EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, tim penelitian Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi yang tersertifikasi oleh International Fact Checking Network (IFCN) dan aktif melakukan berbagai kegiatan untuk melawan hoaks, melakukan analisis pemetaan hoaks. Penelitian ini menggunakan metodologi analisis isi kuantitatif yang mengkaji 128 narasi hoaks Pilpres 2019. Data tersebut diambil dari laporan masyarakat dan hasil penelusuran fact chekcer di laman cekfakta.com.
Dari hasil pemetaan hoaks Pilpres 2019 tersebut, dapat dilihat beberapa prediksi hoaks untuk Pemilu 2024 sebagai berikut:
1. Jumlah hoaks akan meningkat pascapemungutan suara, terutama jika terjadi sengketa pemilu
Pemetaan tipologi hoaks pada pemilu 2019 menunjukkan bahwa aktivitas hoaks tertinggi terjadi pada fase pascapemilu, terutama dipicu adanya sengketa hasil pemilu, yaitu sebanyak 94 narasi hoaks. Jumlah ini hampir 3 kali lipat dari hoaks yang beredar di masa pra pemilu (34 narasi hoaks).
Besar kemungkinan, tren ini juga akan terjadi di Pemilu 2024. Selain peluang terjadinya sengketa hasil pemungutan suara, peningkatan jumlah hoaks juga bisa didorong oleh kemungkinan terjadinya Pilpres putaran kedua.
Prediksi tersebut setidaknya menguat di media massa, baik dari perspektif lembaga survei, pengamat, sejumlah politikus, termasuk juga langkah antisipatif yang sudah disiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
2. Penyelenggara pemilu rawan diserang hoaks
Selain potensi naiknya jumlah hoaks sebagai akibat dari proses pemilu yang semakin panjang, serangan kepada penyelenggara pemilu juga berpotensi meluas.
Salah satu temuan penting dari riset pemetaan hoaks tahun 2022 adalah bahwa lembaga pemilu, termasuk KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tidak luput dari serangan hoaks.
Trend tersebut muncul sejak Pilpres 2019. Sebelumnya, pada Pilpres 2014, hoaks yang menyerang lembaga penyelenggara pemilu bisa dikatakan sangat minim. Risiko dari serangan hoaks terhadap entitas ini cukup serius karena berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran hoaks terutama di masa pascapemilu. Isu-isu yang disasar berkisar pada proses pemungutan suara (14,1%) dan proses perselisihan pemilu (39,8%). Di fase ini, KPU merupakan entitas ketiga yang paling banyak disasar (15,6%), diikuti oleh kepolisian (11,7%) dan pemerintah pusat (7%).
KPU dapat mengantisipasi kerawanan ini dengan menyiapkan perangkat pengecek fakta dan berkolaborasi dengan koalisi sipil dan organisasi cek fakta.
3. Hoaks dengan format video dan penggunaan kecerdasan buatan akan semakin meningkat.
Kekuatan hoaks, salah satunya, terletak pada perpaduan teks dan visual.
Penelitian Mafindo pada tahun 2022 mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan dengan persentase hingga 79,2%.
Salah satu hoaks yang cukup ikonik setelah masa pemungutan suara pada Pemilu 2019, misalnya, adalah gambar “Prof. Tokuda tersenyum memperlihatkan data kecurangan KPU” (22 Juni 2019) yang dibagikan lebih dari 8.300 kali di Facebook.
Baca juga: Komunitas Pemancing Gelar Khitan Massal
Dinarasikan dalam hoaks tersebut bahwa “Prof. Tokuda adalah ahli demokrasi di Jepang, sejak kecil ia merasa bersalah karena kakek neneknya dulu menjajah Indonesia”.
Hasil cek fakta menunjukkan bahwa gambar tersebut merupakan aktor video porno dari Jepang, Shigeo Tokuda. Hoaks ini termasuk dalam kategori manipulated content (jenis hoaks yang secara konten sudah ada, namun dimanipulasi) yang bersifat parodi.
Selain itu, hoaks sering menggunakan bukti-bukti palsu untuk meyakinkan audiens. Penelitian kami menunjukkan bahwa gambar atau video adalah jenis bukti yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 67% untuk memperkuat klaim hoaks.
Dengan adanya perkembangan teknologi, gambar dan video dapat dibuat lebih menarik sekaligus lebih manipulatif sehingga membuat deteksi hoaks menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini sesuai temuan sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022 yang menunjukkan bahwa perkembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan, telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu sehingga asli dan rekaan semakin susah untuk dibedakan.
Hal ini tentunya memerlukan cara-cara baru yang lebih efektif untuk melawan hoaks.
Selain meningkatkan kerja sama antara lembaga pengecek fakta, koalisi masyarakat sipil dan pemerintah, diperlukan juga inisiasi kerja kolaboratif yang menggabungkan pengamatan fact checker dan kecerdasan buatan dalam melakukan identifikasi awal hoaks.
Finsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; Fitri Murfianti, , Leiden University; Loina L. K. Perangin-angin, , Swiss German University, dan Nuril Hidayah, , STAI MIFTAHUL ‘ ULA NGANJUK
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.