EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Lima hari menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.
Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.
Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta.
Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali.
Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.
Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?
Anies: mengakhiri pragmatisme
Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.
Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.
Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.
Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.
Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.
Baca juga: Suara Warga Rempang Tolak Penggusuran di Peringatan Isra’ Mi’raj
Prabowo: menjadi tetangga yang baik
Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.
Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.
Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.
Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.
Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.
Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.
Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’
Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.
Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).
Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.
Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.
Penulis: Hangga Fathana, Assistant Professor in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.