EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Setelah lebih dari 25 tahun reformasi politik, Indonesia masih saja mengalami persoalan prinsipil dalam berdemokrasi. Proses elektoral, baik pada level nasional maupun lokal, masih lekat dengan kontroversi politik uang, pragmatisme elit, kelemahan institutionalisasi partai politik. Ini membuat kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu dipertanyakan.
Terlebih lagi, laporan yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 menyebutkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democracy dengan nilai 6,71. Kategori ini merefleksikan demokrasi yang masih bermasalah dalam beragam aspek, mulai dari soal kebebasan sipil, fungsi pemerintah sampai proses elektoral.
Riset menunjukkan kerap terjadinya kecenderungan democracy backsliding (kemunduran demokrasi) yang berdampak pada melemahnya integritas proses elektoral. Beberapa faktor penyebab kemunduran demokrasi tersebut antara lain pertumbuhan digital politik, populisme, transformasi ekonomi masyarakat hingga dampak pandemi.
Dalam konteks Indonesia, integritas elektoral menjadi isu publik yang belum terselesaikan. Aktivitas yang merusak integritas dan hasil pemilu (electoral abuse activities), sebagai contoh ketidaknetralan penyelenggara pemilu di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan yang kemudian membuat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada salah satu anggotanya.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh dampak langsung dari sistem pemilu Indonesia yang terlalu kapital sentrik yang memungkinkan terjadi transaksi ilegal-pragmatis antara penyelenggara dan calon legislatif. Kekuatan modal (uang) menjadi salah satu penentu dalam kemenangan setiap calon sehingga pemilihan umum (pemilu) kerap kali hanya menjadi bussines driven politics. Inilah yang membuat langgengnya oligarki di Indonesia.
Akar masalah utama sistem politik yang berbasis pada kepemilikan akan kapital adalah ekspansi modal dan pemodal dalam ranah politik sehari-hari.
Oleh sebab itu, untuk mereduksi hal tersebut, setidaknya terdapat dua hal yang mesti kita benahi. Pertama adalah sistem pemilunya, dan kedua adalah mekanisme pembiayaan politik dan kampanye.
1. Perubahan sistem pemilu
Mekanisme pemilihan one man one vote system dalam pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) mesti dibarengi dengan tidak hanya menghitung suara pemilih mayoritas, tetapi juga mempertimbangkan representasi geografis dan demografis pemilih.
Sistem pilpres yang berlaku sekarang hanya berdasarkan pada logika suara terbanyak (popular vote). Ini membuat kemenangan seorang calon presiden praktis hanya memerlukan kemenangan pada tujuh daerah padat pemilih seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Padahal, secara geografis dan demografis Indonesia punya 38 provinsi.
Ke depannya, sistem pilpres perlu mempertimbangkan kemenangan masing-masing capres pada daerah pemilihan. Daerah pemilih per provinsi seperti yang berlaku hari ini mesti dibagi kembali secara proporsional berdasarkan pada luas wilayah dan jumlah pemilih. Skema ini diharapkan dapat mewujudkan membuat hasil pemilihan lebih demokratis dan merata.
Sistem Pilkada langsung juga perlu dimodifikasi. Kabupaten/kota yang sudah mapan secara ekonomi dengan indeks korupsi yang rendah, dan indeks ini bisa merujuk seperti survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan memiliki kelompok masyarakat menengah yang dominan memang dapat menjalankan model pilkada langsung. Namun, daerah-daerah dengan indeks kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan yang rendah, sebagai contoh Kabupaten Sumba Tengah perlu disediakan sebuah sistem alternatif, misalnya dengan mengembalikan pemilihan lewat mekanisme DPRD.
Baca juga: Bapenda Batam beri Peringatan dengan Spanduk, Wajib Pajak Tunduk
Memang, akan ada potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dalam mekanisme pemilihan oleh DPRD, tetapi setidaknya perkembangan kualitas demokrasi dapat terkontrol dengan lebih baik. Meski demikian, perlu juga ada mekanisme promosi bagi daerah yang secara ekonomi dan kesejahteraan membaik untuk dapat menyelenggarakan pilkada secara langsung.
2. Pembenahan sistem pembiayaan politik dan kampanye
Sudah saatnya negara harus ikut membiayai kampanye setiap calon legislatif (caleg) nasional dan daerah. Hal ini penting guna mereduksi potensi korupsi caleg terpilih.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya politik saat ini sangat tinggi. Korupsi biasanya dilakukan caleg ketika sudah terpilih karena mereka ingin mengembalikan biaya modal mereka saat pemilihan.
Ketika caleg harus membiayai kampanye politik mereka sendiri, mereka berpotensi besar meminjam modal atau meminta dukungan dana dari pihak ketiga dengan imbalan clientelistic politics (politik klientelisme). Secara teoritik, potensi terjadinya klientelisme menjadi semakin membesar di daerah-daerah yang memiliki extractive economies, ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam.
Belum lagi “perlunya” modal untuk politik uang. Studi yang dilakukan oleh Magister Ilmu Pemerintahan Unila, bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU RI), memberikan gambaran bahwa masih banyak masyarakat yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena termotivasi oleh faktor politik uang. Habit membagi-bagi sejumlah uang merupakan pemborosan signifikan.
Secara teori, dalam konteks negara-negara demokrasi maju, preferensi perilaku pemilih memang hampir selalu merujuk pada candidate centric tentu menjadi tujuan utama. Namun, hal ini menjadi masalah ketika favoritisme candidate centric tersebut lahir dari konstruksi nalar pemilih yang telah terinterupsi oleh politik uang.
Terkait pembiayaan ini, pertanyaannya kemudian adalah apakah APBN/APBD tersedia untuk membiayai kampanye seluruh caleg?
Faktanya, pembiayaan kampanye tidaklah sebesar yang kita duga. Sebuah ilustrasi sederhana untuk dapat menang pileg pada level kabupaten/kota, caleg hanya perlu dukungan sekitar 4.000-5.000 suara pemilih saja. Jika kampanye dilakukan secara dialogis dan door to door seperti di beberapa negara demokrasi maju, misalnya Inggris, biaya kampanye bisa menjadi sangat terjangkau.
Dalam konteks Pilkada misalkan, studi yang dilakukan oleh KPK biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah dapat mencapai Rp10 miliar, dan pembiayaan tersebut menjadi sangat besar disebabkan oleh praktik pemberian mahar pada partai politik dan praktik membeli suara.
Pada akhirnya, trial and error adalah hal yang lumrah dalam proses demokrasi. Lebih dari 25 tahun reformasi, kita perlu melakukan evaluasi komprehensif terhadap sistem pemilu dan pembiayaan politik-kampanye.
Melalui pola mekanisme pemilu yang direformasi, berjenjang dan menghindari homogenitas sistem pemilu, Indonesia dapat menjadi negara demokrasi yang lebih baik pada masa yang akan datang, bukan sekadar negara demokrasi dalam bingkai electiontainment atau pemilu hanya sebagai hiburan bagi rakyat semata.
Arizka Warganegara, Lecturer at Department of Government Studies, Universitas Lampung
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.