan perempuan.
Untuk menjamin keberlangsungan penghidupan nelayan di Natuna, pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Undang-undang No. 7 Tahun 2016, yang mencakup perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Pemerintah juga perlu memerhatikan keterbatasan anggaran yang selama ini jadi batu ganjalan dalam upaya pemberdayaan nelayan.
Program mata pencaharian alternatif pun harus memasukkan nelayan tradisional di pulau-pulau kecil Kabupaten Natuna ke dalamnya. Pendekatan yang mengedepankan ketahanan dan keberlanjutan pangan keluarga, mengedukasi terkait pemanfaatan sumber daya di lingkungan tempat tinggal, serta memperbaiki akses pasar ini penting demi menjamin kelangsungan hidup nelayan Natuna yang harus bergelut dengan kondisi konflik dalam keseharian mereka.
Nikodemus Niko, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.