EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi, merilis publikasi terbaru dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 awal Desember lalu.
Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melalui akun instagram pribadinya merespons rilis tersebut dengan menekankan prestasi Indonesia yang berhasil naik 5 hingga 6 peringkat. Literasi membaca naik 5 peringkat, literasi matematika naik 5 peringkat, dan literasi sains naik 6 peringkat.
Namun, paparan dari Nadiem Makarim hanya mengambil yang baik-baiknya saja (cherry picking). Padahal, penting juga untuk melihat bagaimana hasil PISA tersebut menggambarkan situasi pendidikan Indonesia saat ini.
Penulis, akademisi yang salah satu fokus risetnya adalah kesenjangan pendidikan, menganalisis dataset mentah PISA 2022. Tidak seperti data Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) milik Kemdikbudristek, dataset mentah PISA milik OECD dipublikasikan dalam laman websitenya, sehingga seluruh pihak dapat menggunakan data tersebut untuk melakukan analisis lebih lanjut, selain analisis-analisis yang telah OECD lakukan dalam laporan mereka.
Hasil analisis menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan pendidikan di Indonesia antara daerah rural dan daerah urban yang mempengaruhi capaian pembelajaran.
Capaian berdasarkan geografi sekolah
Berdasarkan grafik 1 di atas, kelompok geografi sekolah yang paling rendah pada literasi matematika adalah sekolah-sekolah yang termasuk pada kategori village, hamlet or rural area (daerah pedesaan berpenduduk kurang dari 3.000 jiwa) dengan skor 341,94. Skor ini berada di level 1b atau di bawah level 2, yang dianggap sebagai kecakapan minimum.
Konsisten dengan temuan sebelumnya, murid-murid yang berada di sekolah dengan kategori village, hamlet or rural area adalah kelompok yang memperoleh skor paling rendah pada uji literasi membaca. Kelompok ini hanya memperoleh skor 343,05 (level 1a).
Murid-murid yang berada di level 1a dapat memahami arti harfiah dari kalimat atau paragraf pendek, serta dapat mengenali tema utama atau tujuan penulis dalam sebuah teks tentang topik yang sudah dikenal, dan membuat hubungan sederhana antara beberapa informasi yang berdekatan, atau antara informasi yang diberikan atau berdasarkan pengetahuan mereka sebelumnya. Namun, mereka akan mengalami kesulitan dalam menafsirkan makna suatu teks jika informasinya tidak eksplisit atau ketika teks tersebut memuat beberapa informasi pengecoh.
Skor ini berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok geografi lainnya, terutama dengan sekolah-sekolah yang berada pada geografi large city (kota besar dengan jumlah penduduk 1.000.000 hingga 10.000.000 jiwa).
Hasil tes yang diperoleh dari literasi sains juga menunjukkan bahwa sampel yang berada di sekolah dengan geografi village, hamlet or rural merupakan kelompok yang memiliki skor rata-rata literasi sains paling rendah (366,56 atau level 1a) jika dibandingkan dengan kelompok geografi sekolah lainnya.
Siswa-siswi ini hanya mampu menggunakan informasi dasar serta pengetahuan sesuai prosedur untuk mengenali atau mengidentifikasi penjelasan fenomena ilmiah sederhana.
Skor ini memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik dengan skor literasi sains yang diperoleh dari sampel yang berada pada kelompok geografi lainnya, dengan jumlah penduduk lebih dari 3.000 jiwa.
Temuan lainnya
Selain student questionnaire, PISA juga menyediakan school questionnaire. Kuesioner ini diisi oleh pihak sekolah (bisa guru maupun kepala sekolah) guna menggambarkan keadaan sekolah-sekolah yang menjadi sampel.
Analisis terhadap data persepsi guru mengenai hambatan yang mereka temui selama pembelajaran berlangsung (instruction hindered section), yang tersedia pada school questionnaire, menunjukkan fakta-fakta berikut:
1. Pentingnya pemerataan jumlah guru
Guru-guru yang mengajar di daerah terpencil mengaku kesulitan dalam melakukan pengajaran yang efektif karena sekolah mengalami kekurangan guru jika dibandingkan dengan jumlah murid.
