
Sudanese refugees collect WFP food assistance in Koufroun, in eastern Chad. Photo: WFP/Jacques David WFP food distributions in the site of Koufroun, East of Chad, to refugees having recently arrived from Sudan. They live in makeshift shelters, trying to hide from the torrid 40 degrees heating sun under meager trees. Many of the refugees are coming from the Tandulti area, located just across the Chadian border. They fled renewed insecurity and violence. Either armed groups attacked people in their villages, or other people left theirs as preventive measure and find security in Chad. Those attacked had just time to run for their lives and those having fled preventively, gathered a lot of their belongings and took them to Chad (including beds, cupboards, etc.). From 26 to 29 April, WFP distributed food (split peas or sorghum, oil, and Super Cereal Plus) to 6,000 refugees.
“Program makan siang dan susu gratis untuk anak-anak sudah dijalankan oleh 76 negara dan dirasakan manfaatnya oleh 400 juta anak. Jadi bukan program yang mengada-ada.” Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di depan relawan di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, 10 Desember 2023. Pasangan Gibran, calon Presiden Prabowo Subianto, juga menyatakan angka negara yang sama walau tidak menyebut jumlah penerima manfaat.
The Conversation Indonesia bersama peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga Ilham Akhsanu Ridlo memeriksa kebenaran klaim Gibran dan Prabowo tentang program makan siang dan susu gratis untuk anak-anak sekolah dasar telah dijalankan oleh 76 negara dan dirasakan manfaatnya oleh 400 juta siswa.
Analisis: makan gratis bukan cuma di 76 negara
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Ilham mengutip sebuah laporan terbitan tahun lalu dari Global Child Nutrition Foundation (GCNF) berjudul School Meal Programs Around the World: Results from the 2021 Global Survey of School Meal Programs. Laporan ini menunjukkan bahwa, dari 139 negara yang disurvei, 125 di antaranya memiliki setidaknya satu program pemberian makanan berskala besar di sekolah dasar dan sekolah menengah. Jumlah ini lebih banyak dari angka 76 negara yang disebutkan oleh Gibran dan Prabowo.
Laporan itu menyatakan bahwa setidaknya 330,3 juta anak menerima makanan sekolah mulai 2020. Persentase dari seluruh usia anak sekolah dasar dan menengah yang menerima program ini adalah 27%.
Dari sisi geografis, proporsi penerima program makan di sekolah di Amerika Latin/Karibia mencapai 55%, lalu Eropa, Asia Tengah, Amerika Utara (44%); Asia Selatan, Asia Timur, dan Pasifik (26%); dan Afrika Sub-Sahara (26%). Angka ini menunjukkan proporsi siswa di negara berpendapatan tinggi lebih tinggi dibanding siswa di negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sementara itu, laporan pada 2022 dari World Food Program, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pangan, menyatakan bahwa dari sampel data 176 negara diperoleh angka 418 juta anak menerima manfaat dari program makanan di sekolah. Jumlah ini 30 juta lebih banyak dibanding 388 juta anak yang mendapatkan manfaat serupa sebelum pandemik pada awal 2020.
Dalam aspek usia, dari jumlah tersebut sekitar 41% merupakan anak sekolah dasar yang mendapatkan makanan gratis atau bersubsidi. Dalam aspek pendapatan, program ini menjangkau 61% anak usia sekolah di negara berpendapatan tinggi, 48% di negara berpendapatan menengah atas. Sementara, di negara berpendapatan rendah, hanya 18% siswa yang menerima makanan di sekolah setiap hari.
Secara global, investasi untuk pemberian makan di sekolah pada 2022 diperkirakan antara US$47-48 miliar (hampir Rp729-745 triliun), dengan biaya rata-rata US$64 (sekitar Rp993 ribu) per anak per tahun. Sumber pendanaannya lebih dari 98% dari dalam negeri, atau anggaran masing-masing negara.
Potensi risiko kesehatan pada anak yang perlu diperhatikan
Walau program ini bertujuan untuk meningkat gizi anak, sejumlah riset menunjukkan ada kekhawatiran mengenai potensi risiko kesehatan yang terkait dengan program makanan sekolah.
Baca juga: Kepala Bapenda jadi Pegawai Teladan Pemko Batam
Sebuah penelitian di Stanford menyoroti keberadaan bisphenol A (BPA), bahan kimia beracun, dalam makanan sekolah. Bahan ini menimbulkan risiko terutama bagi anak-anak berpenghasilan rendah yang bergantung pada makanan yang didanai pemerintah.
Selain itu, penyertaan makanan ultra-proses (makanan dari pabrik yang melalui banyak tahap pengolahan) dalam makanan sekolah telah dikaitkan dengan penyakit kronis seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular.
Ada juga kekhawatiran tentang dampak potensial dari makanan sekolah terhadap indeks massa tubuh (BMI) siswa dan kualitas makanan secara keseluruhan, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami dampak tersebut secara menyeluruh.
Kesimpulan: programnya benar ada tapi angkanya berbeda-beda
Meskipun esensi klaim Gibran dan Prabowo mengenai adopsi program makanan sekolah secara luas adalah akurat, angka-angka spesifik mengenai jumlah negara dan penerima manfaat tidak sepenuhnya selaras dengan data dari sumber-sumber yang otoritatif.
Selain itu, potensi risiko kesehatan yang terkait dengan program-program ini, seperti paparan BPA dan konsumsi makanan ultra-proses, menambah kerumitan dalam evaluasi program-program ini.
Hal ini menggarisbawahi perlunya perencanaan dan pemantauan yang cermat untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak penerima manfaat program makan siang gratis.
Selain itu, pertimbangan potensi risiko kesehatan terkait dengan program-program ini sangat penting untuk pemahaman yang komprehensif tentang dampaknya.
Penulis: Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.