Artikel ini untuk memperingati Hari AIDS Sedunia 1 Desember.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Epidemi HIV/AIDS masih menjadi salah satu penyakit infeksi yang sulit dikendalikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan secara global pada 2022 ada 39 juta orang hidup dengan HIV, lebih dari dua pertiganya ada di Afrika. Dari jumlah itu, diperkirakan 0,7% diidap oleh orang dewasa produktif berusia 15-49 tahun. Sekitar 630 ribu orang meninggal karena HIV.
Di Indonesia, pada 2020 jumlah orang dengan HIV (ODHIV) berjumlah sekitar 540 ribu orang.
Data terbaru WHO menyebutkan dalam periode 2010 – 2022, tren jumlah kasus baru infeksi HIV di negeri ini menurun 52% tapi jumlah kematian akibat AIDS naik 60%.
Salah satu penyebab pembunuh utama orang dengan HIV adalah Mycrobacterium tuberculosis, bakteri penyebab penyakit tuberkulosis (TB). Riset menunjukkan ODHIV mempunyai kemungkinan 18 kali lebih berisiko untuk mengalami penyakit TB aktif dibandingkan orang tanpa HIV.
Hubungan HIV dan TB
Pada 2022, secara global sekitar 167 ribu orang meninggal karena TB terkait HIV. Di Indonesia kematian akibat TB-HIV sebesar 6.500 atau 2,4 per 100 ribu penduduk.
Infeksi HIV dan TB merupakan kombinasi yang mematikan, masing-masing mempercepat perkembangan penyakit lainnya. Karena itu, WHO menyatakan TB adalah salah satu penyebab utama kematian pada ODHIV.
Menurut riset, orang yang terinfeksi HIV terlebih dulu lebih memungkinkan selanjutnya terkena infeksi TB. Interaksi HIV dan TBC mempercepat penurunan fungsi imunologi tubuh orang dengan HIV. Infeksi TBC ini juga mempunyai dampak negatif pada respons imun terhadap HIV, dan mempercepat perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS.
Faktor risiko terhadap kematian ko-infeksi (infeksi antara virus dan bakteri secara bersamaan) TB-HIV adalah koinfeksi TB di luar paru (TB menyerang organ lain di luar paru), TB paru, dan riwayat penghentian ARV (obat antiretroviral) pada orang hidup dengan HIV. TB yang menyebar memengaruhi banyak organ, mengakibatkan angka kematian yang tinggi.
Penyakit dobel ini kerap kali sulit diagnosis secara cepat karena gambaran klinis yang tidak spesifik (tanpa batuk) dan hasil sputum (tes bakteri TB di dahak) negatif serta tidak ada kelainan struktur paru saat di rontgen.
Jika cepat didiagnosis, penggunaan obat antituberkulosi (OAT) yang tepat waktu setelah didiagnosis TB dapat meminimalkan proporsi kematian pada pasien koinfeksi HIV-TB.
Kuncinya tingkatkan cakupan skrining dan diagnosis
Data WHO pada 2022 menyebutkan, cakupan tes HIV secara global pada orang yang didiagnosis TB cukup tinggi, 80%. Namun cakupan tes serupa di Indonesia hanya 56%, belum sesuai target global 80%.
Pemerintah menargetkan secara nasional mencapai angka sempurna 100% tapi capaian tahun 2022 masih 74% untuk skrinning HIV pada pasien TB. Sasaran skrinning adalah kelompok pekerja seks, gay, pengguna jarum suntik obat, waria, ibu hamil, dan pasien infeksi menular seksual. Sedangkan TB diskrining menggunakan alat rapid test Elisa dan Western Blot.
Tren jumlah pasien TB yang mengetahui status HIV di Indonesia pada 2017-2022 memang naik dari 17% menjadi 56% walau kurang tajam karena adanya kebijakan yang mewajibkan pasien TB untuk tes HIV dan penambahan akses tes HIV di layanan kesehatan dan komunitas.
Capaian pasien TBC yang dilakukan skrining dan hasilnya HIV positif tahun 2019-2022 sebesar 4% cenderung turun karena adanya pemberian informasi untuk pencegahan terkait HIV bagi pasien TB dan dukungan komunitas bagi pasien TB.
Dalam kasus TB laten (bakteri belum aktif atau ‘tidur’) dan infeksi HIV yang terlambat didiagnosis serta diobati, lebih besar kemungkinan menyebabkan bakteri TB ‘bangun’ dan berkembang menjadi penyakit TB aktif. Hal ini membutuhkan masa inkubasi yang tidak lama apalagi ketika sistem kekebalan tubuh melemah bersamaan dengan infeksi HIV.
Pengobatan yang tepat dan rujukan efektif
Diagnosis yang cepat dan akurat, pengobatan yang memadai dan rujukan efektif merupakan kunci untuk menangani orang dengan HIV dan TB.
Diagnosis HIV dapat menggunakan dua metode pemeriksaan: serologis dan virologis. Serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV-1/HIV-2 dan atau antigen protein p24 dari HIV. Sedangkan pemeriksaan virologis menggunakan DNA HIV dan RNA HIV.
Baca juga: Dua Cara Menumbuhkan Keterlibatan Orangtua dan Masyarakat dalam Proses Belajar Anak
Hasil pemeriksaan HIV dinyatakan positif jika tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukkan hasil reaktif. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif juga terdeteksi HIV. Sedangkan pemeriksaan TB dapat dilakukan dengan tes cepat molekuler dengan sampel dahak yang dapat memberikan hasil akurat dan cepat.
Dalam kasus pasien koinfeksi TB-HIV, dokter biasanya memberi paket obat OAT (obat anti-tuberkulosis), pengobatan antiretroviral (ARV) dan pengobatan pencegahan kontrimoksasol (PPK).
Cakupan global ARV untuk orang yang hidup dengan HIV yang baru didiagnosis dan dilaporkan menderita TB adalah 85% pada 2022. Di Indonesia capaian serupa pada 2017-2022 hanya 46%, jauh dari target 100%.
Ketersedian rujukan efektif ke fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan ARV merupakan komponen yang sangat penting setelah diagnosis HIV. Bagi ODHIV yang telah melakukan terapi ARV, perlu dikaji status TB-nya. Jika ditemukan tanda dan gejala TB, maka perlu dilakukan pemeriksan TB dengan alat Tes Cepat Molekular (TCM).
Namun jika hasilnya negatif, maka dapat diberikan terapi pencegahan TB (TPT) yaitu pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) yang terbukti menurunkan risiko ODHIV mengalami TB sebesar 75%. Semua ODHIV yang tidak sakit TB dan tidak ada kontraindikasi perlu mendapatkan TPT.
Kita perlu memperkuat sistem pencegahan, pendeteksian, dan pengobatan HIV dan TB agar dua penyakit tidak kerap bersatu untuk menurunkan risiko kematian dini populasi.
Penulis: Ronny Soviandhi, Project Manager, Center for Tropical Medicine, Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.