EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Restorative justice atau keadilan restoratif menjadi model pendekatan baru dalam penyelesaian perkara pidana belakangan ini. Pendekatan ini menekankan pada pemberdayaan dan pemulihan bagi semua pihak, baik korban maupun pelaku serta orang-orang di sekitarnya yang ikut terdampak.
Singkatnya, prinsip keadilan restoratif mengedepankan pemahaman dan tanggung jawab pelaku atas akibat tindakannya terhadap korban, alih-alih hukuman penjara.
Penerapan keadilan restoratif pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan korban, termasuk pemulihannya, sekaligus mengintegrasikan kembali pelaku ke masyarakat. Prosesnya melibatkan fasilitator atau mediator yang netral. Cara ini dianggap efektif untuk mencegah eskalasi konflik lebih jauh antara korban dan pelaku serta menekan biaya hukum.
Prinsip tersebut memang terdengar tidak adil bagi korban. Namun, menurut para pakar, dalam proses mencari solusi terkait masalah hukum memang ada opsi penyelesaian selain jalur peradilan formal, contohnya melalui dialog dan mediasi. Dengan cara ini, resolusi bersama guna memastikan pemulihan korban dapat dicapai serta mengurangi stigma terhadap pelaku.
Dasar hukum keadilan restoratif masih perlu dibenahi
Ada dua landasan hukum yang membentuk mekanisme penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif yang berlaku pada tahap pra-adjudikasi (sebelum persidangan). Pertama adalah Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol Nomor 8/2021), kedua adalah Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja Nomor 15/2020).
Menurut Pasal 16 ayat 1 dan 2 Perpol Nomor 8/2021, setelah pelaku dan korban sepakat berdamai, disertai dengan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan (SP3). Penerbitan SP3 ini menandakan penyidik akan menghentikan proses penyelidikan/penyidikan setelah ada perdamaian.
Sementara itu, menurut Pasal 7 dan 10 Perja Nomor 15/2020, penuntut umum berwenang untuk menawarkan upaya perdamaian kepada korban dan tersangka untuk membahas pemulihan dan/atau ganti rugi untuk korban. Jika pihak pelaku dan korban sepakat berdamai, maka Kepala Kejaksaan Tinggi akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Artinya, penuntut umum akan menghentikan proses penuntutan setelah pelaku dan korban berhasil berdamai.
Yang sangat disayangkan adalah kedua aturan tersebut sama-sama memaknai keadilan restoratif sebagai mekanisme penghentian proses pidana pemulihan atau tercapainya ganti rugi untuk korban melalui proses damai.
Contoh penerapan keadilan restoratif yang bermasalah
Dalam beberapa kasus, keadilan restoratif memang perlu diberlakukan. Contohnya adalah dalam kasus pengguna narkotika. Saat ini, hukuman bagi pengguna narkotika adalah penjara. Padahal pemenjaraan pengguna narkotika bukanlah tindakan yang selalu tepat. Ini karena penggunaan narkotika bisa disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga perlu solusi yang komprehensif untuk menghentikannya. Sementara itu, bagi beberapa pengguna narkotika, pemenjaraan terkadang kurang efektif menimbulkan efek jera.
Di sisi lain, ada kasus yang sebaiknya tidak diberlakukan keadilan restoratif, atau akan bermasalah jika diberlakukan. Contohnya adalah kasus pelecehan seksual. Survei tahun 2016 oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) menemukan bahwa 51,6% dari sekitar 1.000 responden menganggap pernikahan antara pelaku dan korban kekerasan seksual bisa menjadi alasan untuk meringankan hukuman pelaku.
Baca juga: Ratusan Peserta Ambil Bagian dalam Pelatihan Budaya LAM Batam
Dari survei itu terlihat bahwa masih ada anggapan yang keliru terkait keadilan restoratif, yakni konsep keadilan berbasis pemulihan hak yang sering digaungkan oleh aparat penegak hukum. Nampaknya, mereka mendefinisikan konsep tersebut hanya sebatas pada upaya penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal, menurut European Forum for Restorative Justice, keadilan restoratif sesungguhnya adalah pendekatan yang berpusat pada pemulihan atas kerugian yang disebabkan oleh kejahatan tindak pidana.
Artinya, menikahkan korban dengan pelaku justru bertentangan dengan konsep keadilan restoratif karena tidak menghadirkan keadilan dan kepastian hukum yang muncul melalui proses hukum. Bahkan, jalan pintas ini cenderung tidak memberi ruang dialog antara kedua pihak dan berpotensi membungkam suara korban.
Keadilan restoratif menurut para ahli dan contoh kasusnya
Keadilan restoratif mengambil peranan yang lebih luas di dalam sistem peradilan pidana Indonesia sejak Amandemen Undang-Undang Perlindungan Anak pada tahun 2014. Walaupun UU tersebut hanya berlaku bagi anak dan remaja, wacana keadilan restoratif berkembang luas di dalam sistem peradilan Indonesia.
Dalam penelitian yang sedang dilakukannya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merujuk pada implementasi keadilan restoratif di Provinsi Aceh, yang memiliki otonomi khusus dan institusi adat bernama gampong, untuk menyelesaikan perselisihan.
Gampong mengadili beberapa hal seperti perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan harta waris, perselisihan antar warga, perbuatan zina, perselisihan hak milik, pencurian dalam keluarga, perselisihan harta antara suami dan istri, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan yang terjadi di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan dalam skala kecil dan lain sebagainya.
Penerapan gampong di Aceh sebenarnya tidak lepas dari kritik, terutama terkait metode penghukuman cambuk yang banyak dianggap tidak manusiawi. Namun, jika merujuk pada pada proses penyelesaian perkaranya yang melibatkan komunitas setempat, jenis mediasi dapat menjadi contoh cara penyelesaian perkara dengan mempertemukan korban dan pelaku. Sistem semacam ini bisa coba diterapkan dalam kasus kejahatan ringan sehingga tidak membutuhkan intervensi polisi dan tanpa melalui proses sistem hukum formal yang berlaku.
Penulis: Moh Alfarizqy, Data Analyst, The Conversation; Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation, dan Rahma Sekar Andini, Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.