Dampak hal ini, yang terjadi adalah beban kerja guru berlebih. Guru terpaksa harus mengajar dengan jumlah jam yang melebihi kewajiban mereka (24 jam per minggu), bahkan harus mengajar mata pelajaran di luar bidang keahliannya.
Baca juga: Warga Rempang Menolak Penggusuran, BP Tetap Bangun Hunian di Tanjung Banon
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuka lebih banyak lowongan untuk guru-guru di sekolah terpencil, dan tentu saja membuat regulasi agar guru-guru tersebut tidak menjadikan status Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diperoleh dari sekolah tersebut sebagai batu loncatan untuk pindah ke sekolah yang terletak di perkotaan.
2. Kurangnya infrastruktur fisik di sekolah pedesaan
Analisis dataset PISA 2022 juga menemukan bahwa mayoritas guru di pedesaan mengaku jika sekolah tempat mereka mengajar mengalami kekurangan dalam ketersediaan infrastruktur fisik, seperti bangunan, lapangan olahraga, pendingin ruangan, pencahayaan, hingga sistem pengeras suara.
Ketiadaan infrastuktur-infrastruktur fisik ini dapat menghambat proses belajar mengajar. Menyediakan bangunan yang bersirkulasi udara baik, atau memasang pendingin ruangan di kelas-kelas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kenyamanan belajar, yang dampaknya adalah memberikan lingkungan yang mendukung untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Perlunya perbaikan dan peremajaan infrastruktur fisik yang telah tersedia
Banyak guru-guru yang mengajar di daerah terpencil mengaku bahwa proses pembelajaran yang mereka lakukan mengalami kesulitan diakibatkan oleh buruknya keadaan infrastruktur fisik yang telah ada.
Selain membangun, pemerintah perlu menjamin terawatnya fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah.
4. Pengadaan sumber daya digital
Di era digital saat ini, ketersediaan perangkat digital di sekolah merupakan hal yang penting untuk menunjang proses pembelajaran. Namun, berdasarkan data PISA 2022, mayoritas guru yang berada di daerah terpencil mengaku kekurangan ketersediaan perangkat-perangkat digital, seperti desktop atau laptop, akses internet, learning management systems, hingga platform pembelajaran di sekolah.
Ketersediaan perangkat-perangkat ini adalah kebutuhan mutlak, karena telah banyak riset yang membuktikan bahwa keberadaan perangkat digital mampu meningkatkan kualitas belajar siswa.
Tentu saja, masih banyak hal lain yang perlu diselesaikan jika ingin memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Sebut saja perbaikan kesejahteraan guru, revisi sistem Pendidikan Profesi Guru (PPG), hingga menjamin agar siswa tidak memikirkan mencari nafkah untuk membantu keluarga ketika berada di luar jam sekolah.
Kesenjangan desa dan kota
Hasil analisis yang telah dipaparkan di atas bisa menjadi langkah awal untuk melihat hasil PISA 2022 secara lebih kritis, agar keberhasilan yang dikabarkan tidak fokus pada peringkat saja.
Pierre Bourdieu, sosiolog pendidikan asal Prancis, pernah menyebutkan bahwa:
“Praktik seseorang dihasilkan dari hubungan antara habitus dan posisinya dalam sebuah masyarakat (dalam bentuk kapital), pada kondisi arena sosial tempat ia berada.”
Dalam konteks tulisan ini, ketimpangan sosial antara desa dan kota direproduksi di sekolah-sekolah dan melahirkan kesenjangan pendidikan yang mendorong masyarakat melakukan urbanisasi, memilih pindah dari desa ke kota.
Namun, urbanisasi bukan jawaban atas persoalan tersebut. Perpindahan masyarakat dari desa ke kota justru berpeluang menciptakan persoalan baru.
Lagipula, penyediaan pendidikan yang berkualitas dan merata, seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah terlepas dari letak geografi sekolah.
Penlis: Reza Aditia, PhD student, Eötvös Loránd University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.