Mengapa air mata itu asin? – Aarna, 6 tahun
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Halo, Aarna, terima kasih atas pertanyaanmu yang sangat bagus! Saya akan mulai dengan bercerita sedikit tentang penyu laut.
Mungkin kamu heran tentang apa hubungannya, tapi jangan khawatir, nanti akan menjadi jelas.
Ketika ibu penyu laut menyelinap ke pantai saat malam untuk bertelur, jika kamu amati dengan saksama, kamu mungkin akan melihat mereka meneteskan air mata. Legenda kuno percaya bahwa ibu penyu laut menangis karena mereka tidak akan bertemu dengan bayi-bayinya.
Namun, para ilmuwan menemukan bahwa penyu laut tidak sedang benar-benar menangis. Ternyata, mereka sedang mengeluarkan garam dari badan mereka, melalui tangisan air mata yang sangat asin.
Karena penyu laut tinggal di air laut asin, dan makanan favorit mereka adalah ubur-ubur (yang sebagian besarnya terdiri dari air laut!), mereka menumpuk terlalu banyak garam di dalam badan mereka, yang mungkin beracun. Jadi mereka perlu untuk “menangis” sehingga garam itu keluar dari badan mereka untuk bertahan hidup.
Pada manusia, jika kita makan terlalu banyak garam atau garam menumpuk di dalam badan kita, ginjal kita membantu menyaring garam tersebut saat kita buang air.
Tapi ginjal penyu laut tidak sepintar ginjal manusia, dan mereka tidak bisa mengeluarkan garam yang cukup melalui air seni mereka.
Jadi, penyu laut memiliki kelenjar garam pada kedua mata mereka, yang dua kali lipat lebih besar dibandingkan otak mereka, yang memompa garam ekstra ini ke dalam air mata mereka.
Air mata penyu laut begitu asin, beberapa binatang seperti kupu-kupu telah ditemukan sedang menjilat air mata penyu laut.
Tapi bagaimana dengan kita manusia?
Jika kamu pernah menjilat air mata yang mengucuri pipi kamu, air mata itu kemungkinan terasa sedikit asin.
Tapi jika ginjal kita bekerja lebih baik daripada kura-kura, kita tidak sarapan ubur-ubur, lalu kenapa air mata kita tetap asin?
Jadi, semua cairan yang ada di dalam tubuh kita memiliki sedikit garam di dalamnya.
Garam ini digunakan untuk menghasilkan listrik yang membantu otot kita bergerak dan otak kita berpikir.
Jumlah garam yang ada di dalam cairan tubuh kita (seperti air mata, keringat, dan ludah) hampir sama dengan jumlah garam di dalam darah kita – kadarnya di bawah 1%, atau sekitar dua sendok teh garam per liter.
Jadi air mata kita tidak seasin air mata penyu laut, tapi tetap mengandung garam.
3 jenis air mata
Keasinan air mata kamu bisa sangat tergantung pada jenis air mata apa yang keluar dari mata kamu.
Benar, mata kamu – atau tepatnya salah satu bagian mata kamu yang disebut kelenjar air mata – menghasilkan tiga jenis air mata yang berbeda. Tiga jenis air mata ini adalah air mata basal, air mata refleks, dan air mata emosional.
- air mata basal menjaga mata kamu tetap basah dan mencegah bakteri jahat menginfeksi mata kamu
- air mata refleks terbentuk ketika mata kamu perlu membersihkan sesuatu berbahaya yang masuk ke mata masuk, seperti asap atau butiran pasir
- air mata emosional adalah jenis air mata yang keluar ketika kamu merasa sangat senang atau sedih.
Air mata basal dan refleks mengandung lebih banyak garam daripada air mata emosional, yang penting untuk menjaga mata kamu tetap sehat.
Air mata emosional mengandung lebih banyak hal lain, seperti hormon (jenis bahan kimia yang unik di badan kita) yang berfungsi seperti obat penghilang rasa sakit alami.
Fakta ini mungkin membantu menjelaskan mengapa kita kadang-kadang merasa lebih baik setelah menangis hingga tersedu-sedu.
Lain waktu kamu meneteskan air mata yang sedikit asin, luangkan waktu sejenak untuk mengingat bagaimana kamu begitu beruntung untuk mempunyai ginjal yang mengontrol tingkat garam di badan kamu, dan kamu tidak perlu menangis mengeluarkan air mata asin untuk bertahan hidup, seperti penyu laut betina.
Ignatius Raditya menerjemahkan ini dari Bahasa Inggris.
Halo, curious kids! Apakah kamu memiliki pertanyaan yang kamu ingin dijawab oleh pakar? Minta orang dewasa untuk mengirim pertanyaanmu ke redaksi@theconversation.com
Penulis: Matthew Barton, Senior lecturer, School of Nursing and Midwifery, Griffith University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.